PERILAKU USAHA DI
TEMINABUAN DI LIHAT DARI ASPEK NILAI BUDAYA
(penelitian mandiri LPPM Uncen,
2008)
Penyelenggarakan
pembangunan nasional dalam era globalisasi dan reformasi serta otonomi daerah
dewasa ini, diupayakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada.
Oleh karena itu diperlukan langkah serta kebijaksanaan strategis terhadap
sektor-sektor ekonomi masyarakat agar dapat memacu laju pembangunan ekonomi
untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, yakni masyarakat sejahtera adil dan
merata bagi seluruh bangsa Indonesia.
Strategi
pembangunan ekonomi Indonesia yang telah dilaksanakan sejak awal
dititikberatkan pada stabilitas dan pertumbuhan dengan harapan bahwa
pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan adanya “tricle down effect” yang akan lebih meratakan distribusi pendapatan
masyarakat, namun pada kenyataannya konsep pembangunan ekonomi tersebut tidak
sesuai dengan yang diharapkan. Dimana kemiskinan yang terjadi selama ini tidak
saja menyebabkan ketimpangan pembagian pendapatan secara struktural, tetapi
juga secara regional. Kawasan Timur Indonesia (KTI), misalnya mempunyai
persentase penduduk miskin dan persentase desa tertinggal yang paling tinggi
dibandingkan dengan Sumatera dan Kalimantan.
Kondisi
ini terjadi karena kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang diarahkan pada
Kawasan Timur Indonesia (KTI) tampaknya tidak pernah dilaksanakan dengan
sungguh – sungguh, dimana perencanaan pem-bangunan yang telah dilaksanakan oleh
pemerintah selama ini tidak sesuai dengan keadaan dan kondisi daerah. Dengan
kondisi wilayah Indonesia
yang begitu luas dan kehidupan sosial ekonomi dan budaya yang beraneka ragam,
tidak memungkinkan untuk mengembangkan
konsep pembangunan ekonomi dan kebijakan yang bersifat makro saja tanpa
memperhatikan kekhususan dan ciri khas
tiap daerah.
Sejalan
dengan itu pembangunan ekonomi di daerah, sangat ditentukan oleh fundamental
ekonomi daerah yang kuat dengan sistem pemerintahan desentralisasi yang tidak
hanya menjaga stabilitas ekonomi daerah, tetapi juga harus memperhatikan ciri
dan kharakteristik yang dimiliki setiap daerah bersangkutan sebagai benteng
terhadap fluktuasi perubahan ekonomi secara nasional dan global. Sedangkan
penguatan fundamental ekonomi regional hanya dapat dilakukan melalui
pemberdayaan usaha-usaha kecil atau pengembangan usaha kegiatan ekonomi
produktif lainnya, dimana proses tersebut harus mengikutsertakan masyarakat,
baik dalam perencanan maupun dalam implementasi kebijakan-kebijakan pembangunan
ekonomi yang telah direncanakan.
Meskipun
demikian, ekonomi masyarakat lokal hanya dapat diberdayakan dengan baik, jika
masyarakat itu sendiri telah berdaya terlebih dahulu, atau terlibat langsung
dalam proses pengembangan ekonominya, sebagai pelaku ekonomi bukan sebagai
pendengar dan pelaksana keinginan pemerintah saja, atau pihak lain yang datang
untuk sekedar melaksanakan program tertentu.
Terlebih
lagi dengan adanya kondisi krisis ekonomi yang ber-kepanjangan dihadapi bangsa
Indonesia sampai saat ini, yang terimplikasi terhadap pembangunan, dimana
ditandai dengan adanya krisis multi dimensional, yang menciptakan kesenjangan,
kemiskinan dan menyebabkan sikap mental dan moral masyarakat yang cenderung
menciptakan disintegrasi bangsa serta belum memberi perhatian sepenuhnya
terhadap pentingnya proses pembangunan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Kesenjangan
sosial ekonomi masyarakat tersebut nampak pada perbedaan pendapatan dan tingkat
kesejahteraan yang mencolok antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dalam
masyarakat. Pada satu sisi terdapat kelompok masyarakat yang tingkat pendapatan
dan kesejahtera-annya sangat tinggi, sementara di sisi lain terdapat kelompok
masyarakat yang sangat miskin.
Kepincangan-kepincangan
tersebut di atas membawa kepada konflik antara pemerintah dan
masyarakat/penduduk lokal. Di satu pihak pemerintah mengklaim telah melakukan
investasi yang sangat besar untuk membangun daerah, namun di lain pihak
penduduk lokal membantah bahwa mereka belum atau tidak merasakan manfaat dari
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Kondisi
daerah, perkembangan sosial, politik dan ekonomi di Papua saat ini merupakan
refleksi nyata dari pergolakan batin orang Papua yang merasa frustrasi karena
merupakan bagian dari warga negara di Republik Indonesia ini yang diabaikan dan
secara khusus emosial yang sangat men-dasar karena penderitaan yang dialami di
atas kekayaan alam yang melim-pah ruah. Jika kondisi seperti tersebut di atas
dibiarkan berlanjut, maka akan menimbulkan berbagai permasalahan seperti
kecemburuan sosial antar suku, menurunnya kepercayaan kepada pemerintah, yang
pada akhirnya diwujudkan dengan ketidakpuasan dan disintegrasi bangsa.
Sehubungan
dengan itu, maka berbagai upaya harus terus dilakukan agar mempersempit
kesenjangan sosial, maupun ekonomi tersebut. Upaya-upaya dimaksud, yaitu
penciptaan peluang dan kesempatan bagi keterlibatan penduduk lokal dalam proses
pembangunan yang sedang berlangsung, khu-susnya pada pembangunan sektor ekonomi
masyarakat dalam bidang usaha nelayan.
Kesempatan
di bidang bisnis atau berwiraswasta, merupakan bidang yang paling potensial
untuk membuat keterlibatan penduduk lokal dalam ber-bagai kegiatan produktif
yang juga memperluas kesempatan kerja dan ke-sempatan mendapatkan penghasilan
yang memadai untuk mencapai kehidu-pan yang lebih baik.
Bertitik
tolak dari berbagai fenomena yang telah dikemukakan di atas, maka perlu
melakukan dan dengan memperhatikan
kodisi masyarakat Papua yang masih terbelenggu oleh sistem dan nilai-nilai
sosial budaya yang beranekaragam, maka perlu suatu kajian yang bukan hanya
mengarah pada konsep pembangunan ekonomi makro, tetapi juga perlu melakukan
suatu kajian ekonomi mikro dari perspektif Antropologi ekonomi, yakni suatu
konsep pembangunan ekonomi yang memperhatikan aspek sosial budaya masya-rakat
daerah bersangkutan. Dimana sosial budaya suatu masyarakat merupakan
komfigurasi yang membentuk perilaku individu dalam melakukan suatu kegitan.
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan kegiatan business diperlukan suatu
kajian yang mengarah pada aspek-aspek yang turut berperan dalam proses
pembentukan perilaku kewirausahaan.
Dalam
Semanggat Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, paradigma pembangunan ekonomi
dibalik dengan memberikan peluang yang lebih besar pada penduduk lokal untuk
dapat mengembangkan diri sebagai pengusaha diberbagai bidang usaha.
Pada
realititasnya, walaupun ada peluang yang diciptakan melalui kebijakan Otonomi
khusus tersebut, namun para pengusaha Papua, khususnya pengusaha ethnis Papua masih diperhadapkan pada rendahnya
kinerja usaha sebagai akibat dari perilaku kewirausahaan nelayan pengusaha
Papua yang belum profesional dan masih terikat oleh nilai-nilai budaya dan
kondisi sosial serta kondisi geografis yang tidak mendukung pengembangan aktivitas usaha yang dijalankan.
Adapun
nilai-nilai budaya yang tidak mendukung seperti pemanfaatan uang/pendapatan
untuk hal-hal yang tidak produktif sebagai konsekwensi dari sistem nilai budaya
yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat Papua. Nilai-nilai tersebut
antara lain : 1). Perayaan pesta – pesta adat (memperingati kematian orag tua
dan ke-luarga, pembayaran kepala orang tua yang meninggal, pembayaran
maskawin). 2). Bantuan dan tanggung jawab sosial terhadap keluarga baik garis
ketu-runan keluarga secara vertikal maupun horizontal baik dari Bapak maupun
Ibu. 3). Hubungan dan tanggung jawab tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh
permainan kain timur dan pembayaran maskawin. 4). Harga diri dan martabat
keluarga yang selalu didahulukan dalam segala hal, sehingga setiap orang dalam
kelompok/warga dapat mengorbankan harta termasuk uang untuk menebus nama baik
terutama dalam meng-hadapi permasalahan denda dan tanggung jawab lainnya antara
kelom-pok masyarakat.
Keadaan
tersebut tidak hanya berkembang pada generasi tua tetapi tetap hidup dan
berkembang di kalangan generasi muda. Terdapat pemaha-man di kalangan
masyarakat Papua bahwa seseorang itu adalah milik ber-sama. Misalnya seseorang
yang memiliki mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik, itu
dianggap sebagai asset keluarga. Kondisi tersebut menyebabkan hampir sebagian
besar penduduk asli Papua tidak memiliki simpanan/tabungan, yang selanjutnya
tidak ada pembentukan modal (capital accumulation). Dengan tidak adanya capital
accumulation tersebut, menyebabkan tidak ada-nya dana untuk pengembangan
usaha yang sudah ada maupun dimulainya usaha-usaha baru.
Rendahnya
kemampuan kewirausahaan ini dapat diidentifikasi dengan kurang mampunya
pengusaha Papua melakukan inovasi-inovasi baru, melakukan perubahan–perubahan
menyesuaikan dengan perkembangan, rendahnya kemampuan adaptasi dengan
perkembangan dan kemajuan lingkungan eks-ternal usaha yang dijalankan, ketidak
mampuan mengambil risiko dalam berusaha/berbisnis dan sebagainya.
Tulisan
ini ditulis untuk mencari bentuk pengembangan budaya kewirausahaan yang tepat,
apakah yang harus dilakukan, agar terbentuk kelompok usaha dinamis dan kreatif
di lingkungan pengusaha etnis Papua yang dapat mencapai titik optimal, yakni
mampu menjadi motor penggerak percepatan pertumbuhan ekonomi Papua dan
pembangunan untuk menghadapi penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan UU
Nomor 22 Tahun 1999 khususnya dan memasuki era globalisasi pada umumnya.
Menurut Penelitian Kambu
Arius Dosen FE-UNCEN, memberikan informasi bahwa setelah dilakukan analisis domain, analisis taksonomi, dan
analisis komponensial ditemukan lima fenomena yang merupakan “benang merah”
temuan penelitian. Fenomena pertama yang dapat dianalisis adalah perilaku
kewirausahaan. Fenomena kedua yang dapat dianalisis adalah pesta adat. Fenomena
ketiga adalah pembayaran denda atau maskawin. Fenomena keempat adalah berladang
(kebun). Fenomena kelima adalah peran antar suku. Fenomena enam adalah hubungan dengan pemerintah. fenomena ketujuh
adalah digunakannya prinsip-prinsip dalam manajemen sumberdaya manusia untuk
menjamin adanya kualitas pendidikan personel. Sedangkan fenomena delapan adalah
digunakannya perencanaan, supervisi dan evaluasi kinerja untuk dipenuhinya
pengalaman personel. Pembahasan terhadap kedelapan fenomena tersebut adalah
sebagai berikut:
Setelah dikemukakan beberapa karakteristik responden di
atas, maka dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan, umur, pendapatan, pola
konsumsi dan perilaku produksi serta sosial budaya yang dimiliki masyarakat Teminabuan merupakan faktor-faktor yang dominan peranannya dalam
membentuk perilaku kewirausahaan masyarakat di
Distrik Teminabuan. Dari segi tingkat pendidikan, pada umumnya
masyarakat masih memiliki tingkat pendidikan rendah, sehingga sulit untuk
me-ngadopsi inovasi teknologi dan pengembangan manajemen usaha yang profesional
dan dapat memberikan keuntungan dari hasil usaha yang lebih besar. Sistem
pengelolaan usaha yang dikembangkan sebagian besar masyarakat dalam melakukan
kegiatan usaha masih mengandalkan sistem kekeluargaan, yakni kegiatan usaha
sepenuh-nya masih ditangani keluarga dengan pertimbangan bahwa dengan
menggunakan tenaga kerja keluarga dapat menghemat upah tenaga kerja dan
menambah akumulasi pendapatan rumah tangga. Selanjutnya mulai dari proses
produksi sampai pada kegiatan pemasaran hasil usaha, pendapatan yang diperoleh
dari hasil penjualan produk relatif masih rendah. Salah satu faktor oleh karena
harga jual sering dipermainkan oleh para pedagang pengumpul yang pada umum-nya
adalah pengusaha pendatang yang datang untuk melakukan berbagai kegiatan usaha
yang dapat memberikan pendapatan yang cukup besar.
Meskipun dari segi umur rata-rata masyarakat memiliki
umur produktif yang merupakan potensi ditinjau dari segi kemampuan fisik untuk
melakukan suatu kegiatan usaha yang lebih produktif, namun karena kurangnya
usaha pengembangan dalam kegiatan manajemen usaha, sehingga tingkat pendapatan
yang diperoleh Masyarakat relatif masih rendah bila dibandingkan dengan
pengusaha pendatang yang melakukan kegiatan usaha yang sama dan hanya terbatas
pada pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga, baik bagi usaha perdagangan
kios, usaha jasa dan usaha pertanian/peternakan/nelayan yang masih mengandalkan
kesederhanaan dalam berbisnis.
Di samping itu, perilaku kewirausahaan Masyarakat juga
turut dibentuk dengan banyaknya jumlah tanggungan keluarga, di mana rata-rata
memiliki tanggungan keluarga yang cukup besar, sehingga mereka lebih banyak
terdorong berusaha mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya dan
kurang upaya untuk mengembangkan usahanya dengan cara melakukan pengembangan
faktor-faktor produksi yang dapat menunjang peningkatan produktivitas dan
pendapatan hasil usaha. Dari dimensi sosial budaya, masyarakat terutama yang
tinggal di Distrik Teminabuan masih
mengenal dan memegang teguh sistem kekerabatan dalam lingkungan sosialnya.
Sistem kekeluargaan dan saling membantu antara sanak keluarga masih merupakan
cermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dengan demikian pada umumnya hasil pendapatan yang telah
diperoleh dari hasil usahanya bukannya digunakan untuk tujuan pengembangan
usaha, tetapi pada umumnya digunakan untuk membantu sanak keluarganya yang
sedang membutuhkan bantuan berupa uang, terutama pada acara-acara pernikahan
dan pesta-pesta tradisional. Kebiasaan
masyarakat untuk melakukan pesta besar-besaran yang membutuhkan dana besar
merupakan suatu sikap yang terimplikasi pada perilaku kewirausahaan masyarakat.
Untuk memahami bagaimana keterkaitan antara
atribut-atribut faktor sosial budaya, kemampuan pengambilan keputusan,
kemampuan inovasi, kemampuan pengambilan resiko, faktor produksi,
distibusi, pola konsumsi serta faktor
kelembagaan dan faktor ineternal dan eksternal terhadap pembentukan perilaku
kewirausahaan, dapat dilakukan pengelompokan, dan pengklasifikasian
pendapat pengusaha kecil dan menengah
masyarakat kedalam tiga kategori yaitu sanggat mendukung sekali, sanggat
mendukung, netral, kurang mendukung dan kurang mendukung sekali. Hasil
pengelompokkan dan pengklasifikasian untuk masing-masing faktor sebagaimana
dijelaskan sebagai berikut:
Salah satu faktor yang turut membentuk perilaku
kewirausahaan masyarakat dalam pengembangan bisnis adalah faktor sosial budaya
yang berkaitan dengan pesta-pesta adat, pembayaran denda dan maskawin, serta
tanggung jawab sosial.
Setelah dilakukan telahan terhadap jawab responden,
dengan mengelompokan dan mengklasifikasikan kedalam kelompok yang sanggat
mendukung sekali, sanggat mendukung, netral, kurang mendukung dan kurang
mendukung sekali terhadap pembentukkan perilaku kewirausahaan diktehui bahwa
faktor sosial budaya kurang mendukung pembentukkan perilaku kewirausahaan dalam
pengembangan bisnis masyarakat. Dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa
rata-rata masyarakat berada pada rangking satu atau klasifikasi kurang
mendukung. Hal ini memberi indikasi bahwa masyarakat masih terikat pada
kebiasaan, pola hidup dan tingkah laku sosial budayanya, sehingga kurang
mendukung terhadap pembentukkan perilaku kewirausahaan dalam pengembangan
bisnis masyarakat.
Tanggung jawab sosial, menjadi faktor budaya utama yang
kurang mendukung pembentukkan perilaku kewirausahaan. Tanggung jawab sosial di
sini dimaksudkan sebagai tanggung jawab seseorang di dalam keluarga terhadap
semua kegiatan-kegiatan yang terjadi di dalam keluarga, baik yang bersifat
vertikal maupun horisontal dan juga lingkungan masyarakatnya. Kewajiban
terhadap tanggung jawab sosial tersebut
menjadikan seseorang di dalam keluarga yang memiliki pekerjaan dan pendapatan
yang baik dianggap sebagai aset keluarga.
Masyarakat Sorsel masih memegang teguh hubungan keluarga
(kekerabatan), baik secara vertikal maupun horisontal, baik terhadap keluarga
kakek, nenek, maupun keluarga suami atau istri. Hubungan-hubungan tersebut
menyebabkan pemanfatan dari hasil usaha dipergunakan untuk kepentingan
tersebut, dan kadang-kadang jumlah pengeluaran melampaui pendapatan yang
diperoleh.
Pesta-pesta adat yang berupa upacara pesta perkawinanan,
dan juga pembukaan kebun baru, serta penangkapan ikan. Di mana kegiatan yang berkaitan dengan pesta-pesta adat tersebut membawa konsekwensi pada pembiayaan
yang cukup besar, dan bervariasi sesuai dengan skala dan individu yang
melaksanakan kegiatan tersebut. Acara adat yang berkaitan dengan pembayaran
denda dan maskawin merupakan budaya yang berada pada masyarakat di Distrik
Teminabuan. Pada masa lalu, pembayaran
denda dan maskawin menggunakan alat bayar berupa benda/barang seperti kain
timur, babi, pada masyarakat di daerah pegunungan, sedangkan pembayaran dengan
menggunakan motor tempel, perahu, maupun alat penangkapan ikan bagi masyarakat
di daerah pesisir pantai dan pulau. Pada jaman modern ini kebiasaan pembayaran
denda maupun waskawin dilakukan dengan menggunakan barang dan uang secara
bersama-sama atau barang dikonversikan kepada uang. Pembayaran denda maupun
waskawin dengan menggunakan uang bervariasi pada berbagai suku. Pembayaran
dilakukan dalam bentuk uang maupun barang, besarnya berkisar antara Rp 50.000.000,- s/d Rp.150.000.000,-.
Pada kelompok masyarakat tertentu besar kecilnya
pembayaran denda dan maskawin berdasarkan kelas dari individu yang bermasalah.
Pada masyarakat kelas atas (bobot) jauh lebih mahal dibandingkan dengan kelas
bawah. Jenis pembayarannya juga bervariasi, misalnya menggunakan kain timur
yang nilai kain timurnya jauh lebih
tinggi, jika dikonversikan dengan uang
berkisar antara Rp. 5.000.000,- s/d Rp.15.000.000,-. Sedangkan pada masyarakat pesisir pantai dan
pulau pembayaran dilakukan dalam bentuk uang dan barang berupa motor tempel,
perahu, atau benda lainnya yang berkaitan dengan kehidupannya di wilayah laut.
Perilaku masyarakat di dalam menghadapi semua kegiatan
adat tersebut di atas, dipengaruhi oleh suatu nilai-nilai budaya dan
norma-norma sosial yang hidup dalam lingkungan masyarakatnya. Budaya rasa malu
dinilai tidak mampu, menjadi faktor pendorong yang sangat kuat di dalam
melakukan tanggung jawab adat tersebut.
Upaya menjaga harga diri dan martabat
keluarga, kelompok dari penilaian tidak mampun, mendorong setiap orang
didalam kelompok melakukan pengorbaban dalam bentuk uang maupun barang.
Misalnya pembayaran denda atau maskawin; walaupun dalam jumlah yang besar dapat
diselesaikan dalam waktu yang singkat karena dorongan menjaga harga diri dan
martabat keluarga/kelompok, atau rasa malu dinilai tidak mampu.
Dari dimensi sosial budaya, masyarakat Sorsel, terutama
yang tinggal di daerah pesisir pantai masih mengenal dan memegang teguh sistem
kekerabatan dalam lingkungan sosialnya. Sistem kekeluargaan dan saling membantu
antara sanak keluarga masih merupakan cermin dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat teminabuan. Pada umumnya hasil pendapatan yang telah diperoleh dari
hasil usahanya bukannya digunakan untuk tujuan pengembangan usaha, tetapi pada
umumnya digunakan untuk membantu sanak keluarganya yang sedang membutuhkan
bantuan berupa uang, terutama pada acara-acara pernikahan dan pesta-pesta
tradisional.
Namun demikian, nilai-nilai budaya tersebut akan dapat
bermanfaat atau bernilai positif terhadap perilaku kewirausahaan masyarakat,
jika dapat diarahkan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih produktif, terutama
yang mendukung kegiatan usaha masyarakat. Demikian pula kebersamaan di dalam
menjaga harga diri dan martabat keluarga dengan cara melakukan pengumpulan dana
dalam waktu yang singkat dapat diarahkan untuk membiayai dan menjalankan
kegiatan bisnis yang lebih produktif.
Perilaku
kewirausahaan masyarakat selain dipengaruhi oleh sosial budaya juga dibentuk
oleh perilaku kelompok dalam kegiatan sosial yang berkaitan dengan konsumsi,
investasi, pendidikan, dan kesehatan serta kebutuhan lainnya. Hasil rangking
dan klasifikasi terhadap respon yang dijadikan sampel dalam penelitian ini,
memberi indikasi bahwa perilaku (konsumsi, investasi, pendidikan, dan kesehatan
serta kebutuhan lainnya) kurang mendukung terbentuknya perilaku kewirausahaan
masyarakat. Untuk jelasnya hasil rangking dan klasifikasi tersebut menunjukkan
perilaku kelompok dalam kegiatan penyelesaian masalah dan kegiatan sosial
cenderung kurang mendukung atau tidak
produktif. Hal ini dapat dilihat
pada rangking satu atau klasifikasi kurang mendukung. Sedangkan pemanfaatan
pendapatan dalam kegiatan ekonomi dapat dikatakan lebih rendah dibanding dengan
akumulasi pemanfaatan pendapatan untuk kegiatan penyelesaian masalah dan
kegiatan social ekonomi, hal ini menggambarkan bahwa masyarakat menggunakan
kurang lebih pendapatan mereka untuk keperluan non konsumsi.. Hal ini memberi
indikasi bahwa masyarakat memiliki
perilaku kewirausahaan yang masih
rendah.
Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa potensi sosial budaya
masyarakat sangat tergantung pada hasil pendapatan yang diperoleh dan jumlah
tanggungan keluarga. Disamping itu terdapat pula suatu kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat, dimana semakin tinggi hasil pendapatan yang diperoleh
semakin besar pengeluaran rumah tangganya, begitu pula halnya semakin banyak
jumlah tanggungan keluarga semakin besar pula pengeluaran rumah tangga,
terutama pada kebutuhan yang menjadi tanggung jawab sosial budaya (pesta-pesta
adat, pembayaran maskawin dan denda).
Kecenderungan penggunaan pendapatan pada kegiatan sosial
yang jauh lebih besar tersebut, merupakan implikasi dari tanggung jawab sosial
terhadap keluarga yang tetap dipegang teguh oleh masyarakat. Hubungan
kekerabatan, keluarga secara vertikal dan horisontal dari kedua belah pihak
suami dan isteri menyebabkan semakin
luasnya tanggungan keluarga. Dikalangan masyarakat pada setiap keluarga
rata-rata berkumpul selain keluarga inti, juga ditampung keluarga lainnya baik
dari pihak suami maupun istri, dan rata-rata mencapai 8 -10 orang.
Kemudian pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan
anak-anak dan keluarga kadang-kadang
tidak menjadi prioritas, atau tidak direncanakan dengan baik. Dimana
pengeluaran-pengeluaran untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut dilakukan secara
sporadis dan tidak terencana. Demikian juga pengeluaran lainnya yang merupakan
tanggung jawab sosial terhadap keluarga. Kondisi tersebut terjadi disebabkan
karena ada perasaan dalam diri setiap
individu yang selalu merasa takut dinilai tidak bertanggung jawab, berperilaku
kurang baik, sombong, dan tidak perduli terhadap keluarga. Dan hal seperti ini kadang-kadang menjadi
dasar perbandingan oleh anggota keluarga terhadap perilaku dan sikap dari orang
tertentu yang membandingkan dengan saudara kandungnya yang lain.
Model kegiatan yang cenderung sosial tersebut,
menyebabkan siklus usaha tidak berjalan secara kontinyu dan profesional. Sifat
sosial yang tinggi menyebakan rendahnya akumlasi modal dan tidak mampu
melakukan investasi serta pengembangan usaha lebih lanjut.
Gaya atau pola konsumsi rumahtangga masyarakat bervariasi meliputi kebutuhan untuk bahan
makanan, pakaian, pendidikan, pengobatan, dan pengeluaran lainnya, seperti
pembayaran denda atas pelanggaran norma-norma budaya yang telah menjadi tradisi
dalam kehidupan masyarakat, baik yang terjadi pada salah seorang sanak keluarga
yang merupakan tanggungannya untuk menutupi aib atau menjaga nama baik keluarga.
Nilai-nilai budaya seperti ini masih dipegang teguh oleh masyarakat, sehingga
merupakan salah satu pos pengeluaran keuangan rumahtangga yang perlu dipenuhi.
Beban yang ditanggung oleh masyarakat, membuat mereka
terbelenggu pada gaya hidup dimana pengeluaran selalu lebih besar dari
pendapatan, sehingga mereka terlibat didalam lingkaran utang piutang diantara
sesama masyarakat itu sendiri maupun dengan pedagang dari luar (bugis, buton,
dan jawa). Dengan demikian dapat
dikemukakan bahwa faktor sosial tidak mendukung pembentukkan perilaku
kewirausahaan masyarakat.
Perilaku pemanfaatan pendapatan yang dipengaruhi oleh
nilai sosial budaya tersebut, perlu dikaji secara secara khusus dengan mengembangkan berbagai upaya untuk
dapat mengkombinasikan kedua sisi untuk tetap menjaga nilai-nilai budaya yang
berkembang dalam kelompok masyarakat, tetapi juga pengelolaan bisinis dapat
berjalan secara baik. Dengan demikian penilaian bahwa satu sikap perilaku
masyarakat, yang suka boros menggunakan pendapatan untuk hal-hal yang tidak
produktif dapat diposisikan secara
tepat. Dalam kaitannya dengan nilai sosial masyarakat yang masih kuat
dipengaruhi oleh budaya, dan tradisi, bentuk penggunaan pendapatan seperti yang
dijelaskan di atas merupakan kewajiban yang menjadi tanggung jawab sosial
setiap anggota kelompok. Perilaku sosial seperti ini kurang mendukung kegiatan
usaha bagi masyarakat, karena tidak adanya pemupukan modal usaha untuk
pengembangan usaha.
Faktor-faktor Potensi Sumber Daya Alam merupakan salah
satu faktor yang ikut berperan terhadap pembentukan perilaku kewirausahaan
masyarakat, yang mencakup perilaku kepemilikan hak ulayat dalam
kelompok/individu, pengelolaan selama ini, pengelolaan dimasa yang akan dating
dan siapa yang mengawasi potensi SDA tersebut. Hasil pengelompokkan terhadap
respon, menunjukkan bahwa faktor-faktor sumberdaya alam mendukung terbentuknya
perilaku kewirausahaan masyarakat. Untuk lebih jelasnya pemberian rangking atau
klasifiksi tersebut menunjukkan rangking
1 (satu) potensi sumber daya alam masuk
pada klasifikasi sanggat mendukung bahwa keaneka ragaman potensi alam berperan
penting terhadap pembentukan perilaku kewirausahaan, disusul oleh rangking 2
(dua) pengelolaan kelompok/individu masuk pada klasifikasi mendukung. Sedangkan pengawasan tingkat pemanfaatan sumber daya
alam memiliki rangking satu masuk pada klasifikasi kurang mendukung.
Perilaku kewirausahaan masyarakat selain dipengaruhi oleh
sosial budaya juga dibentuk oleh pendidikan
dalam bentuk pembinaan dan pelatihan untuk masyarakat perlu mempertimbangkan
aspek spek sosial ekonomi rumah angga dengan lebih memfokuskan sasaran target
pelayanan pendidikan kepada mayoritas rumah tangga yang miskin. Selanjutnya
intervensi pendidikan untuk masyarakat harus memberikan prioritas kepada anak
usia 13 tahun keatas. Di samping itu dalam pendekatan pembinaan dengan menata
kembali soaial budaya masyarakat dan juga perilaku kelompok, serta kebijakan
pengendalian melalui program pemberdayaan ekonomi.
Pendekatan pengembangan Sumber Daya Manusia masyarakat,
baik aspek pelayan pembinaan maupun aspek pengembangan kewirausahaan perlu
dilakukan secara sistematis, dan disesuaikan dengan masa-masa produksi rumah
tanga mereka. Bila proses pengembangan SDM masyarakat dapat didahulukan dalam
proses pembangunan satu Daerah, maka dengan sendirinya konsep pengembangan
kewirausahaan akan berhasil, yaitu ketika manusia yang menggantungkan hidupnya
kepada agribisnis, dan kelautan terlebih dahulu mendapatkan peningkatan
cadangan modal, yaitu Ilmu Pengetahuan ( knowledge ) dan kesehatan ( healthty ). Selama ini ada beberapa
kendala pemberdayaan masyarakat yang dilakukan melalui program Pemerintah yaitu
; jangka waktu implementasi sangat pendek sementara dana yang harus disalurkan
relatif besar, dan pada saat yang bersamaan tenaga lapangan sangat terbatas.
Program Pemerintah selama ini menggunakan pendekatan participatory rural appraisal
yang membutuhkan tenaga fasilitator
dalam jumlah yang banyak, agar mampu menampung aspirasi masyarakat, akan tetapi
kenyataannya ketersediaan tenaga fasilitator sangat terbatas.
Disamping kedua hal diatas kendala pemberdayaan
masyarakat melalui program Pemerintah adalah proses penyaluran dana mulai dari
Pemerintah Pusat hingga penerima bantuan masih dihadapkan dengan mata rantai
yang cukup panjang, sehinga pelaksanaan kegiatan tidak sesuai dengan kondisi
penerima bantuan masyarakat.Hasil rangking dan
klasifikasi terhadap respon yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, memberi
indikasi bahwa pengembangan dan pelatihan kewirausahaan kurang mendukung
terbentuknya perilaku kewirausahaan masyarakat. Untuk jelasnya hasil rangking
dan klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa faktor pembinaan dan pelatihan pada
masyarakat cenderung tidak memberikan kontribusi yang berarti dalam
pengembangan kewirausahaan masyarakat. Hal
ini dapat dilihat dari rangking yang diberikan sebesar satu menunjukkan bahwa
faktor pembinaan dan pelatihan memberikan indikasi bahwa masyarakat memiliki
perilaku kewirausahaan yang masih rendah.
Perilaku kewirausahaan masyarakat selain dipengaruhi oleh
sosial budaya juga dibentuk oleh perilaku konsumsi yang berkaitan dengan
konsumsi, investasi, pendidikan, dan kesehatan serta kebutuhan lainnya. Hasil
rangking atau klasifikasi terhadap respon yang dijadikan responden dalam
penelitian ini, memberi indikasi bahwa perilaku (konsumsi, investasi,
pendidikan, dan kesehatan serta kebutuhan lainnya) kurang mendukung
terbentuknya perilaku kewirausahaan masyarakat. Untuk jelasnya hasil
klasifikasi dan pengelompokkan tersebut menunjukkan perilaku masyarakat
cenderung konsumptif dan tidak produktif. Hal ini dapat dilihat dari rangking
yang diberikan sebesar satu menunjukkan bahwa pemanfaatan pendapatan untuk
investasi, kesehatan dan pendidikan dapat dikatakan lebih rendah dibanding
dengan akumulasi pemanfaatan pendapatan mereka untuk keperluan non konsumsi.
Hal tersebut diatas memberi indikasi bahwa masyarakat memiliki perilaku
kewirausahaan yang masih rendah.
Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa pola konsumsi rumah
tangga masyarakat sangat relatif tergantung pada hasil pendapatan yang diperoleh
dan jumlah tanggungan keluarga. Disamping itu terdapat pula suatu kebiasaan
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, dimana semakin tinggi
hasil pendapatan yang diperoleh semakin besar pengeluaran rumahtangganya,
begitu pula halnya semakin banyak jumlah tanggungan keluarga semakin besar pula
pengeluaran rumahtangga, terutama pada kebutuhan makanan dan pakaian serta
biaya yang menjadi tanggung jawab sosial budaya (pesta-pesta adat, pembayaran
maskawin dan denda).
Kecenderungan penggunaan pendapatan pada konsumsi yang jauh lebih besar tersebut,
merupakan implikasi dari tanggung jawab sosial terhadap keluarga yang
tetap dipegang teguh oleh masyarakat. Hubungan kekerabatan, keluarga secara
vertikal dan horisontal dari kedua belah pihak suami dan isteri menyebabkan semakin luasnya tanggungan
keluarga. Dikalangan masyarakat khususnya nelayan pada setiap keluarga
rata-rata berkumpul selain keluarga inti, juga ditampung keluarga lainnya baik
dari pihak suami maupun istri, dan rata-rata mencapai 8 -10 orang.
Kemudian pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan
anak-anak dan keluarga kadang-kadang tidak menjadi prioritas, atau tidak
direncanakan dengan baik. Dimana pengeluaran-pengeluaran untuk
kebutuhan-kebutuhan tersebut dilakukan secara sporadis dan tidak terencana.
Demikian juga pengeluaran lainnya yang merupakan tanggung jawab sosial terhadap
keluarga jauh. Kondisi tersebut terjadi disebabkan karena ada perasaan dalam
diri setiap individu yang selalu merasa takut dinilai tidak bertanggung jawab, berperilaku
kurang baik, sombong, dan tidak perduli terhadap keluarga. Dan hal seperti ini
kadang-kadang menjadi dasar perbandingan oleh anggota keluarga terhadap perilaku dan sikap dari
orang tertentu yang membandingkan dengan saudara kandungnya yang lain.
Perilaku yang cenderung konsumptif pada masyarakat
tersebut, menyebabkan siklus usaha tidak berjalan secara kontinyu dan
profesional. Sifat konsumptif yang tinggi menyebakan rendahnya akumlasi modal
dan tidak mampu melakukan investasi serta pengembangan usaha lebih lanjut.
Gaya atau pola konsumsi rumahtangga masyarakat bervariasi meliputi kebutuhan untuk bahan
makanan, pakaian, pendidikan, pengobatan, dan pengeluaran lainnya, seperti
pembayaran denda atas pelanggaran norma-norma budaya yang telah menjadi tradisi
dalam kehidupan masyarakat, baik yang terjadi pada salah seorang sanak keluarga
yang merupakan tanggungannya untuk menutupi aib atau menjaga nama baik
keluarga. Nilai-nilai budaya seperti ini masih dipegang teguh oleh masyarakat
sehingga merupakan salah satu pos pengeluaran keuangan rumahtangga yang perlu
dipenuhi.
Beban yang ditanggung oleh para nelayan, membuat mereka
terbelenggu pada gaya hidup dimana pengeluaran selalu lebih besar dari
penedapatan, sehingga mereka terlibat didalam lingkaran utang piutang diantara
nelayan itu sendiri maupun dengan pedagang dari luar (bugis, buton, dan
jawa). Dengan demikian dapat dikemukakan
bahwa faktor pola konsumsi tidak mendukung pembentukkan perilaku kewirausahaan
nelayan papua.
Dilihat dari perspektif antropologi pengeluaran yang dilakukan untuk
menolong sesama anggota kelompok terhadap anggota dianggap sebagai investasi
diantara warga dengan harapan akan dikembalikan dalam pola yang sama diwaktu
mendatang. Di kalangan
masyarakat papua termasuk nelayan, pandangan dan pendapat tersebut benar-benar
hidup dan berkembang sampai dengan saat ini, tidak saja pada kalangan
masyarakat bawah tetapi juga dikalangan masyarakat atas yang sudah lebih maju
pendidikannya. Namun demikian, dari sisi
bisnis pola tersebut dinilai menjadi penghambat
karena dapat mempengaruhi pembentukkan modal yang diperlukan untuk
pengembangan usaha.
Perilaku pemanfaatan pendapatan yang dipengaruhi oleh
nilai sosial budaya tersebut, perlu dikaji secara secara khusus dengan mengembangkan berbagai upaya untuk
dapat mengkombinasikan kedua sisi untuk tetap menjaga nilai-nilai budaya yang
berkembang dalam kelompok masyarakat, tetapi juga pengelolaan bisinis dapat
berjalan secara baik. Dengan demikian penilaian
bahwa satu sikap perilaku masyarakat, yang suka boros menggunakan pendapatan
untuk hal-hal yang tidak produktif dapat
diposisikan secara tepat. dalam
kaitannya dengan pola konsumsi kehidupan masyarakat yang masih kuat dipengaruhi
oleh budaya, dan tradisi, bentuk penggunaan pendapatan seperti yang dijelaskan
di atas merupakan kewajiban yang menjadi tanggung jawab sosisal setiap anggota
kelompok. Perilaku pola konsumsi seperti ini kurang mendukung kegiatan usaha
bagi masyarakat nelayan Papua, karena tidak adanya pemupukan modal usaha untuk
pengembangan usaha.
Dalam rangka mengidentifikasi tingkat perkembangan dan
proses kewirausahaan usaha kecil dan menengah di Kabupaten Sorong Selatan, akan
di pergunakan model Entrepreneurship/Small
Business Management Process memperlihatkan proses pembentukan dan tahapan perkembangan
usaha kecil dan menengah yang dimulai dari inovasi, trigering, dan
implementation. Ketiga tahapan ini merupakan masa inkubasi atau embrio
dimulainya untuk usaha. Sedangkan growth,
maturity dan harvest merupakan entrepreneur process yang menunju kepada
small business process.
Berdasarkan pada analisis perilaku wirausaha, usaha kecil
dan menengah di Distrik Teminabuan, pada
umumnya masih berada pada tahapan
inovasi dan trigering, atau masih berada pada even entrepreneur process , dimana mereka secara alamiah memiliki
jiwa entrepreneurship dimana mereka telah memulai kegiatan bisnis walaupun masih sangat
sederhana dan tradisional.
Pada tahapan
inovation dan trigering personal
karakteristik dan environment
(lingkungan) memegang peranan penting untuk pembentukkan perilaku
kewirausahaan. Personal karakteristik disini mencakup need for achievement, risk taking, personal values. Education dan experience yang harus disuport dengan environment (lingkungan) bisnis yang
kondusif. Environment
tersebut mencakup opportunities, role models dan creativity yang memungkinkan untuk pengembangan usaha.
Pada
fase trigering, personal
karakteristik yang diikuti dengan comitment yang kuat dan dilain pihak dukungan environment
bisnis yang kondisif yang mencakup peranan pemerintah dan penguasaan resources
serta incubator yang memungkinkan
aktivitas bisnis dijalankan dengan baik. Dari profil usaha masyarakat
yang telah dijelaskan, dimana kedua kondisi tersebut dirasakan masih sangat
rendah.
Hasil
wawancara dilapangan memperlihatkan bahwa masyarakat belum memiliki karakter
yang kuat sebagai pengusaha, tingkat pendidikan yang rendah, serta tidak berani
mengambil resiko dalam pengembangan bisinis. Kegiatan usaha masyarakat
dilakukan tidak dalam lingkup wawasan bisinis, tetapi dijalankan sesuai kondisi
dan kebutuhan.
Dengan
demikian untuk mencapai level implementasi , dimana terbentuknya proses usaha kecil dan menengah masih perlu dilakukan perbaikan pada kedua
sisi baik karakter dari masyarakat itu untuk memiliki mental sebagai usahawan,
dan memiliki personal values yang baik dan memiliki motivasi yang tinggi untuk
menjalankan bisnis.
Perspektif
kedepan usaha masyarakat diharapkan bergeser
dari usaha kecil ke pengusaha yang
mengelola usaha secara profesional, bisnis minded dan profit orientation. Upaya
ke arah tersebut dilakukan dengan tetap mempertahankan dan meningkatkan faktor
yang potensial mendukung pembentukan perilaku kewirausahaan, serta lebih memacu
faktor-faktor yang masih moderat didalam pembentukkan perilaku kewirausahaan,
dan memberi perhatian secara serius dan
lebih memotivasi faktor-faktor sosial
budaya dan perilaku konsumsi untuk lebih menuju kepada pembentukkan perilaku
kewirausahaan .
Berkaitan
dengan itu, maka di dalam upaya-upaya
pengembangan perilaku kewirausahaan masyarakat
yang masih terpenjara oleh kondisi
lingkungan (environment) dan
sosio cultural (social behavior)
perlu dicermati dengan baik, dan diperlukan kesepahaman antara ekonom dan antropolog,
serta psyholog, untuk mencari
model yang tepat bagi pengembangan
kewirausahaan masyarakat.
Dalam
kondisi masyarakat dengan sosio cultural yang beraneka ragam, maka pola
pembinaan secara cell groups merupakan bentuk yang tepat, karena
individu dikelompokkan sesuai bidang usaha, tingkatan/level yang dicapai, scala
usaha dan tetap memperhatikan social cultural constraint pada masing-masing individu yang dibina.
Setelah dipaparkan daya dukung beberapa indikator yang berperan terhadap
pembentukan perilaku kewirausahaan masyarakat, maka analisis selanjutnya
diarahkan untuk melihat hubungan antara perilaku kewirausahaan dan pengembangan
usaha masyarakat.
Untuk
melakukan analisis tersebut maka responden dikelompokkan berdasarkan kelompok
usaha dagang Kios, usaha pertanian, usaha nelayan udang, usaha peternakan,
usaha kelompok/bersama, usaha jasa, dan usaha industri. Kemudian untuk melihat
hubungan faktor tersebut digunakan konsep analisis Fred R. David untuk
menentukan faktor-faktor mana yang dianggap paling berpengaruh dalam
pembentukan perilaku kewirausahaan masyarakat. Berdasarkan hasil analisis, maka
tingkat hubungan antara perilaku kewirausahaan
dengan pengembangan bisnis masyarakat dapat memberi gambaran bahwa aktivitas sosial, dan potensi
sosial masyarakat dapat dikatakan memiliki hubungan sanggat lemah terhadap
kinerja pengembangan bisnis masyarakat. Dengan kata lain, bilamana masyarakat masih
memiliki tradisi budaya yang tinggi, maka perilaku kewirausahaan masyarakat
berpengaruh secara negatif terhadap tingkat kemampuan pengembangan bisnis. Gambaran
lain yang diperoleh adalah bahwa kelima faktor tersebut memiliki perbedaan
hubungan perilaku kewirausahaan terhadap pengembangan bisnis masyarakat.
Sebagaimana dapat dilihat pada indikator sosial budaya untuk usaha dagang kios,
nelayan udang, pertanian, peternakan, perikanan, usaha jasa, usaha kelompok,
dan usaha industri, memiliki perilaku kewirausahaan yang hubungan yang kurang
mendukung terhadap pengembangan bisnis. Selain
itu perilaku kewirausahaan masyarakat yang masih rendah, tidak inovatif, tidak
mampu mengambil resiko, dan tidak mampu mengambil keputusan, serta belum mampu
mengembangkan kemitraan atau dengan kata
lain kurang profesional.
Selain itu, profil
aktivitas usaha masyarakat juga
menunjukkan bahwa mereka bekerja secara
individual, belum terorganisir dengan
baik, bekerja tidak berdasarkan pada
perjanjjian kerja tertentu dan juga tidak
berdasarkan pada patron client seperti
apa yang umumnya terjadi pada kelompok usaha kecil di daerah lain.
Berdasarkan
pada kondisi tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa usaha masyarakat saat
ini hanya bekerja berdasarkan komprominitas diantara mereka, untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Kegiatan usaha dilakukan hanya untuk menyelamatkan dan
memenuhi kebutuhan keluarga (Safety
First), keselamatan dalam arti pemenuhan kebutuhan menjadi
prioritas, dan bukan business minded. Sedangkan pada sisi keberanian mengambil
risiko, maupun melakukan inovasi merupakan suatu proses uji coba yang tidak
terlepas dari membuat kesalahan. Dengan demikian rendahnya kemampuan
pengambilan resiko yang dihadapi usaha masyarakat juga merupakan refleksi dari
azas dasar kepercayaan yang dianutnya.
Kemampuan
melakukan hubungan kemitraan merupakan aspek lain yang berada pada budaya masyarakat yang memiliki
sistim kekerabatan yang begitu luas. Hubungan perkawinan, hubungan permainan
kain timur, hubungan keturunan merupakan jaringan kekeluargaan yang sangat
besar, namun di dalam hubungan kemitraan yang berkaitan dengan aktivitas
ekonomi sangat sulit dilakukan, disebabkan rasa malu karena kesulitan dalam
berkomunikasi. tingkat pendidikan yang rendah, sehingga tidak memiliki rasa percaya
Hasil
penelitian ini telah memberikan sedikit empat kesimpulan terkait dengan
telaah tentang eksistensi nilai budaya
terhadap pembentukan usaha kecil dan menengah. Empat kesimpulan tersebut adalah
: (1). Usaha kecil dan menengah masyarakat di Kabupaten Sorong Selatan (daerah
sampel) masih berada pada tahapan mencari bentuk (inovasi, trigering), dimana personal karakter (nilai pribadi,
pendidikan, pengalaman, pengambilan risiko, pengendalian intern,) serta faktor lingkungan (kesempatan/peluang, ,peran,
dan kreativitas, kebijakan pemerintah)
sangat dominan dan masih lemah; (2). Usaha produktif, termasuk kelompok usaha (mikro, kecil dan
menengah), lebih berhasil dan berkembang
secara baik pada tingkat individu
dibandingkan dengan kelompok; (3).
Faktor sosial budaya masyarakat memiliki
dua dimensi baik negatif, maupun positif
terhadap pembentukan perilaku kewirausahaan, sementara faktor sumber daya alam
sangat mendukung pembentukan kewirausahaan; dan (4). Peran/role pemerintah
sangat kuat berpengaruh /mendukung pengembangan kewirausahaan.
(Arius Kambu,
Ekonomi Uncen)
No comments:
Post a Comment