Kajian
yang dilakukan Pattiselanno (2006) menunjukkan bahwa kearifan tradisional yang
dimiliki masyarakat lokal di Papua merupakan aturan setempat yang dapat
digunakan sebagai pengontrol pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali
termasuk perburuan satwa. Karena itu menggali nilai kearifan tradisional dalam
perburuan satwa bermanfaat untuk mengisi keterbatasan informasi praktek
kearifan tradisional dari Papua. Selama ini hasil dari berbagai studi di
beberapa negara menunjukkan bahwa praktek kearifan tradisional masih berlaku
dalam kehidupan masyarakat lokal.
Hal
ini cukup beralasan, karena dalam era otonomi khusus, Majelis Rakyat Papua
(MRP) mendukung kebijakan pemberdayaan di bidang sosial budaya melalui upaya
menumbuh kembangkan nilai-nilai kearifan lokal (MRP, 2009).
Penelitian
ini dilakukan melalui pendekatan multidisiplin (ekologi dan antropologi)
dilakukan dalam penelitian ini dengan tujuan mengungkap kearifan tradisional
yang dianut Suku Maybrat dalam aktivitas perburuan satwa yang dapat
dimanfaatkan sebagai suatu produk aturan lokal yang mampu mendukung peraturan
yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam menunjang program konservasi satwa liar.
Kearifan
tradisional/lokal (traditional
wisdom) adalah sistem sosial, politik, budaya, ekonomi dan
lingkungan dalam lingkup komunitas lokal. Sifatnya dinamis, berkelanjutan
dan dapat diterima. Pattinama (2009) menjelaskan bahwa kearifan lokal
mengandung norma dan nilai-nilai sosial yang mengatur bagaimana seharusnya
membangun keseimbangan antara daya dukung lingkungan alam dengan gaya hidup dan
kebutuhan manusia.Lebih lanjut dijelaskan
bahwa kearifan lokal lahir dari learning
by experience yang tetap dipertahankan dan diturunkan dari generasi
ke generasi.
Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa kegunaan utama kearifan lokal adalah untuk
menciptakan keteraturan dan keseimbangan antara kehidupan sosial, budaya dan
kelestarian sumberdaya alam. Dalam penerapannya, kearifan tradisional/lokal
bisa dalam bentuk hukum, pengetahuan, keahlian, nilai dan sistem sosial
dan etika yang hidup dan berkembang dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam
interaksi antara manusia dan satwa liar, pemanfaatan satwa oleh manusia
merupakan bagian dari siklus alami yang ikut mengatur kondisi populasi satwa di
alam. Dalam konteks aktivtas perburuan hubungan ini juga menggambarkan
parktek etika konservasi yang dianut masyarakat setempat sebagai bagian dari
pemanfaatan sumberdaya alam yang ada (Pattiselanno, 2008).
BERBURU DAN
MASYARAKAT MAYBRAT
Kegiatan berburu merupakan kegiatan sampingan yang
dilakukan oleh suku Maybrat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan
protein dan daging dalam keluarga. Mata pencarian hidup yang utama dari
orang Maybrat adalah bercocok tanam secara berpindah-pindah.
Sistem
ladang berpindah adalah sistem yang berlaku secara umum di tanah Papua bagi
masyarakat yang berada pada daerah pedalaman dan pegunungan tinggi seperti,
orang Arfak, Paniai, Maybrat, Asmat dan Muyu (Mentansan, 2008). Di Amerika
Latin, perburuan subsistens biasanya dilakukan oleh petani skala kecil,
masyarakat sekitar hutan, nelayan dan lain-lain, semuanya berdasarkan fakta
bahwa mereka tergolong dalam dalam kelompok ekonomi lemah di wilayah pedesaan
(Backer, 1981 dalam Ojasti, 1996). Menurut Ntiamoa-Baidu (1997), di
Afrika saat ini hanya sedikit orang yang pendapatan utamanya dari perburuan;
umumnya pertanian merupakan pendapatan utama masyarakat dan aktivitas berburu
dilakukan hanya sebagai kegiatan sampingan.
Berdasarkan
hasil wawancara, orang Maybrat mengenal 5 (lima) cara berburu, yaitu berburu mata, anjing berburu, ilmu
berburu , meniru suara binatang dan jerat. Pattiselanno (2006)
menjelaskan bahwa secara umum, perburuan satwa oleh masyarakat asli di Papua
menggunakan peralatan buru tradisional. Penggunaan alat buru busur dan
panah, tombak, dan berburu dengan menggunakan anjing pemburu merupakan teknik
perburuan yang dilakukan, bervariasi tergantung pada jenis satwa yang diburu
dan tingkat kesulitan untuk berburu satwa dimaksud. Di tiap daerah juga berbeda
menurut kebiasaan dan praktek yang biasa dilakukan masyarakat setempat.
Pewarisan
ilmu berburu kurang banyak peminatnya karena selain membutuhkan waktu yang
relatif lama, adanya pergeseran penggunaan alat buru modern juga merupakan
salah satu faktor penyebabnya. Karena itu menurut Uniyal et al, (2003) perubahan
gaya hidup dan kondisi sosial ekonomi keluarga ikut mempengaruhi
praktek-praktek tradisional yang biasanya dianut oleh masyarakat setempat. Stearman
(2002) menjelaskan bahwa semakin menurunnya praktek perburuan tradisional dan
diganti dengan perburuan modern mengakibatkan kepunahan atau kehilangan lokal
jenis satwa tertentu.
Oleh
karena itu penggunaan alat buru tradisional merupakan salah satu praktek
kearifan tradisional yang dapat diaplikasikan guna menunjang kelestarian
satwa. Tetapi pendapat ini merupakan hal yang selama ini diperdebatkan,
karena studi di berbagai tempat membuktikan bahwa perburuan subsistesnce ikut
memberikan kontribusi terhadap penurunan populasi jenis satwa tertentu yang
menjadi sasaran perburuan sehingga perburuan tidak lagi ”sustainable”. Kondisi
ini lebih dikenal dengan fenomena ”empty
forest” (Redford, 1992).
LOKASI
PERBURUAN
Tempat berburu atau lokasi berburu suku Maybrat masih
terbatas pada tiap wilayah klen atau berdasarkan hak ulayat yang jelas. Batas –
batas tersebut secara tegas dan sadar dipahami oleh masyarakat anggota klen
tersebut sehingga dalam melakukan kegiatan berburu mereka tidak boleh melintas
atau melewati batas-batas hak ulayat mereka.
Di
lapangan, batas wilayah ditemukan dalam bentuk sungai, lembah, kawasan hutan
tertentu ataupun wilayah yang disepakati secara bersama-sama. Perburuan satwa
biasa dilakukan terbatas pada wilayah klen mereka sendiri. Lokasi perburuan
biasanya mempunyai kaitan yang erat dengan jenis satwa yang diburu.
Karena itu pemahaman tentang lokasi berburu akan semakin baik seiring dengan
intensitas berburu seseorang. Semakin sering berburu akan semakin
meningkatkan pengenalan lokasi berburu yang semakin baik. Karena setiap
klen/marga telah secara tegas menyadari dan mengetahui batas tersebut sehingga
dalam proses perburuan mereka tidak melanggar batas-batas tersebut.
Apabila seseorang melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh kuyanes/raemanas dari
masing-masing suku, maka klen atau marga yang hak ulayatnya dilanggar akan
melakukan tindakan denda dengan kain-kain yang disebut ” kain timur”.
TEMPAT
KERAMAT
Suku Maybrat memiliki tempat-tempat keramat yang
dipercaya mengatur, melindungi dan bisa mencelakai mereka jika merusak atau
melakukan tindakan yang bertentangan dengan adat-istiadat setempat.
Tempat keramat mempunyai nilai histori bahkan asal-usul suku tertentu berasal
dari tempat keramat tersebut. Tempat keramat juga berfungsi sebagai tempat
penyembahan, syukuran bahkan tempat penyelesaian sengketa yang terjadi dalam
hubungan sosial kemasyarakatan. Tempat keramat biasanya adalah lokasi atau
wilayah tertentu yang secara turun temurun dipercayai sebagai tempat yang harus
dijaga dan dilindungi oleh seluruh lapisan masyarakat.
Terkadang
pemburu pemula yang baru memulai aktivitas perburuan memerlukan ijin atau restu
dari kuyanes/raemanas dalam
bahasa Maybrat yang berarti orang besar/yang dituakan dalam
marga/klen. Karena kuyanes/raemanas
inilah yang akan memberitahukan tempat-tempat yang boleh dilakukan
perburuan maupun tidak boleh dimana dalam batas wilayah klen/marga terdapat
tempat- tempat keramat dan tidak boleh diganggu karena disitu bersemayam nenek
moyang mereka.
Namun
demikian, sejalan dengan perkembangan pembangunan di wilayah Kepala Burung
Papua melalui pengembangan sejumlah jaringan jalan yang menghubungkan Manokwari
dan Sorong, dikuatirkan sejumlah wilayah yang tadinya terisolasi akan terbuka
dan semakin mudah diakses. Konsekuensinya, wilayah yang menjadi ulayat
kelompok etnik tertentu tidak lagi eksklusif untuk mereka, tetapi dapat diakses
oleh setiap orang yang melintasi wilayah tersebut.
HEWAN
BURUAN
Jenis hewan buruan suku Maybrat adalah babi hutan (Suidae), kuskus (Phalangeridae), tikus
tanah, soa-soa (Varanidae),
rusa (Cervidae),
maleo (Megepodiidae),
kasuari (Casuaridae) dan mambruk (Columbidae).
Pada kelompok etnik Maybrat, tingkat pemanfaatan yang tinggi
umumnya ditemukan pada jenis satwa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.
Dengan kata lain jenis satwa yang umumnya diburu umumnya utuk tujuan dikonsumsi
seperti jenis mamalia dan burung.
PERDAGANGAN
HASIL BURUAN
Pada suku Maybrat khususnya kelompok masyarakat Ayfat
melalui proses perdagangan terjadi proses tukar menukar barang berharga lainnya
seperti gelang-gelang dari kulit siput, gigi taring buaya dan babi (yang tumbuh
melengkung), bahan-bahan, kalung kalung dan ikat pinggang yang dihiasi dengan
manik-manik dari jenis yang istimewa, khususnya pisau yang berhias dan burung
cenderawasih. Taring babi dan buaya yang diperoleh dari hasil berburu biasanya
di jemur diatas perapian di dapur atau dijemur dipanas sampai kering dan
dipasang pada tali sebagai kalung untuk digunakan oleh kaum laki-laki remaja
dan dewasa. Sangat jarang menemukan kegiatan perdagangan melalui transaksi
khusus di pasar-pasar tradisional.
Kegiatan
perdagangan melalui proses barter ini juga banyak terjadi untuk keperluan
sosial budaya diantara sesama kelompok etnik. Hal ini cukup beralasan,
karena penggunaan bagian tubuh satwa sebagai asesories pakian adat sangat
umum. Bulu burung kasuari (Casuaridae),
mambruk (Columbidae)
dan maleo (Megapodiidae)
biasanya buat sebagai hiasan kepala yang akan digunakan pada upacara adat
seperti kelahiran, kematian atau upacara permohonan untuk diberikan
keberhasilan dalam berburu. Dalam penyelenggaraan upacara adat yang melibatkan
banyak orang, penggunaan asesories dari bagian tubuh hewan seperti bulu burung,
kuskus ataupun taring babi dari hasil buruan memberikan warna dan penampilan
tersendiri pada pakaian adat yang digunakan.
[Freddy Pattiselanno
& George Mentansan]
Sumber : https://fpattiselanno.wordpress.com/2012/05/07/kearifan-tradisional-suku-maybrat-sepotong-catatan-dari-sorong-selatan/