FAKTOR-FAKTOR
OTONOMI KHUSUS GAGAL DI PAPUA
Dasar Pemikiran Otonomi Khusus
Papua
Merasa terharu mendengar lagu
ciptaan Franky Sahilatua yang petikan lyricnya ”tanah papua tanah yang kaya, Surga kecil jatuh ke
bumi, seluas tanah sebanyak batu adalah harta harapan. Hitam kulit keriting
rambut aku papua biar nanti langit terbelahaku papua”lagu ini
sering diputar dibeberapa media TV swasta akhir-akhir ini.
Aceh
ingin mardeka lewat organisasi Gerakan Aceh Mardeka, Papua ingin mardeka lewat
perjuangan Gerakan Organisasi Papua Mardeka, keduanya sama-sama punya
keinginan mardeka, namun mengapa Aceh bisa diselesaikan dan tercipta
kedamaian sekarang disana, sementara Papua tidak?
Mengapa
sulit mencapai kedamaian dan kesejahteraan di tanah Papua? Secara
teoritis, konsep otonomi khusus sesungguhnya bagus. Dana otonomi khusus begitu
banyak dikucurkan selama periode 2002 sampai 2010 sebesar Rp 28,8
triliun. Jabatan pemimpin (Gubernur dan Bupati) sudah diberikan kepada
putra asli Papua.Selain itu, orang asli Papua sudah ditempatkan sebagai pelaku
utama pembangunan di tanah leluhurnya sendiri. Namun apa yang salah dari semua
pendekatan pembangunan ekonomi politik di tanah Papua selama ini?
Dasar
pemikiran kebijakan Otonomi Khusus merupakan kebijakan yang bertujuan untuk
memperbaiki berbagai ketertinggalan serta ketimpangan yang ada di Provinsi
Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi di wilayah timur Indonesia yang
menghadapi berbagai persoalan mendasar terkait dengan fakta ketertinggalan
wilayah. Daerah yang sebenarnya sangat kaya dengan potensi sumberdaya alam
(SDA) ternyata pada tataran riil menghadapi fakta yang bertolak belakang.
Ketertinggalan perekonomian masyarakat, minimnya penyelenggaraan pelayanan publik
yang berkualitas, jaringan infrastruktur yang masih memprihatinkan, hingga
persoalan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan permasalahan
mendasar di wilayah ini.
Kontradiksi
seperti ini lambat laun menciptakan kesenjangan yang secara langsung sangat
dirasakan oleh masyarakat Papua. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah
ternyata justru membawa dampak negatif yang sangat besar, mulai dari kerusakan
lingkungan hingga peminggiran hak-hak masyarakat asli. Berbagai aspirasi dan
tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan ketertinggalan Papua telah lama
disuarakan oleh masyarakat. Namun lambannya respon pemerintah menyebabkan
aspirasi dan tuntutan tersebut berubah menjadi resistensi masyarakat yang tidak
jarang berubah menjadi konflik fisik yang mengarah pada tuntutan kemerdekaan.
Masyarakat asli Papua mulai mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mencari
solusi berbagai persoalan mendasar di Papua. Terlebih lagi, berbagai kebijakan
yang diambil oleh pemerintah pusat terkait dengan kekayaan alam Papua terkesan
sangat eksploitatif dan justru meminggirkan peran masyarakat lokal yang
berdampak pada mandegnya tingkat kesejahteraan mereka.
Intensitas
konflik fisik maupun tuntutan kemerdekaan yang semakin tinggi akhirnya membuat
pemerintah mau tidak mau harus secara serius memperhatikan perkembangan
aspirasi masyarakat Papua. Seiring dengan semakin populernya konsep
desentralisasi pemerintahan sejak UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah disahkan, penyelenggaraan pemerintahan yang lebih sensitif terhadap
konteks lokal mulai menjadi mainstream utama reformasi pemerintahan.
Konsep
desentralisasi juga mulai diterapkan oleh pemerintah untuk konteks wilayah
Papua. Penyelenggaraan pemerintahan mulai dijalankan dengan pendekatan yang
berbeda, yang diharapkan dapat menciptakan perbaikan kualitas penyelenggaraan
pemerintahan di Papua. Lahirnya kebijakan Otonomi Khusus merupakan sebuah
pilihan kebijakan pemerintah pusat dan rakyat Papua sebagai suatu bentuk
langkah kompromistis antara kepentingan nasional dan desakan pemenuhan tuntutan
rakyat Papua. Sebagaimana dikemukakan di depan, otonomi khusus merupakan salah
satu varian konsep desentralisasi yang dikenal dengan desentralisasi asimetris
(asymmetrical decentralization). Kebijakan otonomi khusus akhirnya diambil oleh
pemerintah pusat guna menyelesaikan berbagai persoalan di Papua.
Potret
Otsus Papua
Melalui
UU Otsus Papua, pemerintah mendelegasikan kewenangan yang besar kepada
pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga sangat besar. Dana puluhan
triliun rupiah ini di luar dana lain seperti APBD dan dekonsentrasi. Pemerintah
juga baru saja mencanangkan kebijakan khusus untuk Papua melalui dua peraturan
presiden (perpres) yang ditandatangani 20 September 2011. Pertama, Perpres
Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua
Barat. Kedua,
Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua
dan Papua Barat. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci berjudul Rencana Aksi
yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat Tahun 2011-2012.
Pelaksanaan
Otonomi Khusus di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), hingga 1
Januari 2011 telah memasuki tahun ke sepuluh. Jika diteropong sedikit
kebelakang, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang kini menjadi dasar
pelaksanaan Otonomi Khusus Papua ini, ditetapkan oleh DPR RI pada 22 Oktober
2001. Kemudian oleh Presiden Megawati, UU tersebut disahkan 21 November 2001
dan dinyatakan berlaku mulai 1 Januari 2002. Secara umum, status Otonomi Khusus
bagi Tanah Papua akan melekat selama 25 tahun ke depan, yakni hingga tahun
2026.
ian
tertuang dalam bukunya, “Otonomi Khusus Papua mengangkat martabat orang asli
Papua dalam NKRI.” Filosofi dasar itulah yang telah menjadi amanat pemberlakuan
Otonomi Khusus bagi wilayah yang bergabung ke dalam NKRI sejak 1 Mei 1963
silam. “Sejatinya Otsus juga menjadi suatu formula politik yang mujarab untuk
meredam keluhan pembangunan dan tuntutan merdeka yang terus disuarakan orang
Papua,” berharap lewat Otonomi Khusus Papua pula, ada harapan untuk membangun
masa depan Papua dalam bingkai NKRI.
Dengan
begitu, sejumlah aktivis Papua di luar negeri yang saat ini tidak setuju soal
bergabungnya Tanah Papua ke dalam NKRI bisa kembali ke kampung halamannya untuk
membangun Papua. Memang secara kasat mata, realita sepuluh tahun pelaksanaan
Otonomi Khusus Papua yang kini mencakup dua provinsi bersaudara Papua dan Papua
Barat, telah menunjukan adanya trend pembangunan yang kian pesat. Hanya saja,
sejumlah pihak di Papua menilai pembangunan itu masih lebih sebatas aspek fisik
semata. Ada kesan, proses pembangunan belum sepenuhnya menempatkan orang asli
Papua sebagai pelaku utama. Meski begitu, pembangunan yang telah terekam dalam
beberapa tahun terakhir ini patut diapresiasi.
Misalnya,
sebagian besar daratan Tanah Papua yang sejak lama terisolasi oleh tutupan
hutan-hutan belantara, gunung-gunung terjal, sungai-sungai besar dan laut,
umumnya sudah bisa dijejali karena cukup tersedia berbagai infrastruktur
perhubungan, telekomunikasi dan informasi. Kampung-kampung yang dulunya hanya
bisa ditempuh dengan mengandalkan kemampuan otot kaki untuk berjalan
berhari-hari atau kuatnya tangan mendayung perahu bermil-mil, kini sudah bisa
diganti dengan akses transportasi jalan darat, perahu bermotor, kapal laut atau
pesawat terbang.
Indikasi
Kegagalan
Rendahnya
tingkat kesejahteraan untuk orang asli Papua. Bidang Kesehatan, Keadaan
kesehatan ibu dan anak kurun waktu tahun 2001 – 2009. Waupun penerapan Otonomi
Khusus Bagi Papua telah berjalan selama 10 Tahun, persoalan kesehatan di Papua
masih menjadi persoalan yang serius. Berdasarkan hasil survei kematian Ibu pada
Tahun 2001 ditemukan sebanyak 64.471 bayi, yang seharusnya hidup di Papua.
Namun demikian, hanya 51.460 bayi yang hidup dan 7.150 bayi yang meninggal.
Angka kematian bayi 122/1000 kelahiran hidup. Sebanyak 47.709 balita yang hidup
dan terdapat 3.751 balita yang meninggal. Angka kematian Balita yakni 64/1000
kelahiran hidup. ( Hasil survey Foker LSM Papua tentang keadaan kesehatan di
Papua, 2005 ).
Kasus
HIV dan AIDS terus meningkat, jumlah pengidap HIV dan AIDS di Tanah Papua
adalah 5.555 orang, Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan Papua Barat yang
dipublikasikan oleh KPA Provinsi Papua, 31 Maret 2008 menyebutkan bahwa : 1).
Provinsi Papua memiliki jumlah pengidap HIV dan AIDS adalah 3.955 orang yang
terklarifikasi sebagai berikut dimana HIV : 2.181 Orang, sedangkan AIDS 1.773
Orang, Sedangkan untuk Papua Barat memiliki jumlah 1600 HIV dan AIDS, dari
kasus HIV/AIDS 70 % adalah Orang Asli Papua.
Bidang
Pendidikan, menyebutkan bahwa alokasi anggaran penddikan Provinsi Papua tahun
2009 sebesar Rp 242,06 M. Jumlah ini serata dengan 4,71 % dari APBD atau
9,28 % dari dana Otsus. Jika menggunakan ketentuan UUD 1945, UU No. 20/2003,
dan PP No. 48/2008 yang menetapkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 %
dari APBD, anggaran pendidikan Papua Tahun 2009 ini seharusnya minimal sebesar
Rp 1,03 Triliun.
Diantara
geliat pembangunan dan kelimpahan uang pada era Otsus, tentu masih saja ada
kondisi yang kontras. Sebagian besar orang asli Papua seakan masih terjerembab
dalam jurang kemiskinan dan termarginal sehingga cenderung menuntut perbaikan
nasib mereka. Bahkan tuntutan itu dari waktu ke waktu terus menguat menjadi
aspirasi pemisahan Tanah Papua dari NKRI. Etnonasionalisme Papua pun semakin
subur. Teriakan “Otsus Gagal, Referendum Yes,” seakan menjadi spirit bagi massa
demonstran rakyat Papua pada setiap kali ada aksi demonstrasi di sejumlah
Kabupaten/Kota, dan pengibaran bendera OPM. Banyak pihak di Papua menuding
Otsus tidak bisa menjawab keluhan dan permasalahan pembangunan yang dihadapi
orang Papua.
Indikasi
kegagalan Otsus Papua terlihat pada beberapa aspek seperti, masih sulitnya
masyarakat di kampung-kampung dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan
yang baik. Hingga kini rakyat Papua masih terus bergumul dengan masalah
kesehatan seperti, kasus kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir, gizi
buruk, HIV/AIDS, TBC, ispa, malaria, kusta hingga penyakit lainnya. Di bidang
pendidikan, masih banyak anak-anak asli Papua yang tidak bisa bersekolah di daerah-daerah
pedalaman, masih banyak anak putus sekolah, minimnya sarana belajar mengajar di
kampung-kampung, adanya keterbatasan tenaga pendidik hingga biaya pendidikan
yang relatif mahal.
Menurut
Rektor Universitas Cenderawasih, Prof. DR. Berth Kambuaya, M.BA,
mengatakan bahwa permasalahan pembangunan selama Papua menjadi bagian NKRI
terjadi karena ada sesuatu yang salah (something
wrong). “Saya berpendapat bahwa strategi dan pendekatan pembangunan yang
dilaksanakan di Tanah Papua selama puluhan tahun lebih banyak di dominasi oleh
kebijakan dan pendekatan politik, dari pada pendekatan-pendekatan
kesejahteraan,”. Menurutnya, akibat dari model pendekatan seperti itu, telah
menciptakan ketergantungan yang sangat kental di kalangan masyarakat asli
Papua. Ketergantungan itu menurut Kambuaya, tampak dalam bentuk ketergantungan
Pemerintah Daerah (kabupaten/kota) kepada Pemerintah Provinsi, maupun
ketergantungan kabupaten/kota dan Provinsi kepada Pemerintah Pusat.
Otonomi
khusus yang berlaku di Papua sejak 2001 tidak berjalan sesuai harapan
masyarakat asli disana. Masih banyak penyimpangan disana-sini. Akibatnya tidak
ada perkembangan di sana, masyarakat Papua sering merasa tak pernah menikmati
hasil tanah kelahirannya. Padahal, pendekatan kesejahteraan diyakini adalah
solusi yang paling mujarab untuk permasalahan di Papua, dan itu pula yang
melandasi diberlakukannya Otonomi Khusus di Papua.
Kini,
pertanyaan mengenai penyaluran dana Otsus Papua pun semakin terdengar
dimana-mana. Dana otsus Papua sejak 2002 hingga 2010 sudah dicairkan pemerintah
pusat mencapai Rp28,8 triliun kepada Provinsi Papua dan Papua Barat. BPK hingga
kini baru melakukan audit sebesar 66,27% dari keseluruhan dana tersebut (atau
baru sebesar Rp19,1 triliun). Dan dari proses audit yang dilakukan telah
menemukan ada indikasi penyelewengan Rp319 miliar. Dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menyatakan siap untuk mengusut dugaan penyelewangan dana Otonomi
Khusus (Otsus) Papua tersebut.
Menurut
penulis, perlu kemudian untuk menyamaratakan dan memberlakukan hukum yang
sama terhadap elit-elit Papua yang terbukti korupsi harus diadili, tapi kalau
kita lihat selama ini, mau diperiksa sedikit-sedikit keluar bahasa mardeka,
sehinga pemeriksaan terhadap kasus korupsi tidak serius di Papua, tujuannya
supaya rakyat Papua bijak dan lebih jernih melihat akar persoalan, jangan
sedikit-sedikit menyalahkan pusat dengan mengatakan otsus gagal, tanpa kemudian
elit lokal Papua tidak mengevaluasi diri, pusat evaluasi tapi elit lokal harus
mengevaluasi diri juga, melihat pelayanan dan korupsi yang dilakukan oleh elit
di Papua sendiri, sehingga membuat rakyatnya semakin miskin.
Analisis
Kritis Otsus Papua
Sebagian
besar tokoh, Papua tidak sepenuhnya terlibat aktif selama pelaksanaan Otsus.
Memang ada beberapa tokoh yang masih terlibat dalam penyusunan kebijakan selama
pelaksanaan Otsus tetapi lebih banyak yang mengambil jarak dan pesimis terhadap
pelaksanaan Otsus. Ini bisa dipahami dalam berbagai kerangka berpikir, ada
tokoh yang ingin mempertahankan independesinya, ada pula kalangan akademisi
yang memang berkutat di kampus dan ada pula yang memang tidak pernah dilibatkan
atau diajak bicara oleh pemerintah Provinsi yang menjadi aktor utama
pelaksanaan Otsus. Tetapi pada dasarnya, mereka memberikan jawaban yang hampir
seragam dalam menanggapi pelaksanaan Otsus Papua.
Manfaat
Otsus Untuk Masyarakat Papua. Pada awalnya Otsus dianggap sebagai berkah besar
untuk masyarakat Papua. Masyarakat memiliki ekpektasi yang sangat besar bahwa
Otsus akan meningkatkan derajat kehidupan mereka. Apalagi dalam UU Otsus banyak
sekali penekanan tentang hak-hak mendasar orang Papua yang harus dipenuhi. Hal
ini ditambah lagi dengan keberadaaan dana Otsus yang jumlahnya cukup besar.
Tetapi dalam kenyataannya, para narasumber nyaris satu suara dalam hal ini,
kenyataan yang diterima oleh masyarakat tidak sebesar ekpektasi mereka
Permasalahan mendasar Otsus, selain masalah Perdasus, berkaitan dengan rencana
strategis Provinsi yang tidak terkomunikasikan dengan baik dan terbuka pada
seluruh masyarakat, termasuk elemen lembaga masyarakat sipil.
Itu
sebabnya, Otsus tidak banyak membawa perubahan derajat kehidupan untuk
masyarakat Papua. Masyarakat mendengar tentang Otsus, dana Otsus dan
janji-janji perbaikan kesejahteraan tetapi mereka tidak pernah merasakan
manfaatnya. Poin-poin penting dalam UU Otsus seperti pemenuhan hak-hak mendasar
orang Papua tidak dibarengi dengan penafsiran yang jelas dan detail sehingga
mandeg dalam impelementasi. Penggelontoran dana langsung, menurut beberapa
tokoh, justru kontraproduktif terhadap masyarakat. Dana tersebut (dalam bentuk
tunai) habis untuk konsumsi dan bukan untuk mengembangkan perekonomian mereka.
Karena mengharapkan dana tunai tersebut masyarakat mematikan potensi inovasi
dan kewirausahaan mereka. Sementara dana yang benar-benar terarah untuk
pengembangan perekonomian kerakyatan belum tampak hingga saat ini.
Pada
beberapa hal, memang ada pembangunan di Papua. Tetapi proyek-proyek pembangunan
tersebut hanya memperbesar cash outflow bukan cash inflow, karena miskin
output yang benar-benar berasal dari Papua. Inefesiensi itu selama ini memang
tidak terlihat karena lagi-lagi bisa tertutup dengan dana Otsus yang besar.
Yang Diuntungkan Oleh Otsus. Penting untuk mengetahui tentang pihak yang
diuntungkan dengan adanya Otsus Papua.
Terlepas
dari sinyalemen negatif dalam kaitannya dengan Otsus dan perbaikan kehidupan
masyarakat Papua, tentu saja tetap ada pihak yang diuntungkan dengan adanya
Otsus ini. Sebagian besar elit birokrat Papua sebagai pihak yang diuntungkan
dengan adanya Otsus ini. Lebih luas lagi termasuk mereka yang terlibat dalam
kebijakan ini seperti DPRP, pemerintah kabupaten hingga aparat tingkat bawah.
Besarnya alokasi dana Otsus untuk birokrasi pada tahun-tahun awal pelaksanaan
Otsus adalah salah satu alasan kenapa mereka menunjuk elit birokrat lokal.
Ditambah lagi dengan banyaknya alokasi dana Otsus yang dinilai kurang jelas dan
untuk proyek-proyek yang tidak pernah dirasakan langsung manfaatnya oleh
masyarakat.
Selain
elit birokrat lokal, pemerintah pusat juga diuntungkan dengan Otsus ini.
Menurut mereka, setelah memberikan Otsus, pemerintah pusat seolah bisa lepas
tangan dan menganggap permasalahan Papua telah selesai. Pemberian Otsus
memperkuat posisi politik Jakarta terhadap Papua. Pemerintah pusat sekarang
punya alasan logis untuk menindak setiap gerakan yang dianggap berpotensi
menumbuhkan disintegrasi di Papua sebab Otsus telah diberikan. Beberapa tokoh
juga menunjuk pihak swasta juga meraup untung dari Otsus ini. Selain dari
proyek-proyek yang diberikan oleh pemerintah mereka juga mendapatkan peluang
dari kewenangan kultural yang didapatkan kembali oleh kepala suku (Ondoafi)
terhadap tanah ulayat. Realitas ini terasa kontraproduktif tetapi kenyatan
itulah yang terjadi. Beberapa pihak swasta dengan mudah mendapatkan tanah
ulayat untuk kepentingan usaha setelah melakukan pendekatan dengan kepala suku
yang justru tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah.
Kesiapan
Pemerintah Dalam Era Otsus. Regulasi, struktur dan sistem pengawasan
adalah hal-hal yang disoroti oleh narasumber wawancara dalam menyoal kesiapan
pemerintah terutama pemerintah provinsi Papua dalam melaksanakan Otsus.
Ketidaksiapan regulasi tergambarkan dalam mandegnya penyusunan perdasus yang
berimplikasi pada masalah implementasi Otsus. Struktur pelaksana Otsus juga
mendapatkan sorotan karena tidak banyak mengalami perubahan setelah Otsus.
Faktor Penyebab Otonomi Khusus
Gagal di Papua
Pandangan para tokoh Papua
terhadap realitas Otonomi Khusus Papua itu memang cukup beralasan jika
dicermati berdasarkan fakta yang terjadi akhir-akhir ini. Hanya saja,
sebenarnya ada sejumlah pihak yang telah ikut memberikan sumbangsi pemikiran
bagi perbaikan Otsus Papua dan pasang surut hubungan Papua-Jakarta.
Menurut penulis ada (empat) faktor-faktor yang menyebabkan otonomi khusus gagal
di Papua.
Pertama,kegagalan implementasi
pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi
rakyat. Diantaranya adalah rumah sakit yang minim obat dan dokternya, serta
sekolah-sekolah pun masih minim guru, pelayanan publik di bidang kesehatan dan
pendidikan di Papua sangat mengkhatirkan.
Kedua,data hasil kajian demokrasi
(Democratic Center) Tahun 2010 Universitas Cenderawasih, menyimpulkan penyebab
Otonomi Khusus Papua tidak berjalan efektif diantaranya; Permasalahan masih
terjadi tumpang tindih aturan hukum yang dikeluarkan pusat dengan aturan
perdasus dan perdasi. Permasalahan menyangkut dimensi institusional
(kelembagaan), yakni belum terbentuknya sejumlah institusi penting yang
diamanatkan dalam UU Otsus seperti, pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR), Komisi Hukum Ad Hoc dan peradilan adat. Permasalahan belum
optimalnya sinergisitas tiga pilar utama Pemerintah Daerah (Pemprov, MRP dan
DPRP) di Papua.
Ketiga,pemerintah pusat tidak serius,
tegas dan berani untuk menyelidiki dan memeriksa elit atau pejabat pemerintahan
daerah Papua yang terindikasi korupsi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan
indikasi kerugian negara sebesar Rp319 miliar dalam penggunaan dana otonomi
khusus (Otsus) Papua. BPK hanya mengaudit 66,27% dana sebesar Rp19,1 triliun,
ada indikasi penyelewengan dana otsus mencapai Rp319 miliar.
Keempat,
kontradiksi
sejarah dan konstruksi identitas politik orang Papua, permasalahan menyangkut
dimensi politik, menyangkut proses bergabungnya Tanah Papua ke dalam bagian
NKRI. Artinya, anggapan pertama masyarakat Papua tentang ilegalnya hasil Pepera
tersebut masih terus menguat. Anggapan tokoh masyarakat Papua, Pepera
yang lama tidak fair dan memutarbalikkan sejarah Papua sebagai sebuah entitas.
Sementara pemerintah RI tetap yakin hasil Pepera itu sah sesuai 'New York Agreement'
1962 dan Pepera ini pun sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui
Resolusi 2505, pada tanggal 19 November 1969. Tidak ada yang harus diragukan.
Karena
itu menurut ketua DC Uncen, Dr. Muhamad Abud Musa’ad, kelima permasalahan
tersebut telah menyebabkan Otsus Papua secara idiil normatif dan aktual empirik
belum bisa menjadi lokomotif perubahan mendasar di Tanah Papua. “Pelaksanaan
Otsus juga sudah tidak relevan dengan dinamika perkembangan politik
pemerintahan di Tanah Papua”.
Kelima,
diskriminasi
terhadap orang asli Papua dan kekerasan negara terhadap orang Papua di masa
lalu. Perlunya jalan dialog yang melibatkan komponen-komponen di Papua
dengan Pemerintah Pusat seperti yang pernah dilakukan kepada Aceh. Perlunya
jalan rekonsiliasi diantara pengadilan HAM dan pengungkapan kebenaran kejahatan
aparat keamanan negara terhadap orang Papua di masa lalu demi penegakan hukum
dan keadilan bagi Papua, terutama korban, keluarganya dan warga Indonesia
secara umum. Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian itu, Muridan S.
Widjojo bersama tokoh intelektual Papua, Dr.Neles Tebay lebih jauh telah
menggagas wacana Dialog Papua-Jakarta. Hanya saja, wacana dialog itu sampai
saat ini belum direspon positif oleh para pihak di Papua dan Jakarta.
Keenam,
problem
menyangkut dimensi keuangan tampak pada pembagian dan pengelolaan dana Otsus
sejauh ini tidak dilakukan sesuai amanat UU Otsus lewat hadirnya sebuah
Perdasus. Sejauh ini pembagian dana Otsus hanya dilakukan berdasarkan
kesepakatan Bupati/Walikota se-tanah Papua. Sementara pengelolaannya hanya
didasarkan pada Permendagri (terakhir Permendagri No. 59 Tahun 2006) yang
dianggap tidak tepat sasaran.
Dalam
struktur APBD Papua sejak pemberlakuan Otsus juga tidak ditemukan kuota dana
sebesar 30 persen untuk pendidikan dan 15 persen untuk kesehatan. Pembagian
dana Otsus yang besarnya 70 persen untuk Papua dan 30 persen untuk Papua Barat
sejak tahun 2008 juga dilakukan dengan tanpa dasar hukum.
Solusi Persoalan Otsus Papua
Bertolak dari sejarah dan fakta
kegagalan Otonomi khusus Papua sebagaimana uraian diatas,
maka kami memberi solusi yang mesti dilakukan Pemerintah dan Orang Papua guna
mengakhiri berbagi persoalan di tanah Papua sebagai berikut :
Pertama,
Dilakukan
evaluasi secara konferehensif atas pelaksanaan Otsus Papua selama 10
Tahun ( 2001–2011 ). Evaluasi ini dilakukan oleh kedua belah pihak yakni
Pemerintah Pusat dan Orang Papua yang menyatakan Otsus gagal. Dalam evaluasi
pemerintah maupun orang Papua mengindentifikasi penyebab yang menghambat
pelaksanaan Otonomi Khusus Papua selama 10 tahun ini.
Kedua,Setelah dilakukan Evaluasi oleh
masing–masing pihak Jakarta dan Papua kemudian guna mencari solusi yang tepat
dan bijak dalam penyelesaian Otonomi Khusus Papua secara spesifik dan persoalan
Papua lainnya secara menyeluruh dan tuntas mutlak dilakukannya dialog antara
Pemerintah dengan masyarakat Papua yang menyatakan Pelaksanaan Otonomi Khusus
“gagal” dilaksanakan di Tanah Papua.
Ketiga,Hukum harus ditegakkan
seadil-adilnya, artinya jangan pemerintah pusat atau dalam hal ini KPK
ragu-ragu untuk menangkap elit dan pejabat Papua dan meminta pertangung
jawabkan atas dana Otsus yang dipakai selama 10 Tahun, yang tidak
menyentuh masyarakat kecil, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, namun
selama ini terkesan menguntungkan elit Papua. KPK harus berani untuk
melakukan penyelidikan kemana saja dana Otsus digunakan? Ini meski
dilakukan dalam rangka refungsionalisasi pelaksanaan otonomi khusus di Papua
agar masih ada harapan rakyat Papua akan kesunguhan Pusat untuk mensejahterakan
dan respon terhadap Papua.
Keempat,perlunya kebijakan rekognisi
untuk pemberdayaan orang asli Papua.Kelima,
perlunya semacam paradigma baru pembangunan yang berfokus pada pelayanan publik
demi kesejahteraan orang asli Papua di kampung-kampung.
Sumber : (http://pangisyarwi.com)