Monday, November 26, 2018

JANGAN UKUR JUMLAHNYA

KETUK MAKA PINTU AKAN DIBUKA. Sepotong kalimat ini diambil dari buku suci tempat dimana orang-orang percaya melaksanakan meditasi itu sebagai sebuah renungan hidup. Tete Manis Kase Air bersih seperti cermin muka dan kase juga hutan yang hijau sementara warga pribumsi miskin itu yang jadi soal.

Luas wilayah Papua sudah secara langsung menjelaskan ketimpangan sosial ekonomi seperti simbol padi dan kapas dalam lembaran konstitusi diambil mewakili berjuta alasan yang direkomendasikan para analis tentang bagaimana menyelesaikan ketimpangan sosial ekonomi atau dalam bahasa ilmu pemerintahan dibilang rentang kendali atau analisis tra laku bilang pemerintah belum hadir di wilayah Tanah Papua. 

Sementara itu, bila dilihat kembali pada persoalan ketimpangan ekonomi yang disebabkan tingkat kemajuan (pendidikan) serta persoalan HAM dan Kemiskinan juga merupakan alasan utama yang direkomendasikan para analis kepada Jakarta untuk dibentuk sekat-sekat baru yang diberinama politik kekhususan itu.

Dalam catatan ekonomi itu ada yang dikenal dengan sebutan P3 (Profit, People, Planet) Tiga elemen atau komponen kunci tersebut sudah selalau dan selalu harus diperhatikan Perusahaan sebab selain mencari keuntungan disitu ada tanggung jawab sosial terhadap masyarakat pemilik hak ulayat serta pelestarian lingkungan sudah menjadi tanggung jawab Perusahaan sebab ada hutang Generasi yang harus dibayarkan ketika perusahaan sudah tidak lagi beroperasi.

Melihat pada ukuran P3 di atas, maka Sis dan Bro diminta untuk sisihkan waktu lima menit saja untuk menganalisis satu isu yang menarik, namun kurang mengigit kalau diukur dari aspek manfaat yang diperoleh, namun apa salahnya kalau kita juga ikut memberikan kontribusi pemikiran di era politik kekhususan ini guna melahirkan satu inovasi baru.

Sebelum melangkah jauh kedalam, maka ada baiknya kita coba melihat kembali issu yang teramat menarik untuk dianalisis yakni "Persoalan Masyarakat Adat" menyuarakan hak-hak mereka dengan mendatangi parlemen yang katanya selalu hadir mewakili suara rakyat atau mewakili perahu mereka.

Apakah pernah terlintas di pikiran kita untuk menyelesaikan soal yang masih terus bermunculan berkait dengan nilai dalam hukum adat yang tidak bisa diselesaikan dengan memakai hukum pemerintah untuk menyelesaikan persoalan masyarakat adat menyuarakan hak-hak mereka yang belum diselesaikan dilihat dari kacamata pembangunan berkelanjutan.

Mereka bersuara jangan diukur dengan besarnya rupiah yang dibayarkan, Mereka bersuara karena sudah tergusur dari tanah leluhurnya, Mereka bersuara minta pertolongan sebab Mereka adalah korban dari sebuah pembangunan dan mereka juga bersuara agar tidak disalahkan generasi penerus di masa depan nanti.

Mereka yang bersuara ini sebenarnya juga merupakan  pahlahan pembangunan yang perlu sekali mendapatkan perhatian pemerintah karena mereka sudah melepaskan tanah adatnya untuk kepentingan merawat kesatuan atau dengan kata lain menjaga keutuhan peta Indonesia ini perlu mendapatkan penghargaan yang sewajarnya dari pemerintah daerah dalam bentuk pemberian kompensasi finansial yang bersumber dari dana 1 % APBD setiap tahun karena disitu ada tanggung jawab sosial yang harus dilakukan pemerintah kepada warga pribumi pemilik hak ulayat.@arkam   

DRAMA DI HUTAN ADAT DOMBERAI ?

Bicara kawan jangan diam membisu, dihadirkan sebagai jembatan penghubung kita untuk bersama-sama merajut kembali satu tungku dalam satu rumah adat yang akhir-akhir ini mulai sedikit retak karena ada tiupun anggin kebohongan yang sedang ditiupkan oleh kaum terdidik yang pendapatnya kurang terdidik itu.

Kawan, jangan biarkan warga probumi berteriak karena warisan leluhur mereka mau dirampok atau bahkan sudah dirampok para pemilik modal. kawan lihat-lihat kepedalaman kepala Burung Kasuari nun jauh dibelantara rimba raya Domberasi (lihat peta Papua) ada gesekan antar warga pribumi dengan warga pribumi yang berada di pusaran Birokrasi Pemerintahan.

Kawan berbaliklah walaupun warga pribumsi secara luas sudah mengetahui siapa penulis cerita drama ini, Kawan jangan biarkan mereka bertengkar sebab pertengkaran akan melahirkan atau membentuk satu titik masuk sebagai peluang bagai para pemilik modal untuk menjarah habis-habisan harta warisan leluhur.

Kawan, cobalah untuk kembali membaca sejarah perjalanan perjuangan hak-hak masyarakat di hutan adat yang sampai dengan Tahun ini juga belum ada kesepahaman dalam bentuk regulasi atau hukum yang menjelaskan hutan pemerintah dan hutan adat, sebab di tanah Kasuari ini yang ada hanya hutan Adat kawan.

Persoalan hutan adat sudah lama diperjuangkan namun sampai Tahun ini belum ada aturan yang jelas karena banyak kepentingan yang bermain disana juga kawan, namun dalam cerita ini lebih fokus pada struktur kelembagaan adat di beberapa wilayah di Papua ini tidak jelas atau tidak tergambar dengan baik seperti struktur adat masyarakat "Mamta".

Penulis sejarah pemikiran ekonomi Prof. Wim Polli mengatakan kuatnya mata rantai biasanya ditentukan matarantai yang terlemah. Merujuk pada pendapat itu, maka bisa juga dijelaskan bahwa konflik hak ulayat sebagian besar dipengaruhi struktur kelembagaan adat yang rapuh atau lemah itu dilihat kaum terdidik yang pemikirannya kurang terdidik untuk masuk dengan para pemilik modal untuk menjarah karena mata rantai terlemah dalam masyarakat adat yaitu kelembagaan adat.

Kawan berbalik sembilan puluh derajat, walaupun sudah jauh melangkah, kawan jangan jangan buatkan luka sebab luka pasti akan meninggalkan bekas luka.

Kawan, jangan biarkan warga pribumsi terus berteriak, namun bantu mereka dengan cara mendengar apa yang di suarakan, sebab Indonesia itu harus hadir di pinggiran Tanah Papua dengan membawah slogan Putih Tulang dan Mera Dara harus benar-benar menaikkan rasa keindonesiaan warga primbumi yang sudah sedikit memudar karena banyak cerita novel yang sedang ditontonkan para elit lokal saat ini.

Kawan, fakta sejarah yang ditulis berulang-ulang oleh generasi pendahulu kenapa dalam perjalanan tahun ini harus diputar balikkan karena lebih dominand Need For Power ketimbang Need fo Afiliation yang seharusnya dipelihara sebagai warisan leluhur yang terbangun puluhan tahun hanya bermodalkan saling percaya.

Kawan, bedah pendapat dan kepentingan politik itu biasa yang tidak biasa itu sejarah kepemilikan tanah adat jangan diputar balikkan karena kepentingan ekonomi. kawan bicara yang jujur walaupun semua warga pemilik hak ulayat tahu bahwa yang bermain drama itu Kawan. @arkam

Sunday, November 25, 2018

APA BENAR ISSU OTSUS MASIH MENJADI JEMBATAN KESUKSESAN DI POLITIK 2019


Gambar mungkin berisi: teks yang menyatakan 'otonomi khhusus PAPUA PAPUA BARAT'

Sis and Bro kam semua yang lagi menulis hari esok dengan tinta penanya sendiri-sendiri, namun ada baiknya kam sediakan waktu lima sampai sepuluh menit untuk membuat ramalan sisah tujuh tahun lagi politik kekhususan yang diberikan Jakarta berakhir, maka berakhir juga kontrak politik tanah ini dengan Jakarta atau ada modal politik kekhususan lain yang diberikan.

Kawan semua diskusi semakin menarik dikalau teman diskusi alias pisgor (pisang goreng) di hadirkan sebagai penambah semangat karena gurihnya pisang menambah cair suasana diskusi.

Politik kekhususan di masa tahun politik ini, apakah masih menjadi issu central para kontestan politik untuk menangkap simpatisan untuk memberikan suara pada saat pemilihan anggota parlemen nanti, atau issu politik kekhususan ini sudah tidak menjadi trending topik dalam hati warga lokal. 

Sis dan Bro, ada pertanyaan yang sebenarnya menarik namun kurang memgigit para politisi di 2019 yaitu "sisah 7 (tujuh) tahun lagi politik kekhususan yang diberikan Jakarta berakhir, maka berakhir juga kontrak politik Papua dengan Jakarta ini masih menjadi sebuah produk yang kalau digoreng akan semakin gurih dan cepat laris manis di pasar.

Pasar akan merespon dengan cepat karena tingkat kemajuan (pendidikan) serba paspasan membuat tingkat kemampuan menganalisis issu itu benar atau tidak masih sangat terbatas yang menyebabkan terbentuknya ruang kosong yang dimanfaatkan para politisi untuk mendulang suara sebanyak mungkin.

Saturday, November 24, 2018

SAGU SETENGAH HIDUP DI PAPUA?

21 November 2018, kita baru saja merayakan otonomi khusus yang bila dilihat kembali berjalanan sejarahnya teramat sanggat melelahkan untuk di dalami dan di dalmi lebih dalam lagi sebab kita semua masih membaca makna politik khusus itu dengan saling menuduh satu sama lain.
Persoalan beda pendapat itu sebenarnya baik adanya, sebab tidak ada yang sempurna dan manusia itu harus saling menggisi karena perjalanannya zaman itu selalu membutuhkan satu alat yang namanya kompetensi karena ada istilah-istilah baru yang tidak dipahami oleh inkamben (orang) tua yang selalu mengambil keputusan berdasarkan pengalaman.
Fenomena Papua, hari ini mulai tren dengan ekonomi hijau atau pembangunan berkelanjutan yang disarankan kawan-kawan dari planet yang sudah tidak ada perbedaan bilan dilihat dari tingkat kemajuan dan Index Kebahagiaan yang sudah di atas rata-rata mau dipaksakan untuk dilaksanakan seperti kita memaksakan diri secara sepihak untuk membangun rumah diatas Pasir Pantia yang akan kena hantaman obat ketika air pasang.
Pertumbuhan kota dan ledakan jumlah penduduk yang semakin hari meningkat tidak didukung oleh ketersediaan pangan dalam hal ini beras, karena lahan-lahan pertanian semakin sempit atau sudah beralih fungsi menjadi hunian yang membuat pemerintah mulai berfikir keras untuk mengembangkan pangan lokal sebagai titik masuk utama dalam mengantisipasi ledakan penduduk di masa depan.
Sagu merupakan salah satu komoditas lokal papua yang menjadi unggulan daerah yang bila dikembangkan dengan baik akan menghasilkan nilai tambah yang luar biasa, itu bisa dilihat nilai manfaat pohon sagu dari pucul sampai di ikar pohon sagu memiliki nilai ekonomi tinggi yang pada tahun 2018 ini mulai menjadi trending topik bertepatan dengan pemerintah daerah mulai mengangkat issu ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan di Papua.
Berbicara sagu semakin menarik untuk di dalami, karena produksi tidak ada masalah yang menjadi soal adalah Sagu hanya di konsumsi tiga generasi Inkamben (tua) sementara generasi Milenial rata sudah hampir separuh anak-anak asli Papua sudah dimanjakan dengan Nasi karena Beras sudah mengalir sampai di Kampung-Kampung dan Dusun.
Untuk mengembalikan budaya makan sagu kepada generasi muda Papua untuk mengkonsumsi Beras Analog yang berbahan dasar sagu itu, sanggat membutuhkan keterlibatan semua pihak untuk memberikan edukasi secara terus menerus untuk wajib mengkonsumsi Sagu atau produk sejenis berbahan dasar sagu pada waktu-waktu tertentu.

Tuesday, November 20, 2018

TANAH MILIK MARGA DAN TUHAN

Tidak ada teks alternatif otomatis yang tersedia.
17 Tahun kewenangan sudah diberikan, namun mereka masih saling tidak percaya dan selalu cepat menyimpulkan bahwa pemerintah Itu GAGAL atau mereka tidak siap mengelola keuangan otonomi khusus, itu bisa di ukur dari RPJMD yang disusun masih seperti kita membaca NOVEL, sebab yang ditulis itu hanya sebuah cerita perjalanan teori perencanaan pembangunan yang hanya sebatas rencana diatas rencana karena (peta jalan kesehatan, peta jalan pendidikan, peta jalan ekonomi, peta jalan masyarakat adat) tidak pernah ditemukan, itu ibarat seperti berlayar hanya berharap ada anggin tiup. 

Persoalan menarik untuk diambil sebagai bahan renungan yang bertepatan dengan 17 tahun kebebasan yang diberikan yaitu : Konflik Masyarakat Adat dengan pemilik modal di pedalaman kepala burung Kasuari yang bisa juga berbentuk kepala Tiranosaurus itu, mungkin akar masalahnya ada pada mata rantai KELEMBAGAAN ADAT YANG LEMAH, membuat para pemodal besar dengan mudahnya masuk sebab kita SENDIRI tidak pernah mengerti bahwa TANAH SERTA ISI PERUT BUMI DOMBERAI ITU MILIK MARGA DAN TUHAN bukan kawasan hutan negara yang mengakibatkan izin-izin usaha besar tetap dijalankan di dalam hutan ADAT.

Lebih lanjut cerita di atas, bila dikaitkan dengan Reformasi Agraris dan Perhutanan Sosial (RAPS) dan pengakuan masyarakat adat disepakti 5 (lima) sistem pengelolaan yaitu : 1). Hutan Adat; 2). Hutan Kemasyarakatan; 3). Hutan Kampung; 4). Kemitraan Kehutanan; 5). Hutan Tanaman Rakyat. 

Lima RAPS dalam perjalanan sampai 2018 belum bisa diimplementasikan di Seluruh Tanah Papua karena belum jelas hutan negara dan hutan adat serta rendahnya pelayanan hak legal untuk masyarakat adat dan swasta.

Coretan kecil ini, sedikit memberikan sinyal kepada warga masyarakat yang sudah terdidik namun berpikir kurang terdidik karena selalu memakai model-model pembangunan dari wilayah lain untuk dijadikan senjata utama untuk menembak pasar gagasan dengan memberikan stempel pemerinah gagal sementara kita sendiri tidak mengerti akar masalah yang sebenarnya. 

Kita mendesain rencana serta membangun isu sebagai senjata utama dalam menembak satu titik jalan masuk mendapatkan dukungan warga masyarakat yang masih lemah tingkat kemajuan untuk berontak bersama-sama menyuarajan keadilan karena 17 tahun pemerintah belum adil mengelola keuangan otonomi khusus. 

Sedangkan bila dilihat lebih jauh lagi, dengan pemberian kewenangan mengelola keuangan otonomi khusus sepenuhnya belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan para pencipta yaitu ada persentuhan budaya karena tidak seluruh kebiasaan baik itu berjalan dengan lancar, perselisihan dalam masyarakat sendiri yang berkait dengan konflik tata nlai maupun perbedaan pilihan tindakan atas dasar pertimbangan financial. (@arkam)


MENCARI MAYBRAT

TERSENYUM

Tahun ini awan terlihat gelap dipandang memakai kacamata jiwa, tahun penuh kecemasan, keraguan, kembimbangan, kepedihan yang datang dan per...