Membaca
suara rakyat yang dikemas dalam paket cantik yang di berikan nama lembaga
budaya karya anak bangsa memberikan gejolak batin amat dalam mengalir bersama
ruang-ruang realita sosial yang tersimpan dalam rekaman gejolak jiwa ada
sedikit tersangkut di hati warga papua.
Dengan
segala permasalahan sudah semakin besar benjolan yang menunggu waktu untuk
mengeluar bauh tak sedap, apakah lembaga budaya dapat menyirami gejolak jiwa warga
masyarakat dalam membakar peta Indonesia. Apakah mereka juga terkena gentahnya
atau mereka itu yang disebut para analisis manusia abuh-abuh.
Apakah
buku ini selalu memberikan perasaan hangat dalam hati warga masyarakat, masih
banyak warga masyarakat menggangab bahwa lembaga budaya tidak dapat menjawab
aspirasi warga masyarakat. Persoalan jawab dan tidak menjawab aspirasi semua
berpulang pada motivasi diri pribadi sebab jujur itu pilihan.
Hal ini
bisa disebabkan perwakilan instusi itu tidak representatif mewakili warga masyarakat,
ataukah masih dikuasai oleh kelompok kepentingan yang otoriter dalam pasar
gagasan. Teori alam sudah secara jelas mengungkapkan tentang buah yang baik
dihasilkan dari proses pemilihan bibit tanam yang baik pula.
Kewenangan
yang tidak pernah dan tidak akan mengakui “sama rata sama rasa” yang dijawabnya
dengan menjaga dan mengawal berbagai kebijakan dan regulasi di berbagai sektor
sampai pada pemberian alokasi anggaran dalam berbagai paket-paket kebijakan daerah yang secara rasional
melenceng jauh dari harapan.
Secara
sadar atau tidak para lembaga buday dan pemimpin daerah ini bagaikan tukang pos
yang selalu mengantarkan paket-paket titipan dari pusat secara sporadis di paksanakan
untuk dijalankan di tanah papua. Belum terbangunnya sebuah filter atau tempat
penyaringan mulai dari tingkatan terendah sampai ke tingkatan lebih tinggi agar
apa yang dikerjakan benar-benar sesuai kebutuhan dan keingginan masyarakat.
Filter
penyaringan yang dimaksukan adalah musyawara dan mufakat di putuskan bersama
warga di para-para adat. Proses di para-para adat itu dibuat agar kita semakin
sadar dan mengerti masuk rumah atau kebun orang harus minta ijin sama
pemiliknya. Proses ini bila dilakukan dengan teratur maka warga papua akan memberikan
sebuah stempel yang ada tertulis “Anak Adat Tahu Adat”.
Membaca
buku besar yang diberikan tete manis dengan begitu besar keunikan ini, masih menyimpan
berjuta misteri yang selalu dan selalu akan menghasilkan sejuta alasan tanpa
pajak yang membuat manusia dari seberang lautan nun jauh di Maluku, Sulawesi,
Jawa, Bali, Sumatra dan Kalimantan untuk menyeberangi lautan mengadu nasibnya
di pekarangan rumah bukan milik mereka.
Masuk
keluar manusia tak pernah memberi suara pada sang pemilik pekarangan rumah, itu
semua di sebabkan sama-sama dibaluti selimut merah putih yang sama-sama
berdarah merah dan bertulang putih walaupun hanya ras yang membedakan antara Melayu
dan Melanesia serta dibaluti satu bahasa yaitu bahasa Indonesia.
Meminjam
catatan para maha guru yang menjelaskan persoalan kemiskinan membuat tidak ada
pilihan lain untuk tidak datang ke sumber mata air, tempat dimana mereka dan
keluarga akan tumbuh menjadi orang-orang sukses di berbagai pekerjaan karena
bermodalkan pendidikan yang baik pula.
Mereka
melakukan migrasi besar-besaran tanpa pajak karena Papua begitu kaya akan
sumber daya alam dan sekaligus sebagai tempat membangun kerajaan bisnis
keluarga di seberang lautan nun jauh disana. Warga papua hampir rata-rata pendidikan
lulus sekolah dasar kelas tiga dan lulus sekolah menengah pertama kelas tigah bahkan
sampai perguruan tinggi ternama juga wisudah semester lima atau belum pernah
sama sekali menyentuh pagar sekolah atau kampus, soal ini yang membuat mereka
tidak mampu menghadapi perubahan yang semakin cepat ini.
Guntingan
kertas ini, dihadirkan sebagai menu sarapan pagi buat mereka-mereka yang konon
katanya sebagai penjaga pekarangan rumah Papua dari berbagai parasit yang semakin
liar mengisap sari bunga di taman ini perlu dibendung dengan balutan selimut
(budaya) yang tete manis su kase ini sebaik-baiknya agar semerbak ke seluruh
penjuru tanah kasuari ini, agar mereka tetap berdiri kokoh dalam satu tungku
satu budaya Papua.
Hadirnya
penjaga tanah papua yang dimaksudkan adalah majelis rakyat papua sebagai corong
utama dan terdepan dalam menyuarakan suara mereka yang tak bersuara karena
keterbatasan dan ketertinggalan kereta di zaman kekinian dan dimasa depan
nanti. Mereka tertinggal namun setidaknya masih punya mimpi menjadi manusia
sejati seperti bird of paradise serta
punya garis tanggan penghidupan penuh kebahagian seperti warna burung surga
yang tete manis su kase itu.@arkam.
No comments:
Post a Comment