Monday, November 11, 2013

Yahukimo Dalam Pendekatan Etnografi



YAHUKIMO DALAM PENDEKATAN ETNOGRAFI
(penelitian mandiri LPPM Uncen, 2007)


Otonomi merupakan komitmen pemerintah terhadap pembangunan di Papua yang berpusat pada empat agenda utama yakni : Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur serta ekonomi kerakyatan dalam percepatan pembangunan daerah Papua kearah masa depan yang lebih baik.

Tema ini dipilih berdasarkan ketertarikan penulis untuk menerapkan pendekatan etnografi dalam rencana penelitian terhadap “pemberdayaan ekonomi lokal” yang selama ini masih belum jelas arahnya. Disamping itu keinginan penulis untuk menerapkan pendekatan etnografi sebagai metode penelitian ini antara lain untuk mendeskripsikan makna-makna yang terkandung dalam realitas masyarakat Yahukimo. Bagaimana pemberdayaan masyarakat lokal dimaknai, serta apakah nilai-nilai budaya lokal ikut mewarnai atau mencitrakan keberadaan masyarakat lokal dalam pasar modern yang ada di Yahukimo.

Berkait itu, maka pada pendekatan ini umumnya peneliti mencoba memandang gejala sosial tidak dari sudut masyarakat secara kelompok tetapi dari kaca mata individu dan atau masyarakat yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi produktif. Selanjutnya dalam penelitian ini juga tidak bermaksud menilai apakah pandangan mereka salah atau benar, baik atau buruk tetapi peneliti mencoba memahami dan menjelaskan pandangan-penadangan mereka yang menjadi subjek penelitian.

Merujuk  pada deskripsi yang melatari studi etnografi dalam pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai model pembentukan kemandirian masyarakat yang disandingkan dengan kearifan lokal masyarakat yang telah terbentuk dan atau terbangun secara tradisional dalam penguatan potensi kemandirian masyarakat terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi keluarga ini secara subtansial di forfulasikan dalam pertanyaan pokok : Seberapa besar peran budaya lokal dalam pengembangan ekonomi berbasis kerakyatan di Yahukimo. 

Menurut Penelitian Kambu Arius, Dosen FE-UNCEN memberikan infomasi melalui analisis dan pembahsan dalam memahami pengetahuan bisnis orang Yahukomo dalam pendekatan etnografi sebagai berikut : Yahukimo barasal dari nama empat suku besar yakni 1). Suku Yali; 2). Suku Hupla; 3). Suku Kinyal dan 4). Suku Monuna. Dari ke-empat suku inilah yang diabadikan menjadi nama Yahukimo (Ya = Yali, Hu = Humpla, Ki = Kinyal, Mo = Momuna), yang terletak di balik lembah baliem dan memiliki dataran rendah yang menyimpan sejumlah potensi. Potensi sumber daya alam yang samgat melimpah menjadikanya incaran banyak investor dari luar daerah. Hutan yang masih menyimpan sejumlah jenis pohon, didalam kali dan sungainya terdapat berbagai jenis ikan dan udang serta biodat lainnya, tanah yang mengandung sumber daya alam mineral yang kaya.

Berkait itu, maka kebijaksanaan pembangunan Yahukimo yang sudah dilakasanakan dan akan dilaksanakan agar selalu memperhatikan kearifat lokal serta tak kala pentingnya pemerintah diharuskan untuk selalu menggunakan pendekatan yang dilaksanakan missionaris adalah pendekatan pendidikan dan agama yang dibawah telah menjadi dasar dan pedoman hidup bagi penduduk asli yakni : (1). Suku Yali; (2). Suku Hupla; (3). Suku Kinyal, masih merupakan sebuah model pemberdayaan masyarakat yang sangat baik. 

Selanjutnya suku asli (Momuna), sagu seakan menjadi penyelamat yang pertama dan terutama dalam menyongsong hidup yang lebih baik di masa depan. Hidup mereka seluruhnya terfokus kepada sumber daya alam yang masih menyimpan sejumlah jenis binatang di dalam hutan, sejumlah jenis katu, di kali dan sungai terdapat sejumlah jenis ikan dan udang serta biodat lainnya. Eksploitasi hutang dalam skala yang luas atas nama pembangunan dengan tidak memperhatikan hak-hak ulayat (tanah adat) untuk memperoleh keuntungan sebagai satu-satunya tujuan utama dalam kehidupan modern dewasa ini secara tidak sadar pula telah mengantar mereka memasuki suatu proses eksploitasi yang unjung-unjungnya membuahkan kekerasan, pelecehan dan penindasan. Hal itu semua akan terjadi di masa depan karena aparat penegak hukum dan aparat pemerintah setempat terasa semakin jauh dari mereka. Keadilan adalah barang mahal yang hanya dapat diperoleh mereka yang punya uang dan kuas, slogan-slogan tentang demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) hanyalah gula-gula politik belaka. 

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian di buat dengan tujuan : (1). Agar pemerintah Daerah memperoleh gambaran yang sedikit lengkap tentang pola pemberdayaan masyarakat dengan memperhatikan representasi ketersebaran masyarakat asli Yahukimo dalam wilayah ke-empat suku besar yakni : (a). Suku Yali; (b). Suku Hupla; (c). Suku Kinyal (d). Suku Momuna yang memiliki kehidupan sosial budaya sendiri-sendiri. (2).  Agar pemberdayaan ekonomi lokal disandingkan dengan kearifan lokal masyarakat Yahukimo, (3). Mendorong dan menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan Yahukimo di masa depan. (4). Agar keberlanjutan dari studi ini diharapakan menambah kepustakaan dalam pembentukan kelompok-kelompok ekonomi produktif yang bergerak dalam berbagai sektor usaha berdasarkan representasi ketersebaran kearifan lokal berdasarkan potensi wilayah masing-masing.

Berkaitan dengan itu, maka dalam semanggat Otonomi, paradigma pembangunan ekonomi dibalik dengan memberikan peluang yang lebih besar pada penduduk lokal (asli Papua) untuk dapat mengembangkan diri sebagai pengusaha diberbagai bidang usaha. Pada realititasnya, walaupun ada peluang yang diciptakan melalui kebijakan Otonomi tersebut, namun para pengusaha, khususnya pengusaha ethnis Papua masih diperhadapkan pada rendahnya kinerja usaha sebagai akibat dari perilaku kewirausahaan yang belum profesional dan masih terikat oleh nilai-nilai budaya dan kondisi sosial serta kondisi geografis yang tidak mendukung  pengembangan aktivitas usaha..

Yahukimo sebagai daerah yang cukup potensial untuk pengembangan dimasa yang akan datang dengan didukung oleh potensi sumber daya alam, tingkat aksesibilitas, serta sarana dan prasarana. Potensi tersebut merupakan penunjang untuk menjadikan Yahukimo sebagai daerah transito di kawasan pegunungan tengah. Dimana pola pengembangan daerah berbasis pada pengembangan ekonomi basis dan atau pengembangan sektor unggulan berdampak positif dengan berkembangnya berbagai sektor lainnya, seperti industri pengolahan, perdagangan, lembaga keuangan dan lain sebagainya.

Pengembanagn daerah trasito mengacu pada prinsip otonomi dan kemandirian melalui pengembangan interkoneksitas antara wilayah pegungungan tengah, maupun wilayah Papua selatan.

Pembangunan Yahukimo harus dipandang dalam perspektif masa depan, sehingga pelaksanaan pembangunan akan mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan yang mengacu pada aspek kearifan lokal menjadi tujuan utama.

Hasil pembangunan akan mengarah kepada peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dapat terwujud tidak hanya dipandang dari aspek fisik dan materi saja, tetapi mencakup aspek spiritual keagamaan dan budaya. Peningkatan kesejahteran dan kualitas hidup masyarakat dilakukan mulai penguatan struktur ekonomi dan struktur wilayah, perluasan basis ekonomi lokal melalui pengembangan wilayah, penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat melalui lembaga ekonomi rakyat (LER), dan memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pengembangan kehidupan yang damai dan sejahtera di bumi “Sumohai”.

Berdasarkan  beberapa  penjelasan  mengenai  ciri, karakterisitik,  potensi  dari keragaman sumber daya social dari keempat suku besat tersebut yang terdistribusi pada 51 distrik dan 399 kampung dengan tipologi wilyah dan heterogenitas adat istiadat dan social ekonomi masyarakat relatif berbeda dari masing-masing  suku tersebut.

Untuk melaksanakan analisis pengembangan model ekonomi kerakyatan, maka masyarakat dikelompokkan berdasarkan penyebaran penduduk menurut struktur mata pencaharian, kepemilikan asset lahan pertanian, sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta daya dukung faktor sosial ekonomi.

Salah satu faktor yang turut membentuk perilaku masyarakat dalam pengembangan bisnis adalah faktor sosial budaya yang berkaitan dengan pesta-pesta adat, pembayaran denda dan maskawin, serta tanggung jawab sosial.

Setelah dilakukan telahan terhadap jawab responden, dengan mengelompokan dan mengklasifikasikan kedalam kelompok yang sanggat mendukung sekali, sanggat mendukung, netral, kurang mendukung dan kurang mendukung sekali terhadap pembentukkan perilaku bisnis diktehui bahwa faktor sosial budaya kurang mendukung pembentukkan perilaku bisnis dalam pengembangan bisnis masyarakat Yahukimo. Untuk lebih jelasnya  pengelompokkan  dan  pengklasifikasian tersebut dapat  dilihat  pada tabel 1 berikut :

Dari tabel 1 di atas menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat berada pada rangking 1 (satu) atau klasifikasi kurang mendukung. Hal ini memberi indikasi bahwa masyarakat masih terikat pada kebiasaan, pola hidup dan tingkah laku sosial budayanya, sehingga kurang mendukung terhadap pembentukkan perilaku usaha dalam pengembangan bisnis masyarakat. 

Tanggung jawab sosial, menjadi faktor budaya utama yang kurang mendukung pembentukkan perilaku kewirausahaan. Tanggung jawab sosial di sini dimaksudkan sebagai tanggung jawab seseorang di dalam keluarga terhadap semua kegiatan-kegiatan yang terjadi di dalam keluarga, baik yang bersifat vertikal maupun horisontal dan juga lingkungan masyarakatnya. Kewajiban terhadap tanggung jawab sosial tersebut  menjadikan seseorang di dalam keluarga yang memiliki pekerjaan dan pendapatan yang baik dianggap sebagai aset keluarga.

Masyarakat Yahukimo masih memegang teguh hubungan keluarga (kekerabatan), baik secara vertikal maupun horisontal, baik terhadap keluarga kakek, nenek, maupun keluarga suami atau istri. Hubungan-hubungan tersebut menyebabkan pemanfatan dari hasil usaha dipergunakan untuk kepentingan tersebut, dan kadang-kadang jumlah pengeluaran melampaui pendapatan yang diperoleh.

Pesta-pesta adat yang berupa upacara pesta perkawinanan, dan juga pembukaan kebun baru, serta penangkapan ikan. Dimana kegiatan  yang berkaitan dengan pesta-pesta adat  tersebut membawa konsekwensi pada pembiayaan yang cukup besar, dan bervariasi sesuai dengan skala dan individu yang melaksanakan kegiatan tersebut. Acara adat yang berkaitan dengan pembayaran denda dan maskawin merupakan budaya yang berada pada masyarakat di Yahukimo. Pada masa lalu, pembayaran denda dan maskawin menggunakan alat bayar berupa benda/barang seperti Babi, pada masyarakat di daerah pegunungan, sedangkan pembayaran dengan menggunakan alat penangkapan ikan/berburu bagi masyarakat di daerah pesisir pantai. Pada jaman modern ini kebiasaan pembayaran denda maupun waskawin dilakukan dengan menggunakan barang dan uang secara bersama-sama atau barang dikonversikan kepada uang. Pembayaran denda maupun waskawin dengan menggunakan uang bervariasi pada berbagai suku. Pembayaran dilakukan dalam bentuk uang maupun barang, besarnya  berkisar antara Rp 50.000.000,-  s/d Rp.150.000.000,- yang disesuaikan jumlah Babi yang diberikan.

Pada kelompok masyarakat dapat dilihat bahwa besar kecilnya pembayaran denda dan maskawin berdasarkan kelas dari individu yang bermasalah. Pada masyarakat kelas atas (kepala suku) jauh lebih mahal dibandingkan dengan kelas bawah. Jenis pembayarannya juga bervariasi, misalnya menggunakan beberapa ekor babi dalam jumlah besar jauh lebih tinggi, jika dikonversikan dengan uang berkisar antara Rp. 15.000.000,- s/d Rp.20.000.000,-. Sedangkan pada masyarakat pesisir kali pembayaran dilakukan dalam bentuk uang dan barang berupa alat pancing/berburu, atau benda lainnya yang berkaitan dengan kehidupannya di wilayah kali/sungai.

Perilaku masyarakat di dalam menghadapi semua kegiatan adat tersebut di atas, dipengaruhi oleh suatu nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial yang hidup dalam lingkungan masyarakatnya. Budaya rasa malu dinilai tidak mampu, menjadi faktor pendorong yang sangat kuat di dalam melakukan tanggung jawab adat  tersebut. Upaya menjaga harga diri dan martabat  keluarga, kelompok dari penilaian tidak mampun, mendorong setiap orang didalam kelompok melakukan pengorbaban dalam bentuk uang maupun barang. Misalnya pembayaran denda atau maskawin; walaupun dalam jumlah yang besar dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat karena dorongan menjaga harga diri dan martabat keluarga/kelompok, atau rasa malu dinilai tidak mampu.

Dari dimensi sosial budaya, masyarakat Yahukimo, terutama yang tinggal di daerah pesisir pantai masih mengenal dan memegang teguh sistem kekerabatan dalam lingkungan sosialnya maupun yang berada di dataran pegunungan. Namun demikian, nilai-nilai budaya tersebut akan dapat bermanfaat atau bernilai positif terhadap perilaku ekonomi masyarakat, jika dapat diarahkan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih produktif, terutama yang mendukung kegiatan usaha masyarakat. Demikian pula kebersamaan di dalam menjaga harga diri dan martabat keluarga dengan cara melakukan pengumpulan dana dalam waktu yang singkat dapat diarahkan untuk membiayai dan menjalankan kegiatan ekonomi yang lebih produktif.

Berkait itu maka dapat diasumsikan bahwa peranan pemerintah Daerah masih sanggat dominan terhap dalam memberikan pendidikan formal maupun non formal dalam membentuk perilaku kewirausahaan masyarakat asli dari ekonomi budaya menjadi ekonomi produktif.

Perilaku ekonomi masyarakat selain dipengaruhi oleh sosial budaya juga dibentuk oleh perilaku kelompok dalam kegiatan sosial yang berkaitan dengan konsumsi, investasi, pendidikan, dan kesehatan serta kebutuhan lainnya. Hasil rangking dan klasifikasi terhadap respon yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, memberi indikasi bahwa perilaku (konsumsi, investasi, pendidikan, dan kesehatan serta kebutuhan lainnya) kurang mendukung terbentuknya perilaku kewirausahaan masyarakat. Untuk jelasnya hasil rangking dan klasifikasi tersebut dapat dikemukakan pada tabel 2. berikut :

Dari tabel 2 di atas menunjukkan perilaku kelompok dalam kegiatan penyelesaian masalah dan kegiatan sosial cenderung kurang  mendukung atau tidak produktif. Hal ini dapat dilihat pada rangking satu atau klasifikasi kurang mendukung. Sedangkan pemanfaatan pendapatan dalam kegiatan ekonomi dapat dikatakan lebih rendah dibanding dengan akumulasi pemanfaatan pendapatan untuk kegiatan penyelesaian masalah dan kegiatan sosial ekonomi, hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Yahukimo menggunakan kurang lebih pendapatan mereka untuk keperluan non konsumsi.. Hal ini memberi indikasi bahwa masyarakat Yahukimo memiliki perilaku kewirausahaan yang  masih rendah.

Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa potensi sosial budaya masyarakat sangat tergantung pada hasil pendapatan yang diperoleh dan jumlah tanggungan keluarga. Di samping itu terdapat pula  suatu kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, dimana semakin tinggi hasil pendapatan yang diperoleh semakin besar pengeluaran rumah tangganya, begitu pula halnya semakin banyak jumlah tanggungan keluarga semakin besar pula pengeluaran rumah tangga, terutama pada kebutuhan yang menjadi tanggung jawab sosial budaya (pesta-pesta adat, pembayaran maskawin dan denda).

Kecenderungan penggunaan pendapatan pada kegiatan sosial yang jauh lebih besar tersebut,  merupakan implikasi dari tanggung jawab sosial terhadap keluarga yang tetap dipegang teguh oleh masyarakat. Hubungan kekerabatan, keluarga secara vertikal dan horisontal dari kedua belah pihak suami dan isteri  menyebabkan semakin luasnya tanggungan keluarga. Dikalangan masyarakat pada setiap keluarga rata-rata berkumpul selain keluarga inti, juga ditampung keluarga lainnya baik dari pihak suami maupun istri, dan rata-rata mencapai 10 -12 orang. 

Kemudian pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan anak-anak dan keluarga  kadang-kadang tidak menjadi prioritas, atau tidak direncanakan dengan baik. Dimana pengeluaran-pengeluaran untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut dilakukan secara sporadis dan tidak terencana. Demikian juga pengeluaran lainnya yang merupakan tanggung jawab sosial terhadap keluarga. Kondisi tersebut terjadi disebabkan karena  ada perasaan dalam diri setiap individu yang selalu merasa takut dinilai tidak bertanggung jawab, berperilaku kurang baik,  sombong, dan tidak perduli terhadap keluarga. Dan hal seperti ini kadang-kadang menjadi dasar perbandingan oleh anggota keluarga terhadap perilaku dan sikap dari orang tertentu yang membandingkan dengan saudara kandungnya yang lain.

Model kegiatan yang cenderung sosial tersebut, menyebabkan siklus usaha tidak berjalan secara kontinyu dan profesional. Sifat sosial yang tinggi menyebakan rendahnya akumlasi modal dan tidak mampu melakukan investasi serta pengembangan usaha lebih lanjut. Gaya atau pola konsumsi rumahtangga masyarakat bervariasi meliputi kebutuhan untuk bahan makanan, pakaian, pendidikan, pengobatan, dan pengeluaran lainnya, seperti pembayaran denda atas pelanggaran norma-norma budaya yang telah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat, baik yang terjadi pada salah seorang sanak keluarga yang merupakan tanggungannya untuk menutupi aib atau menjaga nama baik keluarga. Nilai-nilai budaya seperti ini masih dipegang teguh oleh masyarakat, sehingga merupakan salah satu pos pengeluaran keuangan rumahtangga yang perlu dipenuhi.

Beban yang ditanggung oleh masyarakat, membuat mereka terbelenggu pada gaya hidup dimana pengeluaran selalu lebih besar dari pendapatan, sehingga mereka terlibat didalam lingkaran utang piutang diantara sesama masyarakat itu sendiri maupun dengan pedagang dari luar papua.  Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa faktor sosial tidak mendukung pembentukkan perilaku kewirausahaan masyarakat. 

Perilaku pemanfaatan pendapatan yang dipengaruhi oleh nilai sosial budaya tersebut, perlu dikaji secara khusus dengan mengembangkan berbagai upaya untuk dapat mengkombinasikan kedua sisi untuk tetap menjaga nilai-nilai budaya yang berkembang dalam kelompok masyarakat, tetapi juga pengelolaan bisinis dapat berjalan secara baik. Dengan demikian penilaian bahwa satu sikap perilaku masyarakat, yang suka boros menggunakan pendapatan untuk hal-hal yang tidak produktif dapat  diposisikan secara tepat dalam kaitannya dengan nilai sosial masyarakat yang masih kuat dipengaruhi oleh budaya, dan tradisi, bentuk penggunaan pendapatan seperti yang dijelaskan di atas merupakan kewajiban yang menjadi tanggung jawab sosial setiap anggota kelompok. Perilaku sosial seperti ini kurang mendukung kegiatan usaha bagi masyarakat Yahukimo, karena tidak adanya pemupukan modal untuk pengembangan usaha.

Faktor-faktor Potensi Sumber Daya Alam merupakan salah satu faktor yang ikut berperan terhadap pembentukan perilaku usaha masyarakat, yang mencakup perilaku kepemilikan hak ulayat dalam kelompok/individu, pengelolaan selama ini, pengelolaan dimasa yang akan dating dan siapa yang mengawasi potensi Sumber Daya Alam tersebut. Hasil pengelompokkan terhadap respon, menunjukkan bahwa faktor-faktor sumberdaya alam mendukung terbentuknya perilaku kewirausahaan masyarakat. Untuk lebih jelasnya pemberian rangking atau klasifiksi tersebut  dapat dikemukakan pada tabel 3 berikut :

Dari kesimpulan tabel 3 di atas menunjukkan rangking 1 (satu)  potensi sumber daya alam (SDA) masuk pada klasifikasi sanggat mendukung bahwa keaneka ragaman potensi alam berperan penting terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, disusul oleh rangking 2 (dua) pengelolaan kelompok/individu masuk pada klasifikasi mendukung. Sedangkan  pengawasan tingkat pemanfaatan sumber daya alam memiliki rangking satu masuk pada klasifikasi kurang mendukung. 

Perilaku kewirausahaan masyarakat selain dipengaruhi oleh sosial budaya juga dibentuk oleh pendidikan dalam bentuk pembinaan dan pelatihan untuk masyarakat perlu mempertimbangkan aspek spek sosial ekonomi rumah angga dengan lebih memfokuskan sasaran target pelayanan pendidikan kepada mayoritas rumah tangga yang miskin. Selanjutnya intervensi pendidikan untuk masyarakat harus memberikan prioritas kepada anak usia 13 tahun keatas. Disamping itu dalam pendekatan pembinaan dengan menata kembali sosial budaya masyarakat dan juga perilaku kelompok, serta kebijakan pengendalian melalui program pemberdayaan ekonomi melalui pembentukan lembaga ekonomi rakyat (LER).

Pendekatan pengembangan Sumber Daya Manusia masyarakat, baik aspek pelayan pembinaan maupun aspek pengembangan kewirausahaan perlu dilakukan secara sistematis, dan disesuaikan dengan masa-masa produksi rumah tanga mereka. Bila proses pengembangan SDM masyarakat dapat didahulukan dalam proses pembangunan satu Daerah, maka dengan sendirinya konsep pengembangan kewirausahaan akan berhasil, yaitu ketika manusia yang menggantungkan hidupnya kepada agribisnis, dan kelautan terlebih dahulu mendapatkan peningkatan cadangan modal, yaitu Ilmu Pengetahuan (knowledge) dan kesehatan (healthty).

Selama ini ada beberapa kendala pemberdayaan masyarakat yang dilakukan melalui program Pemerintah yaitu ; jangka waktu implementasi sangat pendek sementara dana yang harus disalurkan relatif besar, dan pada saat yang bersamaan tenaga lapangan sangat terbatas. Program Pemerintah selama ini menggunakan pendekatan participatory rural appraisal  yang membutuhkan tenaga fasilitator dalam jumlah yang banyak, agar mampu menampung aspirasi masyarakat, akan tetapi kenyataannya ketersediaan tenaga fasilitator sangat terbatas.

Disamping kedua hal diatas kendala pemberdayaan masyarakat melalui program Pemerintah adalah proses penyaluran dana mulai dari Pemerintah Pusat hingga penerima bantuan masih dihadapkan dengan mata rantai yang cukup panjang, sehinga pelaksanaan kegiatan tidak sesuai dengan kondisi penerima bantuan masyarakat.Hasil rangking dan klasifikasi terhadap responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, memberi indikasi bahwa pengembangan dan pelatihan kewirausahaan kurang mendukung terbentuknya perilaku kewirausahaan masyarakat. Untuk jelasnya  hasil rangking dan klasifikasi tersebut dapat dikemukakan pada tabel 4. berikut :

Kesimpulan tabel 4 di atas menunjukkan bahwa faktor pembinaan dan pelatihan pada masyarakat cenderung tidak memberikan kontribusi yang berarti dalam pengembangan kewirausahaan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari rangking yang diberikan sebesar satu menunjukkan bahwa faktor pembinaan dan pelatihan memberikan indikasi bahwa masyarakat Yahukimo memiliki perilaku bisnis yang masih rendah. 

Pemberdayaan  masyarakat lokal selain dipengaruhi oleh sosial budaya juga dibentuk oleh perilaku konsumsi yang berkaitan dengan investasi, pendidikan, dan kesehatan serta kebutuhan lainnya. Hasil rangking atau klasifikasi terhadap responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, memberi indikasi bahwa perilaku (konsumsi, investasi, pendidikan, dan kesehatan serta kebutuhan lainnya) kurang mendukung terbentuknya perilaku usaha masyarakat. Untuk jelasnya hasil klasifikasi dan pengelompokkan tersebut dapat dikemukakan pada tabel 5 berikut :

Kesimpulan tabel 5 di atas menunjukkan perilaku masyarakat cenderung konsumptif dan tidak produktif. Hal ini dapat dilihat dari rangking yang diberikan sebesar satu menunjukkan bahwa pemanfaatan pendapatan untuk investasi, kesehatan dan pendidikan dapat dikatakan lebih rendah dibanding dengan akumulasi pemanfaatan pendapatan mereka untuk keperluan non konsumsi. Hal tersebut diatas memberi indikasi bahwa masyarakat Yahukimo memiliki  perilaku kewirausahaan yang  masih rendah.

Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa pola konsumsi rumah tangga masyarakat sangat relatif tergantung pada hasil pendapatan yang diperoleh dan jumlah tanggungan keluarga. Disamping itu terdapat pula suatu kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, dimana semakin tinggi hasil pendapatan yang diperoleh semakin besar pengeluaran rumahtangganya, begitu pula halnya semakin banyak jumlah tanggungan keluarga semakin besar pula pengeluaran rumahtangga, terutama pada kebutuhan makanan dan pakaian serta biaya yang menjadi tanggung jawab sosial budaya (pesta-pesta adat, pembayaran maskawin dan denda).

Kecenderungan penggunaan pendapatan pada konsumsi yang jauh lebih besar tersebut, merupakan implikasi dari tanggung jawab sosial terhadap keluarga yang tetap dipegang teguh oleh masyarakat. Hubungan kekerabatan, keluarga secara vertikal dan horisontal dari kedua belah pihak suami dan isteri  menyebabkan semakin luasnya tanggungan keluarga. Dikalangan masyarakat khususnya nelayan pada setiap keluarga rata-rata berkumpul selain keluarga inti, juga ditampung keluarga lainnya baik dari pihak suami maupun istri, dan rata-rata mencapai 8 -10 orang. 

Kemudian pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan anak-anak dan keluarga  kadang-kadang tidak menjadi prioritas, atau tidak direncanakan dengan baik. Dimana pengeluaran-pengeluaran untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut dilakukan secara sporadis dan tidak terencana. Demikian juga pengeluaran lainnya yang merupakan tanggung jawab sosial terhadap keluarga jauh. Kondisi tersebut terjadi disebabkan karena ada perasaan dalam diri setiap individu yang selalu merasa takut dinilai tidak bertanggung jawab, berperilaku kurang baik, sombong, dan tidak perduli terhadap keluarga. Dan hal seperti ini kadang-kadang menjadi dasar perbandingan oleh anggota  keluarga terhadap perilaku dan sikap dari orang tertentu yang membandingkan dengan saudara kandungnya yang lain.

Perilaku yang cenderung konsumptif pada masyarakat tersebut, menyebabkan siklus usaha tidak berjalan secara kontinyu dan profesional. Sifat konsumptif yang tinggi menyebakan rendahnya akumlasi modal dan tidak mampu melakukan investasi serta pengembangan usaha lebih lanjut.

Gaya atau pola konsumsi rumahtangga masyarakat bervariasi meliputi kebutuhan untuk bahan makanan, pakaian, pendidikan, pengobatan, dan pengeluaran lainnya, seperti pembayaran denda atas pelanggaran norma-norma budaya yang telah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat, baik yang terjadi pada salah seorang sanak keluarga yang merupakan tanggungannya untuk menutupi aib atau menjaga nama baik keluarga. Nilai-nilai budaya seperti ini masih dipegang teguh oleh masyarakat sehingga merupakan salah satu pos pengeluaran keuangan rumahtangga yang perlu dipenuhi.

Beban yang ditanggung oleh para nelayan, membuat mereka terbelenggu pada gaya hidup dimana pengeluaran selalu lebih besar dari penedapatan, sehingga mereka terlibat didalam lingkaran utang piutang diantara nelayan itu sendiri maupun dengan pedagang dari luar (bugis, buton, dan jawa). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa faktor pola konsumsi tidak mendukung pembentukkan perilaku kewirausahaan nelayan papua. 

Dilihat dari perspektif antropologi pengeluaran yang dilakukan untuk menolong sesama anggota kelompok terhadap anggota dianggap sebagai investasi diantara warga dengan harapan akan dikembalikan dalam pola yang sama diwaktu mendatang. Di kalangan masyarakat papua pandangan dan pendapat tersebut benar-benar hidup dan berkembang sampai dengan saat ini, tidak saja pada kalangan masyarakat bawah tetapi juga dikalangan masyarakat atas yang sudah lebih maju pendidikannya. Namun demikian, dari  sisi bisnis pola tersebut dinilai menjadi penghambat karena dapat mempengaruhi pembentukkan modal yang diperlukan untuk pengembangan usaha.

Perilaku pemanfaatan pendapatan yang dipengaruhi oleh nilai sosial budaya tersebut, perlu dikaji secara secara khusus dengan mengembangkan berbagai upaya untuk dapat mengkombinasikan kedua sisi untuk tetap menjaga nilai-nilai budaya yang berkembang dalam kelompok masyarakat, tetapi juga pengelolaan bisinis dapat berjalan secara baik. Dengan demikian penilaian bahwa satu sikap perilaku masyarakat, yang suka boros menggunakan pendapatan untuk hal-hal yang tidak produktif dapat  diposisikan secara tepat.  dalam kaitannya dengan pola konsumsi kehidupan masyarakat yang masih kuat dipengaruhi oleh budaya, dan tradisi, bentuk penggunaan pendapatan seperti yang dijelaskan di atas merupakan kewajiban yang menjadi tanggung jawab sosisal setiap anggota kelompok. Perilaku pola konsumsi seperti ini kurang mendukung kegiatan usaha bagi masyarakat Yahukimo, karena tidak adanya pemupukan modal usaha untuk pengembangan usaha.

Hasil penelitian ini telah memberikan sedikit empat kesimpulan terkait dengan telaah  tentang eksistensi nilai budaya terhadap pembentukan usaha kecil dan menengah. Empat kesimpulan tersebut adalah : (1). Usaha masyarakat di Yahukimo masih berada pada tahapan mencari bentuk (inovasi, trigering), dimana personal karakter (nilai pribadi, pendidikan, pengalaman, pengambilan risiko, pengendalian intern,) serta faktor lingkungan (kesempatan/peluang,peran, dan kreativitas, kebijakan pemerintah)  sangat dominan  dalam pengembangan ekonomi lokal; (2). Usaha produktif, termasuk  kelompok usaha mikro lebih berhasil dan berkembang secara baik pada tingkat individu; (3). Faktor sosial budaya masyarakat memiliki dua dimensi baik negatif, maupun positif terhadap pembentukan perilaku kewirausahaan, sementara faktor sumber daya alam sangat mendukung pembentukan kewirausahaan; dan (4). Peran pemerintah sangat kuat berpengaruh /mendukung pengembangan kewirausahaan.

(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)

No comments:

Post a Comment

MENCARI MAYBRAT

TERSENYUM

Tahun ini awan terlihat gelap dipandang memakai kacamata jiwa, tahun penuh kecemasan, keraguan, kembimbangan, kepedihan yang datang dan per...