MEMAHAMI MEIBRAT DALAM CARA
PANDANG LAIN
(skrip
buku saku etnografi meibrat)
Ayamaru adalah salah satu etnik yang mendiami gugusan batu karang di wilayah pedalaman kepala burung Papua
(lihat peta Papua Barat) dianugrahi dengan budaya tolong menolong (self support) yang dipelihara sangat
kuat hidup dan berkembang sampai
saat ini. “Anu Betha Tubat’.
Pemekaran yang dibentuk 2002 wilayah Ayamaru mulai dari sebelah selatan berbatasan dengan
Kampung Kais dan Kambur di teluk Patipi, sebelah utara berbatasan dengan
Kampung Yarat dan Man di
Distrik Senopi, sebelah
timur berbatasan dengan Aisa di
Distrik Arandai dan Distrik Bintuni (sekarang Kabupaten Teluk Bentuni), sebelah
barat berbatasan dengan Kali Weigo di Kampung Weigo dan Kampung Srowan dan
Kampung Sawiat Distrik Teminabuan (sekarang
Distrik Sawiat) Kabupaten
Sorong Selatan.
Wilayah
pedalaman kepala burung ditemukan pemerintah Belanda 1908 sudah ada kontak,
namun Belanda melaksanakan pemerintahan 1924 dan sepuluh tahun kemudian 1934
barulah terbentuk kampung-kampung secara permanen didirikan oleh masyarakat
atas usaha pemerintah Belanda yang pada waktu itu dikenal dengan “Ayamaru” yang
berasal dari dua suku kata yang terdiri dari “aya” dan “maru” yang berarti aya adalah air dan maru adalah danau/telaga karena masyarakat di wilayah pedalaman
kepala burung menetap diseputar danau.
Sementara
ada catatan lain yang menjelaskan Aifat pada waktu pemerintahan Belanda,
pemerintahannya di Fuoh di tepi sungai kamundan namun terjadi pergolakan politik
antara Indonesia dan Belanda mengenai perebutan Irian Barat, maka terjadi
kekhawatiran kalau Fuoh merupakan tempat strategis masuknya mata-mata Indonesia
sehingga dipindahkan ke kumurkek 1960 tanpa proses hukum.
Menurut
catatan masa lampauw menjelaskan kampung
Fategomi adalah tempat pertemuan suku-suku di seluruh wilayah pedalaman kepala
burung dan sejak jaman dulu menjadi tempat pertemuan dalam acara-acara adat
berupa tukar-menukar bo, barang dan jasa serta pusat informasi atau bisa kita
katakan sebagai daerah segitiga emas pada masa lampauw. Cerita yang lain juga
menjelaskan kampung Fategomi merupakan cikal bakal proses masuknya pemerintahan
pertama di pedalaman kepala burung dimulai dari lokasi atau tempat yang namanya
Fait Mu Framafir yang sekarang disebut Fategomi yang ditandai dengan
dilantiknya 5 (lima) orang kepala dusun pertama di Fait Mu Framafir sekarang
dikenal dengan nama Fategomi pada tahun 1932 dengan cara menyerahkan 5 (lima)
baju secara simbolis kepada lima kepala dusun antara lain : (1) Waman.Asmuruf; (2)
Siah Atu.Idie; (3) Mratmawe. Asmuruf; (4) Kawian.Iek; dan (5) Siayoh. Jitmau. Nama
Kampung Fategomi terdiri dari beberapa gabungan-gabungan kata depan dari ke 4
Kampung yang disingkat menjadi Fategomiyaitu: Fa
= Faan dari Kampung lama Faan; Te = Tehak dari Kampung lama Tehak; Go=Gohsames
dari Kampung lama Gohsames; Mi = Mirafan dari Kampung lama Mirafan;
Menurut
Kambu
Arius Dosen FE-UNCEN, dalam mendalami ekologi
masyarakat yang mendiami wilayah pedalaman kepala burung pulau Papua berada
pada zona ekologi kaki gunung lembah kecil dan bukit-bukit. Dengan adanya zona
ekologi dapat dibagi kedalam tiga wilayah masyarakat yang mendiami lembah kecil
di sebut “Ayamaru” yang terbagai dalam masyarakat Ayamaru Kota dan masyarakat
Aitinyo. Sementara masyarakat yang mendiami bukit-bukit disebut “masyarakat Aifat”
Pada
masa pemerintahan Belanda terdapat empat wilayah administrasi pemerintahan
distrik yaitu : distrik ayamaru, aitinyo, mara dan aifat dibawah wilayah
kerisedenan Manokwari. Sejak menjadi bagian dari Indonesia dan disesuaikan
dengan satu kesatuan adat istiadat, bahasa budaya yang menunjukkan suatu
kesukuan tertentu disuatu wilayah pedalaman kepala burung, maka dikenallah
singkatan suku A3 atau orang A3 yang mempunyai latar belakang adat istiadat,
budaya dan bahasa sama.
Pada
masa ini pemberian daerah otonom untuk masyarakat pada wilayah pedalaman kepala
burung peta Papua menyebut mereka dengan sebutan Meibrat yang berasal dari dua
suku kata yang terdiri dari : Mei dan Brat, Mei yang berarti suara/bahasa dan
Brat yang artinya lambat/lembut yang dapat dilihat dalam keseharian berupa tata
cara berbahasa yang lembut dan santun atau lebih singkatnya masyarakat yang
memiliki bahasa yang sama.
Berkait
dengan penyebutan Meibrat dalam perkembangan telah muncul permainan kata-kata
membuat sebutan yang terkenal Maybrat
yang sampai-sampai tercatat juga dalam lembaran negara yang apabila ditarik
cerita kebelakang tentang arti dua suku kata May dan Brat, May yang berarti memukul/berkelahi dan
Brat artinya lembut. Fenomena penyebutan nama tersebut apabila disesuaikan
dengan adat istiadat, bahasa dan budaya tidak menunjukkan suatu kesatuan sosial
budaya “Anu Betha Tubat”. Disini memunculkan pertanyaan “apakah salah
penyebutan yang menyebabkan konflik berkepanjangan”......jawaban cukup pada anda
sendiri.
Kita
mempertanyakan ke mana perginya akal sehat dan akal budi ketika dua kelompok
saling gesek yang sedang mempertahankan dinasti politik membuat masyarakat
semakin terpuruk itu tidak mungkin terlepas dari nilai dan keyakinan individu
masyarakat yang lagi sakit. Kehilangan akal sehat dan akal budi tidak hanya
tampak pada intensitas gesekan para elit yang kian menakutkan, tapi juga pada
perilaku para masyarakat yang semakin degradasi miskin rasa malu.
Sistem
kepemimpinan pria berwibawa yang berdasarkan kemampuan berwiraswasta atau
secara individual mempunyai potensi mengumpulkan bo yang banyak. Hal ini dapat dijelaskan individu yang dapat
menjadi pemimpin adalah orang yang pandai berdagang, mempunyai kekayaan,
kemampuan memimpin dan murah hati.
Setiap
individu bersaing secara ketat degan berbagai potensi memanfaatkan berbagai
sarana untuk memperoleh bo,
memberikan bo dalam jumlah yang lebih
besar berarti dengan sendirinya Ia disanjung, dihormati, dihargai atau
mempunyai sebutan sebagai ra bobot (masyarakat atas). Pada masa ini, pengaruh bobot masih nampak, terutama memiliki
kewenangan untuk membuat keputusan, misalnya menyatakan perang suku,
menjatuhkan vonis bersalah atau tidaknya kepada pihak-pihak yang bertikai. Bobot
dalam kelompok masyarakat sudah berlangsung berabad-abad lamanya dan merupakan
kepemimpinan politik lokal terakhir yang dikenal sebelum masuknya sistem
politik modern lewat pemerintahan Belanda.
Sistem
pelapisan pada waktu lampauw sebelum masuknya pemerintahan Belanda. Masyarakat
sudah membagi strata sosial dalam tiga wilayah yaitu : (1). Lapisan atas (ra bobot); (2). Lapisan masyarakat
menengah (ra sai atau ra kinyah); (3). Lapisan masyarakat
bawah atau orang kebanyakan (ra kair
atau ra warok, sigyah). Perbedaan strata sosial masyarakat didasarkan pada tiga
alasan besar yaitu : (1) kepemilikan bo (benda atau barang berbentuk kain); (2)
kemampuan memimpin pesta-pesta inisiasi dan (3) murah hati.
1) Lapisan
atas (ra bobot) yang termasuk kategori
masyarakat atas adalah memiliki bo pusaka (wan)
dan beberapa bo yang termasuk klafisikasi berkualitas seperti wan safe, sariem. Untuk memperoleh gelar ra
bobot, ada beberapa kriterial tertentu yakni kepemilikan bo berkualitas
kelas satu (bo pusaka), pandai bermain atau melakukan transasksi tukar menukar
bo, kedudukan yang bersifat melembaga, tingkat senioritas dan memiliki
kekuasaan atas sejumlah pengikut.
2) Lapisan masyarakat menengah (ra sai atau ra kinyah), yang
termasuk kategori menengah adalah mereka yang tidak memiliki bo klasifikasi
kwalitas kelas satu atau bo pusaka. Selain itu mereka juga tidak memiiki bo
yang sebanding dengan bo yang dimiliki oleh golongan masyarakat kelas atas. Bo
yang dimiliki oleh golongan masyarakat menengah tidak sebanyak yang dimiliki
oleh golongan masyarakat atas.
3) Lapisan masyarakat kebanyakan atau (ra
kain atau ra warok, sigyah), yang termasuk golongan orang kebanyakan adalah
golongan masyarakat yang sama sekali
tidak memiliki bo kelas satu dan bo jenis lainnya secara
hirarkis, membedakan masyarakat kedalam berbagai lapisan memang tidak
nampak secara jelas. Namun dalam kehidupan sehari-hari membedakan strata social masyarakat sangat nampak, terutama dalam hal pemilihan jodoh, sering nampak
jelas pada saat terjadi pertikaian atau konflik.
Sistem
kepercayaan prasejarah masyarakat pedalaman kepala burung, diperkirakan mulai
tumbuh pada masa berburu dan meramu makanan tingkat lanjut atau disebut dengan
masa bermukim dan berladang yang terjadi pada zaman Mesolithikum.
Mengenai bukti adanya kepercayaan masyarakat pada zaman Mesolithikum dan
beberapa bukti lain yang turut memperkuat adanya corak kepercayaan mereka pada
zaman prasejarah adalah ditemukanya bekas kaki pada nekara disungai Wemayis
kampung Sauf. Bekas kaki tersebut menggambarkan langkah perjalanan yang akan
mengantarkan roh seseorang ke alam baka. Hal ini berarti pada masa tersebut masyarakat
sudah mempercayai akan adanya roh. Kepercayaan terhadap roh terus berkembang
pada zaman prasejarah. Hal ini tampak dari kompleksnya bentuk-bentuk upacara
penghormatan, penguburan dan pemberian upeti atau sesajen. Kepercayaan terhadap
roh inilah yang dikenal dengan Aninisme.
Aninisme berasal dari kata Anima
artinya jiwa atau roh, sedangkan Isme
artinya paham atau kepercayaan. Disamping adanya kepercayaan Aninisme ada juga
terdapat kepercayaan Dinamisme. Dinamisme adalah kepercayaan terhadap
benda-benda tertentu yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Contohnya yaitu:
pohon-pohon besar atau bukit dan pegunungan serta sungai tertentu yang dianggap
memiliki kekuatan. Dengan demikian kepercayaan masyrakat pada zaman prasejarah
adalah Aninisme dan Dinamisme.
Berdasarkan letak geografis daerah maka sistem mata
pencaharian hidup suatu kelompok etnis ditentukan oleh potensi yang
terkandung didaerahnya termasuk kondisi
serta kesuburan tanah. Masyarakat yang mendiami pedalaman kepala burung mengembang
berbagai sistem mata pencaharian hidup dengan kondisi geografis daerahnya.
Adapun mata pencaharian tersebut antara lain;
menangkap ikan, berkebun dan berburu seperti dibawah ini.
a) Menangkap
ikan; Mofot syoh/maka aya atau menangkap
ikan merupakan mata pencaharian sampingan masyarakat. Namun demikan
pekerjaan ini menjadi pencaharian penting bagi masyarakat yang khusus berdiam
di daerah pinggiran danau. Penangkapan ikan biasanya dilakukan oleh anak
laki-laki dan wanita baik yang sudah dewasa maupun anak-anak. Pencarian ini di
lakukuan pada siang hari maupun pada malam hari terutama pada musim-musim
kemarau. Jenis-jenis ikan yang biasanya ditangkap adalah ikan mujair, ikan mas,
ikan sepat, ikan tet, ikan gabus, udang, belut, sepat siam dan sebagainya.
Teknik penangkapan di lakukan dengan cara menombak, menggunakan jaring,
meracuni dengan akar tuba, atau menangkap dengan menggunakan tenaga. Hasil
tangkapan ikan yang diperoleh, sebagian di konsumsi sendiri dan ada juga yang
dibagikan kepada anggota kerabat yang lain atau di jual di pasar terdekat.
b) Berkebun; masyarakat pada umumnya mengembangkan cara
berkebun secara tradisional (mkha ora), yakni sistem perladangan ini
telah membudaya dalam kehidupan masyarakat, karena dilakukan secara
turun-temurun dari generasi ke generasi. Mereka membuka kebun pada lahan milik
kerabat atau klennya sendiri. Kebun dibuka dengan melalui berbagai pengetahuan
tradisional mengenai teknik membuka lahan, seperti melakukan survei atau pemilihan lahan (matsus thain), setelah memilih bahan
yang cocok, maka dibuatlah rintisan dengan cara menandai bagian-bagian tertentu
dari lahan yang berbatasan dengan lahan orang lain. Sesudah menandai lahan
orang lain, tahap selanjutnya adalah menebas dan menebang pohon secara
keseluruhan. Pohon-pohon dan rumput-rumput yang telah di tebas dibiarkan
mengering lalu dibakar dan setelah dibakar maka lahan siap untuk dipakai. Masyarakat mengenal sistem pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan secara
jelas. Semua pekerjaan yang dinilai berat (kasar) seperti pemilihan lahan,
menebang pohon, membersihkan rumput, membuat pagar, membuat rumah untuk
memelihara tanaman, dikerjakan oleh laki-laki. Sedangkan membersihkan daun-daun
saat membakar kebun, memanen hasil, merawat tunas (bibit) yang hendak ditanam
kembali, menjual hasil kebun dilakukan oleh kaum wanita (para istri). Jenis
tanaman yang ditanam antara lain kedelai bete (awuah), keladi johar (awuah
kulawe), ubi jalar (sasu), ubi kayu (ara sasu), pisang (abit), tebu ikan (hata),
kacang tanah (smail), ketimun (iteto). Hasil ladang di konsumsi sendiri jika
hasil ladang mengalami surplus maka sebagian lagi dijual dan sebagian lagi
dibagikan kepada anggota kerabatnya.
c) Berburu; Berburu bagi masyarakat merupakan mata
pencaharian sampingan. Perburuan dilakukan pada saat tertentu saja, misalnya
untuk keperluan pesta dan sebagainya. Lokasi perburuan terletak di hutan-hutan
di sekitar kampung. Berburu dilakukan seecara individu atau berkelompok antara
4-5 orang. Waktu untuk berburu dilakukan dari malam hingga pagi hari. Lamanya
perburuan berlangsung 3-4 hari. Para pemburu biasanya terdiri dari kaum
laki-laki dewasa. Sedangkan untuk kaum wanita bertugas mengolah hasil buruan
menjadi makanan yang siap dimakan, menjual hasil buruan itu ke pasar terdekat.
Hasil buruan dibagikan kepada setiap pemburu yang ikut berburu. Pemburuan yang
dilakukan secara berkelompok biasanya di lakukan untuk keperluan pesta besar.
Sebaliknya hasil buruan yang dilakukan secara individu di konsumsi sendiri,
atau di bagikan kepada anggota keluarga atau dijual.
Seni atau kesenian merupakan salah satu dari tujuh
unsur kebudayaan yang ada. Salah satunya adalah seni menganyam. Seni anyaman
pada masyarakat merupakan suatu kebiasaan yang diturunkan secara turun temurun
oleh nenek moyang mereka. Anyaman tersebut disebut noken. Noken adalah tas yang
dianyam dari kulit kayu. Masyarakat menganggap noken sebagai symbol kesuburan
kandungan seorang perempuan. Fungsi noken pada masyarakat sama halnya dengan
suku-suku lain di papua yaitu untuk
mengisi dan menyimpan hasil bumi atau juga bisa digunakan untuk menggendong
anak. Noken ini biasa diatas kepala.
Dapat juga dilihat pada Seni ukir yang diterapkan oleh
masyarakat terlihat seni hias pada benda-benda perunggu yang nenggunakan
pola-pola geometric sebagai pola hias utama. Kesenian di masyarakat juga
terdiri atas beberapa sub, antara lain: seni rupa, seni suara dan seni
tari.
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)
No comments:
Post a Comment