Friday, March 30, 2018

SURAT UNTUK PENJAGA TANAH PAPUA


Membaca suara rakyat yang dikemas dalam paket cantik yang di berikan nama lembaga budaya karya anak bangsa memberikan gejolak batin amat dalam mengalir bersama ruang-ruang realita sosial yang tersimpan dalam rekaman gejolak jiwa ada sedikit tersangkut di hati warga papua.
Dengan segala permasalahan sudah semakin besar benjolan yang menunggu waktu untuk mengeluar bauh tak sedap, apakah lembaga budaya dapat menyirami gejolak jiwa warga masyarakat dalam membakar peta Indonesia. Apakah mereka juga terkena gentahnya atau mereka itu yang disebut para analisis manusia abuh-abuh.
Apakah buku ini selalu memberikan perasaan hangat dalam hati warga masyarakat, masih banyak warga masyarakat menggangab bahwa lembaga budaya tidak dapat menjawab aspirasi warga masyarakat. Persoalan jawab dan tidak menjawab aspirasi semua berpulang pada motivasi diri pribadi sebab jujur itu pilihan.
Hal ini bisa disebabkan perwakilan instusi itu tidak representatif mewakili warga masyarakat, ataukah masih dikuasai oleh kelompok kepentingan yang otoriter dalam pasar gagasan. Teori alam sudah secara jelas mengungkapkan tentang buah yang baik dihasilkan dari proses pemilihan bibit tanam yang baik pula.
Kewenangan yang tidak pernah dan tidak akan mengakui “sama rata sama rasa” yang dijawabnya dengan menjaga dan mengawal berbagai kebijakan dan regulasi di berbagai sektor sampai pada pemberian alokasi anggaran dalam berbagai paket-paket  kebijakan daerah yang secara rasional melenceng jauh dari harapan.
Secara sadar atau tidak para lembaga buday dan pemimpin daerah ini bagaikan tukang pos yang selalu mengantarkan paket-paket titipan dari pusat secara sporadis di paksanakan untuk dijalankan di tanah papua. Belum terbangunnya sebuah filter atau tempat penyaringan mulai dari tingkatan terendah sampai ke tingkatan lebih tinggi agar apa yang dikerjakan benar-benar sesuai kebutuhan dan keingginan masyarakat.
Filter penyaringan yang dimaksukan adalah musyawara dan mufakat di putuskan bersama warga di para-para adat. Proses di para-para adat itu dibuat agar kita semakin sadar dan mengerti masuk rumah atau kebun orang harus minta ijin sama pemiliknya. Proses ini bila dilakukan dengan teratur maka warga papua akan memberikan sebuah stempel yang ada tertulis “Anak Adat Tahu Adat”.
Membaca buku besar yang diberikan tete manis dengan begitu besar keunikan ini, masih menyimpan berjuta misteri yang selalu dan selalu akan menghasilkan sejuta alasan tanpa pajak yang membuat manusia dari seberang lautan nun jauh di Maluku, Sulawesi, Jawa, Bali, Sumatra dan Kalimantan untuk menyeberangi lautan mengadu nasibnya di pekarangan rumah bukan milik mereka.
Masuk keluar manusia tak pernah memberi suara pada sang pemilik pekarangan rumah, itu semua di sebabkan sama-sama dibaluti selimut merah putih yang sama-sama berdarah merah dan bertulang putih walaupun hanya ras yang membedakan antara Melayu dan Melanesia serta dibaluti satu bahasa yaitu bahasa Indonesia.
Meminjam catatan para maha guru yang menjelaskan persoalan kemiskinan membuat tidak ada pilihan lain untuk tidak datang ke sumber mata air, tempat dimana mereka dan keluarga akan tumbuh menjadi orang-orang sukses di berbagai pekerjaan karena bermodalkan pendidikan yang baik pula.
Mereka melakukan migrasi besar-besaran tanpa pajak karena Papua begitu kaya akan sumber daya alam dan sekaligus sebagai tempat membangun kerajaan bisnis keluarga di seberang lautan nun jauh disana. Warga papua hampir rata-rata pendidikan lulus sekolah dasar kelas tiga dan lulus sekolah menengah pertama kelas tigah bahkan sampai perguruan tinggi ternama juga wisudah semester lima atau belum pernah sama sekali menyentuh pagar sekolah atau kampus, soal ini yang membuat mereka tidak mampu menghadapi perubahan yang semakin cepat ini.
Guntingan kertas ini, dihadirkan sebagai menu sarapan pagi buat mereka-mereka yang konon katanya sebagai penjaga pekarangan rumah Papua dari berbagai parasit yang semakin liar mengisap sari bunga di taman ini perlu dibendung dengan balutan selimut (budaya) yang tete manis su kase ini sebaik-baiknya agar semerbak ke seluruh penjuru tanah kasuari ini, agar mereka tetap berdiri kokoh dalam satu tungku satu budaya Papua.
Hadirnya penjaga tanah papua yang dimaksudkan adalah majelis rakyat papua sebagai corong utama dan terdepan dalam menyuarakan suara mereka yang tak bersuara karena keterbatasan dan ketertinggalan kereta di zaman kekinian dan dimasa depan nanti. Mereka tertinggal namun setidaknya masih punya mimpi menjadi manusia sejati seperti bird of paradise serta punya garis tanggan penghidupan penuh kebahagian seperti warna burung surga yang tete manis su kase itu.@arkam.

No comments:

Post a Comment

MENCARI MAYBRAT

TERSENYUM

Tahun ini awan terlihat gelap dipandang memakai kacamata jiwa, tahun penuh kecemasan, keraguan, kembimbangan, kepedihan yang datang dan per...