PENGANTAR
Sejarah eksistensi, perkembangan dan relasi sosial antara etnis Muyu dan Wambon memiliki banyak versi.
Pada tulisan ini penulis hanya mencoba mendeskripsikan secara singkat
sejarah itu. Eksistensi, perkembangan dan relasi etnis Muyu dan Wambon dapat diamati
dalam sebuah cerita mitologis yang diakui bersama dalam budaya mereka, yang secara garis besar dikisahkan sebagai berikut:
“Ada sekelompok orang
(tidak disebutkan nama suku/etnis) diundang untuk menghadiri pesta babi. Dalam pesta itu para tamu undangan
diberi makan saja, tidak disiapkan
air untuk diminum setelah
selesai makan. Semua orang yang hadir dalam pesta babi itu megalami kehausan namun tak satu pun dari mereka yang tahu dimana sumber air. Ada seekor anjing yang tahu sumber air. Anjing itu sering kali pergi dan minum air di “tempat itu.” Tindakan anjing itu mendapat
perhatian dari orang-orang yang hadir pada pesta babi. Suatu ketika anjing
itu pergi lagi untuk minum air di tempat
rahasia itu. Anjing itu dibuntuti sejumlah orang yang telah mengamatinya. Didapati ternyata anjing itu pergi ke tempat air yang masih rahasia
itu, maka ketahuanlah oleh orang-orang itu. Karena
tempatnya kecil dan jumlah orangnya
banyak, maka sumber air tersebut diperbesar. Dari dalam sumber air itu muncullah
ikan-ikan, ada pula seekor ikan yang besar. Kemudian ikan itu dipanah
(ditembak mengunakan anak panah), dan seketika
itu ikannya hilang. Tidak lama kemudian
terdengarlah suara gemuruh dari dalam air itu.
Ikan itu muncul kembali ke
permukaan air disertai
dengan arus air yang begitu deras, ibarat tanggul yang jebol, maka terjadilah banjir bandang. Dikisahkan bahwa mereka yang terbawah arus itu kemudian menjadi orang berambut panjang dan berkulit putih, sedangkan mereka
yang sempat selamat dari amukan banjir bandang itu dan berada di sebelah barat aliran arus air itu kemudian disebut etnis Wambon, dan yang berada di sebelah timur adalah etnis Muyu.”
Berdasarkan kisah mitologis di atas harus dikatakan bahwa
untuk memahami
relasi etnis Muyu dan Wambon harus dilakukan
dua pendekatan, yaitu, pertama:
pendekatan budaya (cultural-approach), dan kedua: pendekatan geografis. Kedua pendekatan tersebut mempunyai hubungan sebab akibat. Pertama, pendekatan budaya menjelaskan tentang
cerita mitologi yang menggambarkan awal mulanya terjadi
sungai Kouh (kowo),
yang kemudian memisahkan etnis Wambon di sebelah
barat sungai Kouh dan etnis Muyu di sebelah timur. Dalam cerita tersebut digambarkan bahwa sebelum
terjadi sungai Kouh kedua etnis mendiami sebuah wilayah yang sama. Kisah mitologos itu memiliki makna simbolik yang menceritakan asal-usul terjadinya sungai Kouh. Cerita itu tidak menjelaskan secara spesifik apa nama kedua etnis ini sebelum terjadi
pemisahan oleh sungai Kouh, tetapi mereka sadar bahwa dulunya mereka merupakan
satu bagian dalam kelompok pesta babi.
Kedua, pendekatan geografis. Berangkat dari penjelasan pada pendekatan pertama
bahwa setelah terjadinya sungai Kouh maka ada pemisahan
etnis, sekelompok orang yang berada di sebelah barat dan sebelah timur sungai Kouh. Sekelompok orang yangberada di sebelah
barat dinamakan etnis Wambon, dan di sebelah timur dinamakan etnis Muyu. Perbedaan letak geografis telah membentuk karakteristik, keunikan dalam
perangai, dan perasaan
sebagai satu komunitas yang terpisah
satu dari komunitas
lainnya. Ketiga, kemiripan
budaya dan kedekatan geografis memungkinkan terjadi perkawinan antaretnis Muyu dengan
Wambon.
Pada latar belakang
dari bab I tulisan ini telah dijelaskan latar belakang identitas etnis sebagai kekuatan politik
dalam perebutan kekuasaan. Disebutkan di sana bahwa kedua etnis memiliki
persamaan identitas seperti bahasa, agama, ras, asal-usul
sejarah, jalinan
emosional, batas-batas teritorial, bahkan ideologi sesuai dengan asal-muasal daerahnya. Bab II akan menjelaskan konteks historis relasi etnis Muyu dan Wambon sebelum
pemekaran daerah, di mana ada relasi etnis yang dominan sehingga menimbulkan rivalitas antara etnis Muyu dan Wambon. Distribusi kekuasaan pasca pemekaran daerah merupakan bagian dari upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat tetapi dalam implementasinya pemekaran
kabupaten Boven Digoel justru sebagai pemicu konflik etnis.
POTRET SOSIAL, BUDAYA DAN EKONOMI ETNIS MUYU DAN WAMBON DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL
Wilayah Boven Digoel pada awal mulanya merupakan hutan belantara yang didiami oleh beberapa etnis besar sebagai penduduk asli, yakni: etnis Wambon, Muyu, Awuyu, Kombay dan Koroway. Wilayah ini pertama kali ditemukan oleh Pemerintah Belanda pada awal tahun 1920-an. Selanjutnya, pada tahun 1927,
Pemerintah Belanda membangun Penjara Boven Digoel di Tanah Merah yang bertujuan untuk menampung para tahanan kasus kriminal, pemberontak
maupun politisi yang merongrong Pemerintah Belanda.
Daerah rimba raya ini mempunyai sejarah panjang
dalam konteks perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Banyak tokoh politik Indonesia yang melahirkan banyak gagasan dan ide tentang perjuangan untuk kemerdekaan
ditahan di Boven Digoel. Mengingat Boven Digoel telah lebih dulu dijadikan tempat tahanan
politik maka pemerintah Belanda tidak mengicinkan para misionaris Katolik melakukan penyebaran Misi Katolik.
Pastor Piet Van Mensvoort (27/10/2011) menjelaskan dalam emailnya:
“Daerah Mandobo memang tidak
dibuka secepat seperti daerah Muyu oleh gereja Katolik. Alasannya di Tanah Merah pemerintah Belanda menahan tahanan politik Indonesia seperti Mohamad Hatta, dkk. Agar tahanan politik itu tidak gampang
lari pemerintah Belanda melarang misi Katolik untuk
membuka sekolah di kampung-kampung Mandobo sekitar Tanah Merah. Agar masyarakat di sana tidak jadi "jïnak", dan bisa bunuh tahanan politik yang melarikan diri dari
Tanah merah.”
Sehingga perkembangan peradaban etnis Wambon juga turut mengalami keterlambatan karena akses penyebaran agama dan pendidikan dibatasi oleh pihak pemerintah Belanda.
Mengacu pada topografi Boven Digoel, pada umumnya kedua etnis Muyu dan Wambon
mendiami wilayah
antara pertemuan daerah
pantai dan pegunungan. Letak geografi tersebut turut membentuk pola kehidupan
sosial mereka. Secara geografis
etnis Wambon mendiami
di antara sungai
Digul dan sungai Kouh, bentuk kebudayaannya yaitu peralihan dari budaya-budaya kaum peramu kepada petani. Menurut unsur-unsur etnis Auwuyu, budaya etnis Wambon lebih dekat dengan kaum peramu, sementara menurut
unsur-unsur etnis Muyu budaya Wambon lebih dekat dengan kaum petani.
Artinya secara bahasa, etnis Wambon lebih dekat dengan etnis Auwuyu, sementara
secara struktur
sosial, etnis Wambon lebih dekat dengan etnis Muyu. Etnis Muyu mendiami
di sebelah timur tepian sungai
Kouh dan berbatasan dengan Papua New Gunea (PNG).
Karena hidupnya di tepian
sungai-sungai, maka mata pencarian
kedua etnis tersebut
adalah bertani dan beternak, selain sagu, umbi-umbian dan buah- buahan menjadi
makanan pokok. Secara sosial, sistem kekerabatannya menganut
garis keturunan ayah (patrilineal). Akibatnya rata-rata kepemilikan tanah dan harta cenderung diwariskan kepada seorang anak laki-laki. Anak perempuan dianggap
akan kawin dan mengikuti suaminya sehingga warisan tersebut tidak mungkin
diberikan kepada
menantu laki-laki. Justru sebaliknya menantu laki-laki itu diminta
untuk membayar harta (mahar) kepada orang tua dan kerabat perempuan. Budaya merupakan
salah satu aspek terpenting dalam
kehidupan etnis Muyu dan Wambon,
misalnya tari-tarian tradisional (ketmon, urumanop, hamegop, dll) yang sering ditampilkan pada waktu pesta adat (pesta babi).
Penyelenggaraan pesta babi mempunyai fungsi ganda dalam
kehidupan etnis Muyu dan Wambon. Tahapan dalam
penyelenggaraan pesta babi dibagi menjadi dua, yaitu sebelum
dan sesudah pelaksanaannya. Tahap awal seringkali ditandai dengan persiapan
waktu dan tempat pelaksanaan, bahan makanan.
Salah satu unsur terpenting dari tahap ini adalah inisiasi
adat (krisma adat). Dalam inisiasi tersebut disampaikan nilai-nilai baik tentang
hidup, baik yang sudah terjadi sejak nenek moyang maupun
yang akan terjadi di kemudian
hari. Dalam inisiasi adat nilai-nilai religiositas
diwariskan kepada peserta inisiasi.
Pelaksanaan pesta babi juga dimaknai
sebagai arena transaksi
ekonomi yaitu jual beli barang, misalnya hasil kebun, buruan, ternak dan kerajinan
tangan. Nilai-nilai
sosial seperti persaudaraan, kekeluargaan, solidaritas ditegaskan kembali
di antara kaum kerabat serta undangan yang berasal
dari kampung lain.
Di samping itu pesta babi diadakan untuk meningkatkan ekonomi keluarga.
Perdagangan dari kampung ke kampung untuk mendapatkan uang menjadi rutinitas
kegiatan ekonomi. Busur panah, hasil kebun, pakaian tradisional, ternak bahkan hasil buruan dipasarkan pada saat itu. Dalam konteks budaya ekonomi etnis Muyu dan Wambon
tidak mengenal pola tukar-menukar barang (barter),
melainkan mereka menggunakan
uang (ot/taget: uang tradisional yang terbuat
dari kulit kerang) sebagai alat beli dalam pasar tradisional. Uang tradisional itu telah dikenal
dan digunakan kedua etnis ini sejak dulu dan diwariskan turun temurun. Orang yang memiliki ternak babi dalam jumlah yang banyak,
kebun yang luas, uang yang banyak dan rela membantu orang lain yang sedang mengalami
kesulitan, orang tersebut dapat dikatakan
Kayapak, Tomkot atau Kopndaman.
Dari penjelasan di atas ditemukan bahwa etnis
Muyu dan Wambon memiliki banyak kesamaan dalam kehidupan sosial,
budaya maupun ekonomi. Perbedaan yang membedakan etnis Muyu dan Wambon
ialah bahasa. Bahasa Wambon memiliki kesamaan dengan etnis Auwuyu. Wilayah teritorial antar etnis Muyu dan Wambon sangat jelas, yaitu dipisahkan oleh sungai Kouh, yang mana etnis Muyu mendiami
sebelah timur sungai Kouh, sementara etnis Wambon mendiami
sebelah barat
sungai Kouh. Suatu pola relasi yang terbentuk
merupakan perwujudan dari hubungan antar etnis-etnis tersebut, yang selanjutnya menciptakan dan memantapkan batas-batas sosial di antara
mereka. Batasan- batasan
lain yang terlihat
dalam karakter dasar yang dimiliki
oleh etnis Muyu
dan Wambon adalah untuk mengidentifikasikan etnis menurut
lingkungan hidup masing-masing; dan atribut-atribut budaya tertentu
untuk menunjukkan identitas mereka yang berbeda satu dengan
yang lainnya.
Letak geografis daerah Muyu dan Wambon yang berada pada peralihan daerah
tanah datar di pantai dan daerah pegunungan tengah telah membentuk watak dan karakter dari masing-masing etnis tersebut. Pada umumnya
kedua etnis tersebut mempunyai karakter
budaya yang hampir
sama. Kesamaan itu dapat dilacak dari pola hidup sebagai
kaum petani dan
pola kepemimpinan politik tradisional. Di sana kekuasaan
diperoleh melalui
upaya-upaya pencapaian (echievment). Misalnya seseorang dikatakan Kayapak maupun Kopndaman
karena ia mempunyai modal berupa uang, ternak dan kebun yang banyak. Dengan modal tersebut
Kayapak maupun Kopndaman dapat membantu menyelesaikan masalah- masalah
yang dihadapi oleh masyarakat. Tetapi sebagai etnis yang berbeda dengan letak geografis
dan teritorial yang berbeda pula telah membentuk karakter- karakter
dasar dari etnis Muyu maupun Wambon.
Kecilnya luas wilayah daerah Muyu dan keterbatasan sumber daya alam telah
turut membentuk karakter etnis Muyu sebagai etnis yang agresif, kreatif, adaptatif dan petarung,
dan cenderung
bersifat individualis.
Kemampuan-kemampuan pribadiyang sering ditampilkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh
karena itu
kualitas
individual menjadi penting dalam diri etnis Muyu. Etnis Muyu cenderung
tidak mengakui kemampuan etnis-etnis lain, terutama etnis yang dianggap masih terbelakang. Kolektivitas dalam etnis Muyu ditunjukkan hanya dala momen-momen tertentu. Sumber-sumber kehidupan
(kebun, uang, ternak dll) tidak banyak ditampilkan di depan orang karena akan menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Sumber-sumber
tersebut akan dipergunakan pada momen-momen tertentu, misalnya dalam membayar
harta (mahar), ada keluarga yang meninggal
dunia atau membantu
orang yang sama sekali membutuhkan pertolongan.
Sementara ketersediaan sumber daya alam di daerah Wambon yang lebih banyak telah turut membentuk karakter etnis Wambon
yang cenderung lamban, pendiam, dan relatif tertutup
karena ketergantungan pada sumber daya alam itu. Budaya kolektivitas dan kekerabatan etnis Wambon sangat kuat. Hal ini ditandai dengan kekayaan
yang diperoleh cenderung
dinikmati bersama-sama dengan orang lain. Sisi lain etnis Wambon ialah etnis yang suka berperang. Karakter itu terlihat
ketika perebutan tanah-tanah adat dilakukan melalui perang
suku yaitu antar etnis Wambon dengan Marind pada jaman dulu. Akibatnya wilayah adat etnis Wambon
yang diperoleh lewan perang
suku itu sangat luas,
sampai mencakup beberapa
bagian di wilayah
kabupaten Merauke.
Ketika peradaban modern masuk di daerah Muyu, lewat penyebaran agama Katolik pada tahun 1933, telah memberikan dampak perubahan yang berarti bagi kemajuan etnis Muyu. Selain evanggelisasi (penyebaran Injil), sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi diberi perhatian dan dikembangkan. Kesadaran
akan pentingnya pengetahuan tentang
dunia luar dan didukung oleh karakter dasar
etnis Muyu yang agresif membuat
mereka mampu berkembang. Saat itu Mindiptana sebagai pusat pendidikan dan dari sanalah muncul banyak intelektual Muyu, baik sebagai tenaga guru dan
medis. Kemudian tenaga guru dan tenaga medis dari etnis Muyu tersebut
dipekerjakan oleh pemerintah dan para misionaris Belanda ke beberapa
daerah di selatan
Papua, termasuk di daerah Wambon sendiri.
Etnis Muyu dianggap sebagai pionir
atau tokoh perubahan
di beberapa
daerah karena mereka dianggap lebih dahulu
mengenal peradaban dan pendidikan. Dengan demikian
bila dibandingkan tingkat
modernitas antara etnis Muyu
maupun Wambon, etnis Muyu dipandang lebih dahulu mengenal
peradaban modern.
Dalam berinteraksi etnis Muyu dan Wambon juga membangun
relasi dengan etnis-etnis lain di sekitarnya. Karena mendiami wilayah perbatasan, etnis Muyu juga melakukan
interaksi dengan etnis-etnis yang berada di wilayah
PNG, seperti
etnis Awin. Sementara etnis
Wambon, karena mendiami di pinggiran
sungai antara Digoel dan Kouh maka mereka selalu melakukan interaksi dengan etnis Auwuyu, Wanggon dan Koroway.
Secara spesifik, etnis Wambon memiliki kesamaan
bahasa dengan etnis
Auwuyu seperti yang dijelakan
di atas. Penyebaran etnis Muyu dan Wambon di kabupaten
Boven Digoel berpusat di wilayah
distrik (kecamatan). Berikut ini adalah
tabel (tabel 1) nama etnis dan penyebarannya dari beberapa distrik yang ada di kabupaten Boven Digoel.
Tabel 1. Sebaran Suku Berdasarkan Wilayah Administratif Distrik di Kabupaten Boven Digoel
Etnis
|
Distrik
|
Muyu
|
Mindiptana, Kombut, Sesnuk, Ninati, Waropko
|
Wambon
|
Subur, Iniyandit , Mandobo, Arimop, Ambatkwi
|
Auwuyu
|
Jair, Kia, Fofi, Bomakia
|
Wanggom
|
Kouh, Firiwage, Kawagit, Kombay
|
Koroway
|
Manggelum dan Yaniruma.
|
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa kabupaten Boven Digoel merupakan
daerah yang heterogenitas penduduknya tinggi. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa etnis yang mendiami
wilayah ini. Kemajemukan budaya yang ada di kabupaten Boven Digoel telah melahirkan persaingan antar etnis, walaupun sekarang
yang terlihat hanya antara etnis Muyu dan Wambon.
Tetapi tidak menutup kemungkinan ke depan persaingan-persaingan antar etnis-etnis yang ada di kabupaten
Boven Digoel. Karena
etnis-etnis yang merasa ditindas atau dipinggirkan akan selalu bangkit
untuk melawan.
Dilihat dari letak geografis, wilayah Wambon lebih dekat dengan Wilayah Marind tetapi kehadiran
etnis Muyu di kabupaten
Merauke lebih dulu dibandingkan etnis Wambon.
Etnis Wambon banyak yang termotivasi oleh etnis Muyu, misalnya
ketika banyak etnis Muyu yang berimigrasi ke Merauke,
ada juga etnis Wambon yang ikut bersama
mereka. Oleh karena itu terlihat
dengan jelasbahwa di mana etnis Muyu berdomisili di situ pula etnis Wambon berada. Walaupun
ada perbedaan asal dab bahasa tetapi hal itu tidak menjadi
sekat-sekat pemisah
dalam relasi kedua etnis. (Damianus Katayu : DOSEN STISIPOL YALEKA MARO
MERAUKE)