YAHUKIMO DALAM PENDEKATAN ETNOGRAFI
(penelitian
mandiri LPPM Uncen, 2007)
Otonomi
merupakan komitmen pemerintah terhadap pembangunan di Papua yang berpusat pada
empat agenda utama yakni : Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur serta ekonomi
kerakyatan dalam percepatan pembangunan daerah Papua kearah masa depan yang
lebih baik.
Tema
ini dipilih berdasarkan ketertarikan penulis untuk menerapkan pendekatan
etnografi dalam rencana penelitian terhadap “pemberdayaan ekonomi lokal” yang
selama ini masih belum jelas arahnya. Disamping itu keinginan penulis untuk
menerapkan pendekatan etnografi sebagai metode penelitian ini antara lain untuk
mendeskripsikan makna-makna yang terkandung dalam realitas masyarakat Yahukimo.
Bagaimana pemberdayaan masyarakat lokal dimaknai, serta apakah nilai-nilai
budaya lokal ikut mewarnai atau mencitrakan keberadaan masyarakat lokal dalam
pasar modern yang ada di Yahukimo.
Berkait
itu, maka pada pendekatan ini umumnya peneliti mencoba memandang gejala sosial
tidak dari sudut masyarakat secara kelompok tetapi dari kaca mata individu dan
atau masyarakat yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi produktif.
Selanjutnya dalam penelitian ini juga tidak bermaksud menilai apakah pandangan
mereka salah atau benar, baik atau buruk tetapi peneliti mencoba memahami dan
menjelaskan pandangan-penadangan mereka yang menjadi subjek penelitian.
Merujuk
pada deskripsi yang melatari studi
etnografi dalam pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai model pembentukan
kemandirian masyarakat yang disandingkan dengan kearifan lokal masyarakat yang
telah terbentuk dan atau terbangun secara tradisional dalam penguatan potensi
kemandirian masyarakat terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi keluarga ini
secara subtansial di forfulasikan dalam pertanyaan pokok : Seberapa besar peran
budaya lokal dalam pengembangan ekonomi berbasis kerakyatan di Yahukimo.
Menurut Penelitian Kambu Arius, Dosen FE-UNCEN memberikan infomasi melalui analisis
dan pembahsan dalam memahami pengetahuan bisnis orang Yahukomo dalam pendekatan
etnografi sebagai berikut : Yahukimo barasal dari nama empat suku besar
yakni 1). Suku Yali; 2). Suku Hupla; 3). Suku Kinyal
dan 4). Suku Monuna. Dari ke-empat suku inilah yang diabadikan menjadi nama
Yahukimo (Ya = Yali, Hu = Humpla, Ki = Kinyal, Mo = Momuna), yang
terletak di balik lembah baliem dan memiliki dataran rendah yang menyimpan
sejumlah potensi. Potensi sumber daya alam yang samgat melimpah menjadikanya
incaran banyak investor dari luar daerah. Hutan yang masih menyimpan sejumlah
jenis pohon, didalam kali dan sungainya terdapat berbagai jenis ikan dan udang
serta biodat lainnya, tanah yang mengandung sumber daya alam mineral yang kaya.
Berkait itu, maka kebijaksanaan pembangunan
Yahukimo yang sudah dilakasanakan dan akan dilaksanakan agar selalu
memperhatikan kearifat lokal serta tak kala pentingnya pemerintah diharuskan
untuk selalu menggunakan pendekatan yang dilaksanakan missionaris adalah
pendekatan pendidikan dan agama yang dibawah telah menjadi dasar dan pedoman
hidup bagi penduduk asli yakni : (1). Suku Yali; (2). Suku Hupla; (3). Suku
Kinyal, masih merupakan sebuah model pemberdayaan masyarakat yang sangat baik.
Selanjutnya suku asli (Momuna), sagu seakan
menjadi penyelamat yang pertama dan terutama dalam menyongsong hidup yang lebih
baik di masa depan. Hidup mereka seluruhnya terfokus kepada sumber daya alam
yang masih menyimpan sejumlah jenis binatang di dalam hutan, sejumlah jenis
katu, di kali dan sungai terdapat sejumlah jenis ikan dan udang serta biodat
lainnya. Eksploitasi hutang dalam skala yang luas atas nama pembangunan dengan
tidak memperhatikan hak-hak ulayat (tanah adat) untuk memperoleh keuntungan
sebagai satu-satunya tujuan utama dalam kehidupan modern dewasa ini secara
tidak sadar pula telah mengantar mereka memasuki suatu proses eksploitasi yang
unjung-unjungnya membuahkan kekerasan, pelecehan dan penindasan. Hal itu semua
akan terjadi di masa depan karena aparat penegak hukum dan aparat pemerintah
setempat terasa semakin jauh dari mereka. Keadilan adalah barang mahal yang
hanya dapat diperoleh mereka yang punya uang dan kuas, slogan-slogan tentang
demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) hanyalah gula-gula politik belaka.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka
penelitian di buat dengan tujuan : (1). Agar pemerintah Daerah memperoleh
gambaran yang sedikit lengkap tentang pola pemberdayaan masyarakat dengan
memperhatikan representasi ketersebaran masyarakat asli Yahukimo dalam wilayah
ke-empat suku besar yakni : (a). Suku
Yali; (b). Suku Hupla; (c). Suku Kinyal (d). Suku Momuna yang memiliki
kehidupan sosial budaya sendiri-sendiri. (2).
Agar pemberdayaan ekonomi lokal disandingkan dengan kearifan lokal
masyarakat Yahukimo, (3). Mendorong dan menumbuh kembangkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan Yahukimo di masa depan. (4). Agar keberlanjutan
dari studi ini diharapakan menambah kepustakaan dalam pembentukan kelompok-kelompok
ekonomi produktif yang bergerak dalam berbagai sektor usaha berdasarkan
representasi ketersebaran kearifan lokal berdasarkan potensi wilayah
masing-masing.
Berkaitan dengan itu, maka dalam semanggat
Otonomi, paradigma pembangunan ekonomi dibalik dengan memberikan peluang yang
lebih besar pada penduduk lokal (asli Papua) untuk dapat mengembangkan diri
sebagai pengusaha diberbagai bidang usaha. Pada realititasnya, walaupun ada
peluang yang diciptakan melalui kebijakan Otonomi tersebut, namun para
pengusaha, khususnya pengusaha ethnis Papua masih diperhadapkan pada rendahnya
kinerja usaha sebagai akibat dari perilaku kewirausahaan yang belum profesional
dan masih terikat oleh nilai-nilai budaya dan kondisi sosial serta kondisi
geografis yang tidak mendukung pengembangan
aktivitas usaha..
Yahukimo sebagai daerah yang cukup potensial
untuk pengembangan dimasa yang akan datang dengan didukung oleh potensi sumber
daya alam, tingkat aksesibilitas, serta sarana dan prasarana. Potensi tersebut
merupakan penunjang untuk menjadikan Yahukimo sebagai daerah transito di
kawasan pegunungan tengah. Dimana pola pengembangan daerah berbasis pada
pengembangan ekonomi basis dan atau pengembangan sektor unggulan berdampak
positif dengan berkembangnya berbagai sektor lainnya, seperti industri
pengolahan, perdagangan, lembaga keuangan dan lain sebagainya.
Pengembanagn daerah trasito mengacu pada prinsip otonomi
dan kemandirian melalui pengembangan interkoneksitas antara wilayah pegungungan
tengah, maupun wilayah Papua selatan.
Pembangunan Yahukimo harus dipandang dalam perspektif
masa depan, sehingga pelaksanaan pembangunan akan mengacu pada konsep
pembangunan berkelanjutan yang mengacu pada aspek kearifan lokal menjadi tujuan
utama.
Hasil pembangunan akan mengarah kepada
peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Kesejahteraan dan
kualitas hidup masyarakat dapat terwujud tidak hanya dipandang dari aspek fisik
dan materi saja, tetapi mencakup aspek spiritual keagamaan dan budaya.
Peningkatan kesejahteran dan kualitas hidup masyarakat dilakukan mulai
penguatan struktur ekonomi dan struktur wilayah, perluasan basis ekonomi lokal
melalui pengembangan wilayah, penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat melalui
lembaga ekonomi rakyat (LER), dan memberikan perhatian yang sungguh-sungguh
terhadap pengembangan kehidupan yang damai dan sejahtera di bumi “Sumohai”.
Berdasarkan beberapa
penjelasan mengenai ciri, karakterisitik, potensi
dari keragaman sumber daya social dari keempat suku besat tersebut yang
terdistribusi pada 51 distrik dan 399 kampung dengan tipologi wilyah dan
heterogenitas adat istiadat dan social ekonomi masyarakat relatif berbeda dari
masing-masing suku tersebut.
Untuk
melaksanakan analisis pengembangan model ekonomi kerakyatan, maka masyarakat
dikelompokkan berdasarkan penyebaran penduduk menurut struktur mata
pencaharian, kepemilikan asset lahan pertanian, sumber daya manusia, sarana dan
prasarana serta daya dukung faktor sosial ekonomi.
Salah satu faktor yang turut membentuk perilaku
masyarakat dalam pengembangan bisnis adalah faktor sosial budaya yang berkaitan
dengan pesta-pesta adat, pembayaran denda dan maskawin, serta tanggung jawab
sosial.
Setelah dilakukan telahan terhadap jawab responden,
dengan mengelompokan dan mengklasifikasikan kedalam kelompok yang sanggat
mendukung sekali, sanggat mendukung, netral, kurang mendukung dan kurang
mendukung sekali terhadap pembentukkan perilaku bisnis diktehui bahwa faktor
sosial budaya kurang mendukung pembentukkan perilaku bisnis dalam pengembangan
bisnis masyarakat Yahukimo. Untuk lebih jelasnya pengelompokkan dan
pengklasifikasian tersebut dapat
dilihat pada tabel 1 berikut :
Dari
tabel 1 di atas
menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat berada pada rangking 1 (satu) atau
klasifikasi kurang mendukung. Hal ini memberi indikasi bahwa masyarakat masih
terikat pada kebiasaan, pola hidup dan tingkah laku sosial budayanya, sehingga
kurang mendukung terhadap pembentukkan perilaku usaha dalam pengembangan bisnis
masyarakat.
Tanggung
jawab sosial, menjadi faktor budaya utama yang kurang mendukung pembentukkan
perilaku kewirausahaan. Tanggung jawab sosial di sini dimaksudkan sebagai
tanggung jawab seseorang di dalam keluarga terhadap semua kegiatan-kegiatan yang
terjadi di dalam keluarga, baik yang bersifat vertikal maupun horisontal dan
juga lingkungan masyarakatnya. Kewajiban terhadap tanggung jawab sosial
tersebut menjadikan seseorang di dalam
keluarga yang memiliki pekerjaan dan pendapatan yang baik dianggap sebagai aset
keluarga.
Masyarakat
Yahukimo masih memegang teguh hubungan keluarga (kekerabatan), baik secara
vertikal maupun horisontal, baik terhadap keluarga kakek, nenek, maupun
keluarga suami atau istri. Hubungan-hubungan tersebut menyebabkan pemanfatan
dari hasil usaha dipergunakan untuk kepentingan tersebut, dan kadang-kadang
jumlah pengeluaran melampaui pendapatan yang diperoleh.
Pesta-pesta
adat yang berupa upacara pesta perkawinanan, dan juga pembukaan kebun baru,
serta penangkapan ikan. Dimana kegiatan
yang berkaitan dengan pesta-pesta adat
tersebut membawa konsekwensi pada pembiayaan yang cukup besar, dan
bervariasi sesuai dengan skala dan individu yang melaksanakan kegiatan
tersebut. Acara adat yang berkaitan dengan pembayaran denda dan maskawin
merupakan budaya yang berada pada masyarakat di Yahukimo. Pada masa lalu,
pembayaran denda dan maskawin menggunakan alat bayar berupa benda/barang
seperti Babi, pada masyarakat di daerah pegunungan, sedangkan pembayaran dengan
menggunakan alat penangkapan ikan/berburu bagi masyarakat di daerah pesisir
pantai. Pada jaman modern ini kebiasaan pembayaran denda maupun waskawin
dilakukan dengan menggunakan barang dan uang secara bersama-sama atau barang
dikonversikan kepada uang. Pembayaran denda maupun waskawin dengan menggunakan
uang bervariasi pada berbagai suku. Pembayaran dilakukan dalam bentuk uang
maupun barang, besarnya berkisar antara
Rp 50.000.000,- s/d Rp.150.000.000,-
yang disesuaikan jumlah Babi yang diberikan.
Pada
kelompok masyarakat dapat dilihat bahwa besar kecilnya pembayaran denda dan
maskawin berdasarkan kelas dari individu yang bermasalah. Pada masyarakat
kelas atas (kepala suku) jauh lebih mahal dibandingkan dengan kelas bawah.
Jenis pembayarannya juga bervariasi, misalnya menggunakan beberapa ekor babi
dalam jumlah besar jauh lebih tinggi, jika dikonversikan dengan uang berkisar
antara Rp. 15.000.000,- s/d Rp.20.000.000,-. Sedangkan pada masyarakat pesisir
kali pembayaran dilakukan dalam bentuk uang dan barang berupa alat pancing/berburu,
atau benda lainnya yang berkaitan dengan kehidupannya di wilayah kali/sungai.
Perilaku masyarakat di dalam menghadapi semua kegiatan
adat tersebut di atas, dipengaruhi oleh suatu nilai-nilai budaya dan
norma-norma sosial yang hidup dalam lingkungan masyarakatnya. Budaya rasa malu
dinilai tidak mampu, menjadi faktor pendorong yang sangat kuat di dalam
melakukan tanggung jawab adat tersebut.
Upaya menjaga harga diri dan martabat
keluarga, kelompok dari penilaian tidak mampun, mendorong setiap orang
didalam kelompok melakukan pengorbaban dalam bentuk uang maupun barang.
Misalnya pembayaran denda atau maskawin; walaupun dalam jumlah yang besar dapat
diselesaikan dalam waktu yang singkat karena dorongan menjaga harga diri dan
martabat keluarga/kelompok, atau rasa malu dinilai tidak mampu.
Dari dimensi sosial budaya, masyarakat Yahukimo, terutama
yang tinggal di daerah pesisir pantai masih mengenal dan memegang teguh sistem
kekerabatan dalam lingkungan sosialnya maupun yang berada di dataran pegunungan.
Namun
demikian, nilai-nilai budaya tersebut akan dapat bermanfaat atau bernilai
positif terhadap perilaku ekonomi masyarakat, jika dapat diarahkan untuk
kegiatan-kegiatan yang lebih produktif, terutama yang mendukung kegiatan usaha
masyarakat. Demikian pula kebersamaan di dalam menjaga harga diri dan martabat
keluarga dengan cara melakukan pengumpulan dana dalam waktu yang singkat dapat
diarahkan untuk membiayai dan menjalankan kegiatan ekonomi yang lebih
produktif.
Berkait itu maka dapat diasumsikan bahwa peranan
pemerintah Daerah masih sanggat dominan terhap dalam memberikan pendidikan
formal maupun non formal dalam membentuk perilaku kewirausahaan masyarakat asli
dari ekonomi budaya menjadi ekonomi produktif.
Perilaku ekonomi masyarakat selain dipengaruhi oleh
sosial budaya juga dibentuk oleh perilaku kelompok dalam kegiatan sosial yang
berkaitan dengan konsumsi, investasi, pendidikan, dan kesehatan serta kebutuhan
lainnya. Hasil rangking dan klasifikasi terhadap respon yang dijadikan sampel
dalam penelitian ini, memberi indikasi bahwa perilaku (konsumsi, investasi,
pendidikan, dan kesehatan serta kebutuhan lainnya) kurang mendukung
terbentuknya perilaku kewirausahaan masyarakat. Untuk jelasnya hasil rangking
dan klasifikasi tersebut dapat dikemukakan pada tabel 2. berikut :
Dari tabel 2 di atas menunjukkan perilaku kelompok dalam
kegiatan penyelesaian masalah dan kegiatan sosial cenderung kurang mendukung atau tidak produktif. Hal ini
dapat dilihat pada rangking satu atau klasifikasi kurang mendukung. Sedangkan
pemanfaatan pendapatan dalam kegiatan ekonomi dapat dikatakan lebih rendah
dibanding dengan akumulasi pemanfaatan pendapatan untuk kegiatan penyelesaian
masalah dan kegiatan sosial ekonomi, hal ini menggambarkan bahwa masyarakat
Yahukimo menggunakan kurang lebih pendapatan mereka untuk keperluan non
konsumsi.. Hal ini memberi indikasi bahwa masyarakat Yahukimo memiliki perilaku
kewirausahaan yang masih rendah.
Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa potensi sosial budaya
masyarakat sangat tergantung pada hasil pendapatan yang diperoleh dan jumlah
tanggungan keluarga. Di samping itu terdapat pula suatu kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat, dimana semakin tinggi hasil pendapatan yang diperoleh
semakin besar pengeluaran rumah tangganya, begitu pula halnya semakin banyak
jumlah tanggungan keluarga semakin besar pula pengeluaran rumah tangga,
terutama pada kebutuhan yang menjadi tanggung jawab sosial budaya (pesta-pesta
adat, pembayaran maskawin dan denda).
Kecenderungan penggunaan pendapatan pada kegiatan sosial
yang jauh lebih besar tersebut,
merupakan implikasi dari tanggung jawab sosial terhadap keluarga yang
tetap dipegang teguh oleh masyarakat. Hubungan kekerabatan, keluarga secara
vertikal dan horisontal dari kedua belah pihak suami dan isteri menyebabkan semakin luasnya tanggungan
keluarga. Dikalangan masyarakat pada setiap keluarga rata-rata berkumpul selain
keluarga inti, juga ditampung keluarga lainnya baik dari pihak suami maupun
istri, dan rata-rata mencapai 10 -12 orang.
Kemudian pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan
anak-anak dan keluarga kadang-kadang
tidak menjadi prioritas, atau tidak direncanakan dengan baik. Dimana
pengeluaran-pengeluaran untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut dilakukan secara sporadis
dan tidak terencana. Demikian juga pengeluaran lainnya yang merupakan tanggung
jawab sosial terhadap keluarga. Kondisi tersebut terjadi disebabkan karena ada perasaan dalam diri setiap individu yang
selalu merasa takut dinilai tidak bertanggung jawab, berperilaku kurang
baik, sombong, dan tidak perduli
terhadap keluarga. Dan hal seperti ini kadang-kadang menjadi dasar perbandingan
oleh anggota keluarga terhadap perilaku dan sikap dari orang tertentu yang membandingkan
dengan saudara kandungnya yang lain.
Model kegiatan yang cenderung sosial tersebut,
menyebabkan siklus usaha tidak berjalan secara kontinyu dan profesional. Sifat
sosial yang tinggi menyebakan rendahnya akumlasi modal dan tidak mampu
melakukan investasi serta pengembangan usaha lebih lanjut. Gaya atau pola
konsumsi rumahtangga masyarakat bervariasi meliputi kebutuhan untuk
bahan makanan, pakaian, pendidikan, pengobatan, dan pengeluaran lainnya,
seperti pembayaran denda atas pelanggaran norma-norma budaya yang telah menjadi
tradisi dalam kehidupan masyarakat, baik yang terjadi pada salah seorang sanak
keluarga yang merupakan tanggungannya untuk menutupi aib atau menjaga nama baik
keluarga. Nilai-nilai budaya seperti ini masih dipegang teguh oleh masyarakat,
sehingga merupakan salah satu pos pengeluaran keuangan rumahtangga yang perlu
dipenuhi.
Beban yang ditanggung oleh masyarakat, membuat mereka
terbelenggu pada gaya hidup dimana pengeluaran selalu lebih besar dari
pendapatan, sehingga mereka terlibat didalam lingkaran utang piutang diantara
sesama masyarakat itu sendiri maupun dengan pedagang dari luar papua. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa
faktor sosial tidak mendukung pembentukkan perilaku kewirausahaan
masyarakat.
Perilaku pemanfaatan pendapatan yang dipengaruhi oleh nilai
sosial budaya tersebut, perlu dikaji secara khusus dengan mengembangkan
berbagai upaya untuk dapat mengkombinasikan kedua sisi untuk tetap menjaga
nilai-nilai budaya yang berkembang dalam kelompok masyarakat, tetapi juga
pengelolaan bisinis dapat berjalan secara baik. Dengan demikian penilaian bahwa
satu sikap perilaku masyarakat, yang suka boros menggunakan pendapatan untuk
hal-hal yang tidak produktif dapat
diposisikan secara tepat dalam kaitannya dengan nilai sosial masyarakat
yang masih kuat dipengaruhi oleh budaya, dan tradisi, bentuk penggunaan
pendapatan seperti yang dijelaskan di atas merupakan kewajiban yang menjadi
tanggung jawab sosial setiap anggota kelompok. Perilaku sosial seperti ini
kurang mendukung kegiatan usaha bagi masyarakat Yahukimo, karena tidak adanya
pemupukan modal untuk pengembangan usaha.
Faktor-faktor Potensi Sumber Daya Alam merupakan salah
satu faktor yang ikut berperan terhadap pembentukan perilaku usaha masyarakat,
yang mencakup perilaku kepemilikan hak ulayat dalam kelompok/individu,
pengelolaan selama ini, pengelolaan dimasa yang akan dating dan siapa yang
mengawasi potensi Sumber Daya Alam tersebut. Hasil pengelompokkan terhadap
respon, menunjukkan bahwa faktor-faktor sumberdaya alam mendukung terbentuknya
perilaku kewirausahaan masyarakat. Untuk lebih jelasnya pemberian rangking atau
klasifiksi tersebut dapat dikemukakan
pada tabel 3 berikut :
Dari kesimpulan tabel 3 di atas
menunjukkan rangking 1 (satu) potensi
sumber daya alam (SDA) masuk pada klasifikasi sanggat mendukung bahwa keaneka
ragaman potensi alam berperan penting terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat
lokal, disusul oleh rangking 2 (dua) pengelolaan kelompok/individu masuk pada
klasifikasi mendukung. Sedangkan
pengawasan tingkat pemanfaatan sumber daya alam memiliki rangking satu
masuk pada klasifikasi kurang mendukung.
Perilaku kewirausahaan masyarakat selain dipengaruhi oleh
sosial budaya juga dibentuk oleh pendidikan dalam bentuk pembinaan dan pelatihan untuk
masyarakat perlu mempertimbangkan aspek spek sosial ekonomi rumah angga dengan
lebih memfokuskan sasaran target pelayanan pendidikan kepada mayoritas rumah
tangga yang miskin. Selanjutnya intervensi pendidikan untuk masyarakat harus
memberikan prioritas kepada anak usia 13 tahun keatas. Disamping itu dalam
pendekatan pembinaan dengan menata kembali sosial budaya masyarakat dan juga
perilaku kelompok, serta kebijakan pengendalian melalui program pemberdayaan
ekonomi melalui pembentukan lembaga ekonomi rakyat (LER).
Pendekatan pengembangan Sumber Daya Manusia masyarakat,
baik aspek pelayan pembinaan maupun aspek pengembangan kewirausahaan perlu
dilakukan secara sistematis, dan disesuaikan dengan masa-masa produksi rumah
tanga mereka. Bila proses pengembangan SDM masyarakat dapat didahulukan dalam
proses pembangunan satu Daerah, maka dengan sendirinya konsep pengembangan
kewirausahaan akan berhasil, yaitu ketika manusia yang menggantungkan hidupnya
kepada agribisnis, dan kelautan terlebih dahulu mendapatkan peningkatan
cadangan modal, yaitu Ilmu Pengetahuan (knowledge) dan kesehatan (healthty).
Selama ini ada beberapa kendala pemberdayaan masyarakat
yang dilakukan melalui program Pemerintah yaitu ; jangka waktu implementasi
sangat pendek sementara dana yang harus disalurkan relatif besar, dan pada saat
yang bersamaan tenaga lapangan sangat terbatas. Program Pemerintah selama ini
menggunakan pendekatan participatory rural appraisal yang membutuhkan tenaga fasilitator dalam
jumlah yang banyak, agar mampu menampung aspirasi masyarakat, akan tetapi
kenyataannya ketersediaan tenaga fasilitator sangat terbatas.
Disamping kedua hal diatas kendala pemberdayaan
masyarakat melalui program Pemerintah adalah proses penyaluran dana mulai dari
Pemerintah Pusat hingga penerima bantuan masih dihadapkan dengan mata rantai
yang cukup panjang, sehinga pelaksanaan kegiatan tidak sesuai dengan kondisi
penerima bantuan masyarakat.Hasil rangking dan klasifikasi terhadap responden yang
dijadikan sampel dalam penelitian ini, memberi indikasi bahwa pengembangan dan
pelatihan kewirausahaan kurang mendukung terbentuknya perilaku kewirausahaan
masyarakat. Untuk jelasnya hasil
rangking dan klasifikasi tersebut dapat dikemukakan pada tabel 4. berikut :
Kesimpulan
tabel 4 di atas
menunjukkan bahwa faktor pembinaan dan pelatihan pada masyarakat cenderung
tidak memberikan kontribusi yang berarti dalam pengembangan kewirausahaan
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari rangking yang diberikan sebesar satu
menunjukkan bahwa faktor pembinaan dan pelatihan memberikan indikasi bahwa
masyarakat Yahukimo memiliki perilaku bisnis yang masih rendah.
Pemberdayaan
masyarakat lokal selain dipengaruhi oleh sosial budaya juga dibentuk
oleh perilaku konsumsi yang berkaitan dengan investasi, pendidikan, dan
kesehatan serta kebutuhan lainnya. Hasil rangking atau klasifikasi terhadap
responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, memberi indikasi bahwa
perilaku (konsumsi, investasi, pendidikan, dan kesehatan serta kebutuhan
lainnya) kurang mendukung terbentuknya perilaku usaha masyarakat. Untuk
jelasnya hasil klasifikasi dan pengelompokkan tersebut dapat dikemukakan pada
tabel 5 berikut :
Kesimpulan
tabel 5 di atas
menunjukkan perilaku masyarakat cenderung konsumptif dan tidak produktif. Hal
ini dapat dilihat dari rangking yang diberikan sebesar satu menunjukkan bahwa
pemanfaatan pendapatan untuk investasi, kesehatan dan pendidikan dapat
dikatakan lebih rendah dibanding dengan akumulasi pemanfaatan pendapatan mereka
untuk keperluan non konsumsi. Hal tersebut diatas memberi indikasi bahwa
masyarakat Yahukimo memiliki perilaku
kewirausahaan yang masih rendah.
Selanjutnya
dapat dijelaskan bahwa pola konsumsi rumah tangga masyarakat sangat relatif
tergantung pada hasil pendapatan yang diperoleh dan jumlah tanggungan keluarga.
Disamping itu terdapat pula suatu kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat, dimana semakin tinggi hasil pendapatan yang diperoleh
semakin besar pengeluaran rumahtangganya, begitu pula halnya semakin banyak
jumlah tanggungan keluarga semakin besar pula pengeluaran rumahtangga, terutama
pada kebutuhan makanan dan pakaian serta biaya yang menjadi tanggung jawab
sosial budaya (pesta-pesta adat, pembayaran maskawin dan denda).
Kecenderungan
penggunaan pendapatan pada konsumsi yang jauh lebih besar tersebut, merupakan
implikasi dari tanggung jawab sosial terhadap keluarga yang tetap dipegang
teguh oleh masyarakat. Hubungan kekerabatan, keluarga secara vertikal dan
horisontal dari kedua belah pihak suami dan isteri menyebabkan semakin luasnya tanggungan
keluarga. Dikalangan masyarakat khususnya nelayan pada setiap keluarga
rata-rata berkumpul selain keluarga inti, juga ditampung keluarga lainnya baik
dari pihak suami maupun istri, dan rata-rata mencapai 8 -10 orang.
Kemudian
pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan anak-anak dan keluarga kadang-kadang tidak menjadi prioritas, atau
tidak direncanakan dengan baik. Dimana pengeluaran-pengeluaran untuk kebutuhan-kebutuhan
tersebut dilakukan secara sporadis dan tidak terencana. Demikian juga
pengeluaran lainnya yang merupakan tanggung jawab sosial terhadap keluarga
jauh. Kondisi tersebut terjadi disebabkan karena ada perasaan dalam diri setiap
individu yang selalu merasa takut dinilai tidak bertanggung jawab, berperilaku
kurang baik, sombong, dan tidak perduli terhadap keluarga. Dan hal seperti ini
kadang-kadang menjadi dasar perbandingan oleh anggota keluarga terhadap perilaku dan sikap dari
orang tertentu yang membandingkan dengan saudara kandungnya yang lain.
Perilaku yang cenderung konsumptif pada masyarakat
tersebut, menyebabkan siklus usaha tidak berjalan secara kontinyu dan
profesional. Sifat konsumptif yang tinggi menyebakan rendahnya akumlasi modal dan
tidak mampu melakukan investasi serta pengembangan usaha lebih lanjut.
Gaya atau pola konsumsi rumahtangga masyarakat
bervariasi meliputi kebutuhan untuk bahan makanan, pakaian, pendidikan,
pengobatan, dan pengeluaran lainnya, seperti pembayaran denda atas pelanggaran
norma-norma budaya yang telah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat, baik
yang terjadi pada salah seorang sanak keluarga yang merupakan tanggungannya
untuk menutupi aib atau menjaga nama baik keluarga. Nilai-nilai budaya seperti
ini masih dipegang teguh oleh masyarakat sehingga merupakan salah satu pos
pengeluaran keuangan rumahtangga yang perlu dipenuhi.
Beban yang ditanggung oleh para nelayan, membuat mereka
terbelenggu pada gaya hidup dimana pengeluaran selalu lebih besar dari penedapatan,
sehingga mereka terlibat didalam lingkaran utang piutang diantara nelayan itu
sendiri maupun dengan pedagang dari luar (bugis, buton, dan jawa). Dengan
demikian dapat dikemukakan bahwa faktor pola konsumsi tidak mendukung
pembentukkan perilaku kewirausahaan nelayan papua.
Dilihat dari perspektif antropologi pengeluaran yang
dilakukan untuk menolong sesama anggota kelompok terhadap anggota dianggap
sebagai investasi diantara warga dengan harapan akan dikembalikan dalam pola
yang sama diwaktu mendatang. Di kalangan masyarakat papua pandangan dan
pendapat tersebut benar-benar hidup dan berkembang sampai dengan saat ini, tidak
saja pada kalangan masyarakat bawah tetapi juga dikalangan masyarakat atas yang
sudah lebih maju pendidikannya. Namun demikian, dari sisi bisnis pola tersebut dinilai menjadi
penghambat karena dapat mempengaruhi pembentukkan modal yang diperlukan untuk
pengembangan usaha.
Perilaku pemanfaatan pendapatan yang dipengaruhi oleh
nilai sosial budaya tersebut, perlu dikaji secara secara khusus dengan
mengembangkan berbagai upaya untuk dapat mengkombinasikan kedua sisi untuk
tetap menjaga nilai-nilai budaya yang berkembang dalam kelompok masyarakat,
tetapi juga pengelolaan bisinis dapat berjalan secara baik. Dengan demikian
penilaian bahwa satu sikap perilaku masyarakat, yang suka boros menggunakan
pendapatan untuk hal-hal yang tidak produktif dapat diposisikan secara tepat. dalam kaitannya dengan pola konsumsi
kehidupan masyarakat yang masih kuat dipengaruhi oleh budaya, dan tradisi,
bentuk penggunaan pendapatan seperti yang dijelaskan di atas merupakan
kewajiban yang menjadi tanggung jawab sosisal setiap anggota kelompok. Perilaku
pola konsumsi seperti ini kurang mendukung kegiatan usaha bagi masyarakat Yahukimo,
karena tidak adanya pemupukan modal usaha untuk pengembangan usaha.
Hasil
penelitian ini telah memberikan sedikit empat kesimpulan terkait dengan
telaah tentang eksistensi nilai budaya
terhadap pembentukan usaha kecil dan menengah. Empat kesimpulan tersebut adalah
: (1). Usaha masyarakat di Yahukimo masih berada pada tahapan mencari bentuk (inovasi, trigering), dimana personal
karakter (nilai pribadi, pendidikan, pengalaman, pengambilan risiko,
pengendalian intern,) serta faktor lingkungan (kesempatan/peluang,peran, dan kreativitas, kebijakan
pemerintah) sangat dominan dalam pengembangan ekonomi lokal; (2). Usaha
produktif, termasuk kelompok usaha mikro
lebih berhasil dan berkembang secara baik pada tingkat individu; (3). Faktor
sosial budaya masyarakat memiliki dua dimensi baik negatif, maupun positif
terhadap pembentukan perilaku kewirausahaan, sementara faktor sumber daya alam
sangat mendukung pembentukan kewirausahaan; dan (4). Peran pemerintah sangat
kuat berpengaruh /mendukung pengembangan kewirausahaan.
(Arius Kambu,
Ekonomi Uncen)
No comments:
Post a Comment