Monday, November 24, 2025

MUKA SAMA

arkam

Dewa manajemen Vroom membuat formula M=f (E,V), motivasi seseorang akan dipengaruhi oleh harapan orang yang bersangkutan dan nilai yang dikandung dalam setiap pribadi. Maka, setiap orang memutar frekuensi harapan pada dua kemungkinan yang akan dilakukan.

Vroom merupakan mentor yang menginspirasi penulis untuk menjahit cerita-cerita yang terekam melalui perjalanan lapangan sebagai jalan pengetahuan. Membaca berita di berbagai media hampir muka sama, yang berbeda cara memasaknya dengan tekniknya masing untuk konsumsi netizen di dapil masing-masing.

Masih dalam Vroom, orang bergerak secara alamiah dipengaruhi oleh dua putaran frekuensi yang menghasilkan pola emosi negatif dan emosi positif. Dua pola ini membentuk perilaku positif dan perilaku negatif.

Membuat muka sama dalam arti apa yang tampak hari ini, bukan hadir begitu saja dan disengaja oleh seseorang. Data tentang emosi negatif itu bergantung pada frekuensi pikiran seseorang karena motivasi tinggi membentuk harapan tinggi.

Moral hazard dan legal hazard muncul karena ada dorong niat dari dalam diri yang diputar frekuensi, tapi orang tidak hati-hati diskusi dengan bayi kecil di dalam yang disebut alam bawah sadar. Sekali lagi penulis tegaskan bahwa perilaku orang memiliki hubungan kuat dengan apa yang dimakan.

Orang diharuskan juga untuk memberi perhatian pada emosi positif, karena ada perilaku yang muncul sebagai insentif non finansial karena ada pertimbangan perut membuat orang tidak bicara jujur. Emosi positif ini tersirat dalam syair lagu “harimau berbulu domba”.

Perjalanan penulisan tentang muka sama, ini lebih pada kedalaman orang untuk turun lebih dalam untuk melihat orang-orang yang muka sama dalam menjahit cerita tentang moral Hazard itu 1112 alias sama tetapi pola mainnya berbeda dan selalu tampil religius dan cakap-cakap pake kutipan kitab suci.@arkam

MENUJU MODEL EKONOMI PAPUA YANG OTENTIK DAN MENGAKAR

arkam

Namun, di tengah semua kegagalan itu, ada peluang besar untuk membalik keadaan dengan syarat kita berani meninggalkan plagiarisme ekonomi dan mulai membangun model Papua yang benar-benar lahir dari identitas, ruang hidup, dan kearifan lokal.

Bagaimana caranya?

Pertama, pembangunan harus dimulai dari desa adat, bukan dari pusat pemerintahan. Ekonomi kampung pertanian sagu, perikanan tradisional, hutan adat, koperasi mama-mama adalah basis yang terbukti bertahan selama ribuan tahun. Jika desa kuat, Papua kuat.

Kedua, setiap proyek besar harus tunduk pada mekanisme Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Tanah adat tidak boleh diputuskan di ruang rapat, tetapi melalui dialog adat, musyawarah kampung, dan kesepakatan yang jujur.

Ketiga, tenaga kerja lokal harus menjadi tulang punggung, bukan pelengkap. Untuk itu, pendidikan vokasi, pelatihan teknis, dan program sertifikasi industri harus dibiayai langsung dari Otsus, agar kawasan seperti KEK Sorong tidak menjadi “pulau industri asing” di atas tanah Papua.

Keempat, nilai tambah harus tinggal di Papua. Industri pengolahan lokal, koperasi pengumpul hasil alam, hingga perusahaan berbasis kampung harus menjadi prioritas. Jangan lagi Papua hanya mengekspor bahan mentah dan mengimpor kemiskinan.

Kelima, lingkungan harus menjadi pusat pembangunan, bukan korban. Karena hutan, laut, dan sungai bukan hanya aset ekonomi mereka adalah bagian dari identitas dan spiritualitas Orang Papua.

Jika langkah-langkah ini dijalankan, maka pembangunan Papua akan berhenti menjadi tiruan, dan berubah menjadi sesuatu yang otentik sesuatu yang tumbuh dari tanahnya sendiri.@arkam

KOMBINASI KEK SORONG DAN OTSUS PART 4

arkam

Ketika plagiarisme ekonomi (model KEK yang disalin dari luar) bertemu dengan kelemahan tata kelola (Otsus), kita melihat paradoks paling mencolok dalam sejarah pembangunan Papua. Di atas kertas, PDRB naik. Jalan bertambah panjang. Gedung sekolah bertambah banyak. Investasi masuk. Namun, mengapa kehidupan ekonomi masyarakat adat tetap stagnan?

Jawabannya sederhana tetapi menyakitkan: karena model pembangunan ini tidak dibangun untuk mereka. Ia dibangun untuk memenuhi standar nasional, mengejar angka, dan mengakomodasi kepentingan modal besar. Dalam kerangka itu, masyarakat Papua tidak diposisikan sebagai subjek pembangunan, melainkan objek.

Model “copy–paste” tidak hanya gagal meningkatkan kesejahteraan ia melestarikan ketergantungan. Setiap kegagalan lalu diperbaiki dengan menambah anggaran, bukan mengubah desain. Setiap kegagalan baru justru melahirkan proyek baru, bukan mengakui kesalahan lama.

Kombinasi KEK yang tidak inklusif + Otsus yang tidak efektif menciptakan pembangunan yang berkilau di permukaan tetapi kosong di bagian terdalam.@arkam

ORANG PILIHAN

arkam

Orang pilihan yang telah reinkarnasi dari karma leluhur dengan membentuk DNA baru, dimana kemelekatan pikiran, tubuh serta jiwa belum juga ditemukan kemunculan mereka pada beberapa generasi pemimpin di zaman ini, untuk diberikan tugas menerbangkan masyarakat ke kota kebahagiaan.

Kejujuran masih menjadi barang langkah dan mahal sebab hampir sebagian besar generasi pemimpin daerah memiliki mental setipis tisu. Tipisnya mental ini dikarenakan telah terbiasa mengambil posisi dalam organisasi sebagai passenger atau penumpang membuat keputusan yang diambil lebih besar pada pertimbangan manfaat ekonominya bukan pada nilai solidaritas sebagai manusia yang sama dihadapan Tuhan.

Kemunculan generasi pilihan masih belum terlihat jelas karena kemelekatan terhadap karma leluhur dengan tingkat kesadaran masih berada dalam kelompok hewan dengan memiliki mental setipis tisu yang mudah terbakar ketika didekatkan pada sumber mata air.

Kesadaran yang rendah membuat semua orang yang dilihat adalah musuh yang harus dimusnahkan atau dimagza. Orang-orang dengan kesadaran rendah ini telah berperilaku sebagai pemimpin eksploitasi yang terus menggunting dalam lipatan untuk tetap bahagia diatas penderitaan orang lain.

Apakah penjarahan dan kekerasan adalah intensitas, tentu diberikan jawaban tidak, karena semua orang yang dilahirkan ke dunia ini bercerita tentang ketuhanan yang sama walaupun tempat ceritanya atau kendaraan yang ditumpangi berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan di terminal yang sama.@arkam

BIROKRASI RAPUH

arkam

Apakah kita harus diam dan melihat orang lain bersuara mewakili kita yang diam, tentu sembilan dari sepuluh orang punnya pendapat yang menjawab “lawan”. Kalau lawan bagaimana melawan, orang-orang yang telah menjadi parasit birokrasi dan telah mengakar begitu kuat dan memiliki kekuatan sumber daya yang mengakar cukup kuat.

Parasit birokrasi telah memakan korban besar, ribuan orang jatuh dalam kemiskinan. Ada rencana besar yang dimainkan orang pilihan kerja berbual menyebabkan setiap hari adalah tantangan, apakah aku harus ikhlas menerima sebagai takdir, tentu tidak, aku harus terus melangkah dengan kepala tegak sebab aku punnya matahari yang selalu terbit dan masih ada Tuhan yang menemani.

Bagaimana membersihkan parasit birokrasi, tentu membutuhkan waktu yang cukup lama, kenapa lama, fenomena ini sudah membentuk kebiasaan, dimana segala sesuatu diselesaikan dengan segala sesuatu juga.

Lagi pula, diantara sepuluh orang pasti ada satu atau dua orang yang benar-benar kerja cinta atau kerja memakai rasa. Orang dengan model ini adalah orang yang selalu memakai hati dalam membuat keputusan dan selalu menjaga perasaan teman kerja mereka. Tipe ini ibarat dua mata koin yang beda maknanya.

Pembersihan parasit birokrasi dilakukan melalui sistem rekrutmen yang transparansi dan profesional bukan pertimbangan manfaat ekonomi serta berlindung dibalik topeng afirmasi.

Tapi ada kail yang masih perlu dilihat yaitu orang dengan nilai kebutuhan yang tinggi pada membangun hubungan akan selalu menjadi faktor penghambat dalam organisasi karena mereka dalam mengambil keputusan selalu menjaga perasaan orang.

Proses penarikan berjalan dengan ada resisten dari beberapa orang itu adalah hal biasa, sebab dalam organisasi, kesehatan organisasi biasanya terlihat dari perbedaan pendapat itu menjelaskan organisasi itu sehat.

Bukan rahasia umum lagi, dimana setiap ada lelang jabatan selalu makan korban karena ada yang hanya menggantungkan harapan karena modal afirmasi sampai lupa mempersiapkan diri dengan baik. Orang-orang golongan ini yang memiliki mental setipis tisu dan mudah terbakar.

Aku tidak didik untuk melawan badai, tapi aku didik untuk rendah hati. Setiap hari mereka menghabiskan hidup untuk bergerak memutus racun keluarga. Mereka menciptakan generasi baru yang benar-benar bersih dari racun keluarga, mereka putuskan pendapat orang kebanyakan “orang tua petani” maka generasinya tetap petani.@arkam

PARASIT BIROKRASI

arkam

Perjalanan sebuah kajian penting dalam mengeksplorasi kompleksitas sistem pemerintahan dan birokrasi. Parasit birokrasi merujuk pada politik praktis yang menavigasikan efisiensi dan transparansi dalam birokrasi, seperti ketidak adilan, korupsi dan nepotisme.

Salah satu tantangan utama dalam menghadapi parasit birokrasi adalah korelasi utama kekuasaan dan penyalahgunaan. Birokrasi yang terinfeksi parasit menyebabkan ketimpangan dalam pelayanan publik, meningkatnya kerenggangan sosial serta merugikan kepercayaan masyarakat terdapat organisasi publik atau lembaga pemerintah.
 
Untuk mengatasi parasit birokrasi menjadi pekerjaan rumah besar karena telah menggurita serta sudah merupakan bagian dari gaya hidup. Namun ada langkah-langkah penting adalah memperkuat sistem pengawasan dan kontrol internal, mendorong transparansi dan akuntabilitas serta partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. Selain itu, pembenahan kualitas serta mentalitas birokrasi juga menjadi kunci.

Dalam menjaga kesehatan birokrasi dan mencegah parasit birokrasi, peran aktif dari pimpinan, pemerintah dan masyarakat sangatlah penting secara konsep, namun secara aplikatif dihadapkan pada gurita birokrasi yang telah mengakar kuat sampai pada organ-organ organisasi terkecil.

Kolaborasi antar semua pihak (penta helix) dalam pembentukan budaya kerja yang bersih, profesional dan berintegritas akan menjadi landasan kuat dalam menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien.

Diharapkan dengan pemahaman yang mendalam tentang parasit birokrasi kita semua dapat berperan aktif dalam memperbaiki sistem pemerintahan, demi terwujudnya penegakan keadilan, keterbukaan, dan pelayanan publik yang berkualitas.@arkam

PEMIMPIN BENAR SEMUA

arkam

Masyarakat butuh belajar dari kesalahan, namun kenyataan yang terjadi saat ini adalah pemerintah benar semua. Proses pembelajaran sama sekali tidak diberikan menyebabkan masyarakat memainkan peran seperti tukang pos yang hanya mengantarkan paket sesuai alamat, seperti halnya masyarakat yang disuruh habiskan anggaran.

Masyarakat tidak diberikan ruang oleh pemerintah untuk membuat kesalahan, sebagai bagian dari proses transformasi pengetahuan, menyebabkan pengetahuan masyarakat tersandera, pada pengambilan keputusan konsultan yang membuat masyarakat selalu resisten terhadap perubahan.

Penjarahan dan kekerasan muncul bukan lagi dalam mengadu gagasan akal sehat, tapi lebih disebabkan kepentingan yang sedang menjarah isi pikiran masyarakat, dengan provokasi pikiran melalui penggorengan issu sebagai titik masuk penjarahan.

Disamping itu, rendahnya kapasitas kepemimpinan dikarenakan tingkat kemajuan prematur, membuat daya analisis masalah rendah, membuat keputusan yang dibuat masih pada penyembuhan gejala, bukan menyembuhkan akar masalahnya.

Potret hari ini, ya hari ini, telah sedikit banyak menjelaskan generasi pemimpin daerah mengalami amnesia yang menyebabkan mereka gagal memanusiakan manusia yang lain. Di berbagai kesempatan mereka selalu bersuara keras tentang masyarakat kecil, tepi perjuangan itu mendarat dalam amplop.

Proses pemberdayaan yang dilakukan salah membuat penjarahan dan kekerasan telah berubah menjadi gaya hidup sebagian masyarakat karena terbatasnya akses ke sumber mata air membuat pilihan keputusan menguasai properti dilakukan dengan bentuk perampasan memakai cara-cara kurang sehat.@arkam

PEMIMPIN STUNTING

arkam

Mata rantai terkuat ditentukan oleh mata rantai terlemah, kuatnya masyarakat ditentukan kepemimpinan yang lemah, maka amnesia organisasi lebih besar disebabkan pemimpin tidak memahami secara baik makna pemimpin.

Secara konsep pemimpin, orang yang mampu mengiring orang mengikuti ucapannya, namun ada pendapat lain yang menjelaskan pemimpin orang yang mampu menerjemahkan visi dengan masalah.

Dalam perkembangan zaman yang telah mengantarkan orang berada dalam gerbon pemimpin 4.0 dan menuju pergantian gerbong pemimpin 5.0 yang sudah didepan mata. Membuat perubahan perilaku dan banyak makan korban dan perubahan perilaku orang terus bergerak mengikuti perubahan teknologi.

Disaman informasi ini orang telah tergantikan pengambilan keputusan mereka bergantung sepenuhnya pada keputusan Google Map serta keputusan-keputusan lainnya.

Kemampuan sudah tidak lagi dilihat genetika atau bawahan sejak lahir dan atau pelatihan-pelatihan kepemimpinan tetapi kemampuan telah ditentukan oleh berapa besar isi dompet seseorang.

Secara angka menjelaskan banyak pemimpin yang telah lahir, tetapi tidak semuanya terpanggil menjadi pemimpin, karena menjadi pemimpin itu bukan sekedar menjadi pemimpin tetapi harus dijawab kenapa menjadi pemimpin.

Konsep pencegahan pemimpin stunting adalah gagasan yang mengacu pada upaya yang dilakukan oleh seorang pemimpin untuk mencegah terjadinya stunting di dalam organisasi atau lingkungan kerja.

Pencegahan ini melibatkan langkah-langkah proaktif yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang sehat, mendukung dan produktif bagi seluruh orang yang memiliki kepentingan dengan organisasi.

Bagaimana pencegahan pemimpin stunting, pencegahan seperti memberikan pendidikan, pelatihan serta pentingnya kesejahteraan dan keseimbangan kerja serta menyediakan fasilitas dan kebijakan yang mendorong gaya hidup sehat.

Dengan demikian pencegahan pemimpin stunting menjadi kunci utama, menciptakan untuk menghadirkan lingkungan kerja produktif dan berkualitas.@arkam

RUMAH MAMA-MAMA PAPUA

arkam

Berangkat dari data, pengalaman, teori, membuat penulis melakukan perjalanan pengetahuan ekonomi melalui jalur masuk kabut peradaban menutupi pengetahuan ekonomi manusia Papua. Perjalanan pengetahuan manusia Papua tercatat abad 16-19 di wilayah pesisir pantai Papua Barat, melalui pintu pelabuhan laut di lobo enama (sebelum berubah jadi Kaimana).

Dimasa itu, diplomat-diplomat Papua melakukan tukar-menukar burung cendrawasih dan rempah-rempah. Sementara itu, pengetahuan lokal hanya mengenal konsep nilai barang dari aspek sosial atau biaya sosial dan kepercayaan tanpa catatan. Berangkat dari pengetahuan lokal, maka penulis menawarkan konsep “Rumah Mama-Mama Papua” bukan Pasar mama-mama Papua.

Rumah tempat menumbuhkan dan mengembangkan ekonomi berbasis nilai hidup, rumah tempat saling menjaga dan merawat hidup dan kehidupan, bukan sekedar jualan produk berbasis nilai hidup. Rumah tempat dimana pajak dan retribusi diambil secukup saja.

Rumah tempat dimana aktivitas ekonomi dilakukan sesuai tingkat pengetahuan manusia Papua sebelum ditutup kabut peradaban dengan pengetahuan kolonial dengan konsep administrasi terpusat dan masyarakat dipandang sebagai buruh serta disuruh bayar pajak.

Konsep administrasi kolonial masih terlihat dalam pembagian Papua sebanyak 7 (tujuh) wilayah kebudayaan, kecamatan diubah jadi distrik dan desa jadi kampung. Apa manfaat bagi hidup dan kehidupan manusia Papua, walaupun tidak dibagi manusia Papua tetap dipandang buruh.

Papua cuman ganti baju, sistem administrasi masih mengadopsi model kolonial, dimana semuanya diatur dari pusat dan manusia Papua hidup dalam ketidak pastian tata pemerintahan dan ekonomi. Disaat ini manusia Papua masih terus menjadi model pengembangan ekonomi berbasis kerangka ekonomi lokal agar manusia Papua berdiri diatas kaki sendiri.@arkam

MAPPI & SINAR HARAPAN

arkam

Di Bawah langit negeri sejuta rawa ada terkait sejuta harapan yang tersangkut dan mengakar. Manusianya terpencar-pencar pada zona ekologinya masing-masing dan dipersatukan sungai serta manusianya hidup dengan kemelekatan pada rawa dan semak belukar yang memerankan fungsi masing-masing seperti beberapa wilayah di Papua umumnya.

Hutan rawa memainkan peran dan fungsinya yang besar dalam mempengaruhi perilaku mereka, disamping itu hutan sebagai rumah doa dan sumber pangan mereka. Bergeser lebih dalam lagi dengan memulung serpihan-serpihan bincang-bincang lepas tentang surga tersembunyi yang dapat dinikmati oleh generasi-generasi mendatang.

Dibawah langit negeri sejuta rawa, aku terus mencari sepotong-sepotong cerita yang tercecer dan terkail pada beberapa bukit yang mewakili energi maskulin dan rawa yang mewakili energi feminim yang saling berpelukan dan memberi pesan tentang sepasang putra dan putri yang sedang memadu kasih.

Nasib manusianya tak sebahagia lukisan alamnya, mereka butuh penjelasan lain dari masalah hidup yang tidak mampu dijelaskan oleh generasi pemimpin daerah dan praktisi agar tidak menjadi cerita takhayul di tengah-tengah masyarakat. Mereka butuh penjelasan atas fenomena atau masalah mendasar yang membuat rapuh rasa cinta dan bangga tanah kelahirannya.

Mereka punya harapan kuat untuk melihat keadilan itu hadir sampai di piring diatas meja makan dan punya mimpi yang sama mendengar selamat pagi Indonesia pada saluran dan frekuensi gelombang radio dan TV yang sama seperti teman-teman lain yang nun jauh di seberang lautan.

Dalamnya rawa tak sedikitpun menenggelamkan harapan, mereka menaruh hidup dan kehidupan di hutan rawa sebagai ibu dan sungai sebagai ayah, dimana hutan dan sungai berpelukan erat dan memainkan fungsi sebagai rumah doa serta tabungan pangan. Sementara itu, mereka juga punya cerita yang sama tentang ketuhanan, tapi kenapa jendela kesempatan belum juga terbuka untuk mereka.

Apakah mereka sengaja dibiarkan membangun masa depan diatas tanah rawa yang berlumpur dan sewaktu-waktu terhantam oleh sentuhan manusia bermental eksploitasi yang melakukan penjarahan atas nama percepatan pembangunan.

Distribusi keadilan terkait pada kepentingan membuat masyarakat menghadapi masalah dalam memutar TV pada saluran merah putih dan mendengar pemerintah hadir melalui layanan dasar (pendidikan, kesehatan, ekonomi). @arkam

APA BENAR KAMU SETIA

arkam

Setia bekerja untuk tanah Papua bukan sekadar semboyan moral, tetapi sebuah sikap keberpihakan yang lahir dari kesadaran sejarah. Terlalu lama tanah ini menjadi panggung bagi proyek-proyek besar yang datang dari luar menguasai ruang, mengambil hasil, lalu pergi tanpa meninggalkan jejak keberlanjutan. Karena itu, kesetiaan hari ini menuntut lebih dari sekadar hadir; ia menuntut keberanian untuk memilih siapa yang sebenarnya kita layani.

Namun kesetiaan tidak lahir di ruang hampa. Ia tumbuh dari kemampuan melihat bahwa Papua bukan tanah kosong yang menunggu dibangun, melainkan rumah bagi pengetahuan lokal, adat, dan komunitas yang memiliki arah serta cara hidupnya sendiri. Ketika pekerja, pejabat, akademisi, atau aktivis hanya mengejar proyek luar, mereka tanpa sadar menggeser suara masyarakat asli ke pinggir meja keputusan. Pada titik ini, memilih bekerja untuk Papua berarti mengembalikan suara itu ke tempat yang semestinya: di pusat kebijakan.

Maka, siapa yang diuntungkan? Jika program dan kebijakan hanya menjadi daftar kegiatan yang dibiayai anggaran pusat tanpa mendengar aspirasi masyarakat, maka Papua hanya menjadi lokasi, bukan subjek pembangunan. Padahal, kehormatan seorang pekerja publik apapun jabatannya diukur dari keberanian menolak pendekatan yang hanya mengejar laporan, bukan perubahan nyata.

Di sinilah makna “setia” menemukan bentuk paling konkret. Setia berarti memikirkan dampak jangka panjang, bukan sekadar mengeksekusi proyek cepat yang memuaskan pihak luar. Setia berarti membangun kapasitas orang Papua, bukan hanya mengundang konsultan dari luar. Setia berarti menyalakan cahaya dari dalam, bukan menunggu lampu yang dibawa orang lain.

Dan akhirnya, Papua membutuhkan pekerja yang berakar, bukan sekadar singgah. Mereka yang mengerti bahwa tanah ini tidak butuh pendekatan karbitan, melainkan komitmen jangka panjang. Mereka yang berani memastikan bahwa setiap program, riset, renovasi, atau pembangunan harus memperkuat martabat masyarakat, bukan sekadar menambah portofolio proyek.

Karena pada akhirnya, bekerja untuk tanah Papua bukanlah slogan. Itu adalah pilihan etis. Itu adalah kompas moral dan itu adalah janji bahwa kita tidak akan menjadi bagian dari arus yang menjadikan Papua sekadar destinasi proyek, melainkan rumah yang kita rawat, bela, dan bangun bersama.@arkam

KAMU SOMBONG

arkam

Dalam teori perilaku organisasi ada 1 (satu) emosi dasar yang membentuk energi penderitaan. Pada penjelasan ini, penulis mengurat pada sejarah perjalanan manusia dalam perjalanan karir birokrasi maupun politik, di mana kamu sombong tidak dilihat sebagai sumber pendertitaan yang menyebabkan damai sulit ditemukan.

Maka, dalam perjalanan penulisan suara dari jalanan yang penulis ungkapkan melalui cakap-cakap dalam sebuah tulis agar kamu sadar dan pulang kedalaman diri kamu untuk mengaktifkan intuisi kamu untuk berbakti pada diri sendiri. Kata keramat “orang yang mengenal dirinya sendiri, berarti mengenal semesta yang esa”.

Untuk itu, kamu harus stop dan diam sejenak serta memahami bahwa semua manusia terkoneksi. Kilas balik perjalan penulisan perilaku kamu bukan sesuatu yang ketika kamu diberikan kuasa, di situlah emosi kesombongan hadir, seperti membuat cerita tentang perjalanan sukses kamu, membuat cerita-cerita membanggakan diri sendiri, ini sekecil informasi yang menjelaskan tentang kamu sombong.

Sementara, suara dari jalanan terlihat bahwa kamu sombong terlihat pada sorotan kamera para birokrat dan politisi yang ketika bercakap-cakap atau memberi hanya dilakukan ketika tertangkap lensa kamera biar kamu dibilang dermawan dan memberi harapan palsu bukan harapan nyata dan biarkan masyarakat renang sendiri di samudra kehidupan yang tanpa bertepi ini.

Disisi lain, kamu bohong, kamu harus mengerti bahwa pencu membantu orang lain cuman ada dalam filim Robin hut, kenyataan itu tidak demikian ceritanya. Sama hal dengan kepemimpinan dan delegasi yang diberikan cuman lima tahun kenapa kamu sombong.@arkam

MANSINAM, MANOKWARI: PINTU SPIRITUAL DAN KOLONIAL

arkam
 
Kedatangan Misi dan Perjumpaan Dua Dunia. Pada 5 Februari 1855, dua misionaris Protestan Jerman, Ottow dan Geissler, mendarat di Pulau Mansinam dengan dukungan Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG). Mereka datang membawa “terang Injil” ke tanah yang mereka anggap “belum beradab.” Namun, catatan lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Doreri dan Wandamen sudah lama mengenal pedagang dan kekuasaan luar, terutama Tidore. Mereka telah mengenal besi, kain, dan bahasa Melayu sebelum misionaris tiba (Mansoben, 1995).

Dengan demikian, kedatangan misi bukanlah pertemuan pertama, melainkan pertemuan kedua, dalam arti pertemuan antara dua sistem pengetahuan: pengetahuan lokal Papua yang berbasis kosmologi leluhur dan pengetahuan Barat yang berbasis rasionalitas dan agama Kristen.

Peradaban sebagai Proyek Kolonial. Dalam kerangka poskolonial, kedatangan misi di Mansinam dapat dibaca sebagai bagian dari proyek kolonial Belanda untuk “menjinakkan” Papua. Pendidikan dan agama dijadikan instrumen kontrol sosial dan moral. Namun, seperti yang dikatakan Bhabha (1994), proyek kolonial selalu mengandung ambivalensi: meski berusaha mendominasi, ia juga membuka ruang bagi pembentukan makna baru oleh pihak terjajah.
 
Di Mansinam, masyarakat Doreri tidak hanya menerima Injil, tetapi juga menafsirkan ulangnya melalui bahasa dan simbol lokal. Figur Manarmakeri dalam mitologi Biak, misalnya, kemudian diidentikkan dengan “pembawa terang” seperti Yesus. Ini menunjukkan terjadinya proses hibridisasi teologis: Injil di-Papua-kan melalui tafsir lokal. Maka, Mansinam bukan hanya tempat penerimaan pasif, melainkan juga ruang negosiasi makna dan spiritualitas.@arkam

ADA LIHAT TANDA HERAN

arkam

Tanda heran adalah momen ketika masyarakat berhenti, menoleh, dan berkata: Akhirnya, perubahan itu benar-benar terjadi. Di Papua, keajaiban bukan datang dari janji besar atau pidato panjang, melainkan dari hasil nyata ketika kampung yang dulu gelap kini terang, ketika anak-anak yang dulu berjalan jauh kini belajar di ruang kelas yang layak, dan ketika hak masyarakat tidak lagi diperas oleh struktur yang timpang. Hasil nyata inilah yang menjadi tanda bahwa kerja kita bukan omong kosong.

Namun tanda heran tidak hadir begitu saja. Transisi ini mengajak kita melihat bahwa keajaiban dalam pembangunan Papua bukanlah mukjizat, melainkan buah dari kerja yang jujur, konsisten, dan berpihak. Ketika program dijalankan bukan untuk laporan, tetapi untuk manusia, maka kesejahteraan bukan lagi impian jauh. Puskesmas yang berfungsi, pasar yang hidup, dan harga komoditas yang stabil adalah bentuk-bentuk hasil yang membuat masyarakat mulai percaya kembali.

Pertanyaannya kemudian: apa makna tanda heran dalam pendidikan? Maknanya sangat besar. Di banyak tempat, pendidikan di Papua hanya menjadi slogan yang tidak pernah menyentuh realitas kampung. Tetapi ketika seorang guru hadir tepat waktu, ketika buku-buku benar-benar sampai ke tangan siswa, ketika ruang kelas tidak lagi bocor, maka perubahan kecil itu menjadi tanda heran yang besar. Sebab pendidikan adalah fondasi yang mengangkat martabat anak Papua untuk bersuara, memilih, dan menentukan masa depannya sendiri.

Maka, pada dimensi yang lebih dalam: keadilan sosial. Tidak ada tanda heran yang lebih kuat daripada ketika masyarakat merasakan bahwa hukum berlaku untuk semua, tidak hanya untuk mereka yang berkuasa. Ketika pembagian bantuan tepat sasaran, ketika tanah adat dihormati, ketika aparat turun sebagai pelayan bukan penguasa maka rasa keadilan itu muncul sebagai perubahan paling menyentuh. Keadilan sosial bukan sekadar slogan; ia adalah pengalaman sehari-hari yang membuat masyarakat berkata, “Ini baru benar.”

Akhirnya, semua tanda heran itu bermuara pada satu hal: Bahwa Papua bisa berubah jika pembangunan berfokus pada manusia, bukan pada proyek. Ketika hasil nyata muncul, kepercayaan tumbuh. Ketika kesejahteraan terasa, harapan bangkit. Ketika pendidikan membaik, masa depan terbuka. Ketika keadilan ditegakkan, martabat sebuah bangsa kembali tegak.

Pada akhirnya, tanda heran bukanlah keajaiban tiba-tiba. Ia adalah tanda bahwa kerja keras dan integritas telah menang. Ia adalah bukti bahwa Papua tidak butuh janji Papua butuh hasil dan hasil yang nyata selalu meninggalkan jejak yang tak bisa dibantah: kesejahteraan, pendidikan, dan keadilan sosial untuk semua.@arkam

KINI BARU KU TAU CUMAN GANTI BAJU

arkam

Apakah dengan pembagian wilayah kebudayaan sebagai formula tepat untuk mempercepat tercapainya sila 5 (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia atau dengan merubah kecamatan dan desa menjadi kampung sebagai jalan alternatif lain. Walaupun dengan perubahan itu tidak memberikan makna apa-apa karena tidak berakar pada pengetahuan tradisional orang melanesia.

Proyek-proyek pemberdayaan ekonomi dan tata kelola pemerintahan lebih banyak menurunkan konsep dan model pendekatan luar dan lupa dengan pengetahuan lokal, seperti partisipasi, God governance, akuntabel, transparan, ini konsep-konsep luar yang masuk menutupi konsep-konsep lokal. Fenomena ini bisa dilihat dari berbagai kasus pendekatan pembangunan yang dipaksakan tanpa memperhatikan kemauan akar rumput.

Pemerintah seharusnya hadir sampai di jantung masyarakat melalui layanan publik yang memicu bergeraknya sektor-sektor ekonomi berbasis nilai hidup. Bukan pemerintah melakukan wisata masa lalu dan proyeksi masa depan dengan cara membagi manusia papua dalam wilayah kebudayaannya masing-masing tanpa memperhatikan konsep ekonomi apa yang tepat untuk menggerakkan ekonomi berbasis nilai hidup.

Praktek tahun ini, hampir dipastikan masih terjadi pengulangan-pengulangan cerita atau masih seperti dulu lagi. Program yang ditawarkan belum dipahami melalui kerangka lokal yang lahir dari identitas manusia Papua sebagai jalan ekonomi untuk menemukan sila (5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.@arkam

APA KAMU DENGAR-DENGARAN

arkam

Dengar-dengaran adalah fondasi pertama dari keadilan di Papua. Bukan sekadar mendengar kata-kata, tetapi memahami apa yang dikatakan tanah, hutan, sungai, dan masyarakat adat yang hidup menyatu dengan alam selama berabad-abad. Selama ini, terlalu banyak keputusan dibuat dari ruang ber-AC di kota, dan terlalu sedikit suara yang diambil dari dusun, dan hutan tempat identitas Papua dibentuk.

Namun mendengar tidak cukup. Catatan ini mengajak kita melihat bahwa mendengar secara pasif seringkali hanya menjadi formalitas dalam dokumen dan laporan proyek. Pemerintah, perusahaan, dan lembaga luar terlalu sering datang membawa agenda sendiri bertanya bukan untuk memahami, tetapi untuk memvalidasi keputusan yang sudah mereka buat. Di sinilah perbedaan antara sekadar mendengar dan benar-benar mendengarkan menemukan maknanya.

Pertanyaannya kemudian: siapa yang selama ini diredam? Jawabannya jelas masyarakat adat dan alam Papua sendiri. Suara mereka tenggelam dalam deru mesin alat berat, tenggelam di balik rapat-rapat yang tidak pernah mereka undang, tenggelam dalam proposal yang lebih sibuk mengejar anggaran daripada menyelamatkan hutan. Dengar-dengaran berarti mengangkat kembali suara yang selama ini tercekat oleh kebijakan dari luar.

Dan mendengarkan berarti memulihkan hubungan. Di sini transisi membawa kita ke inti spiritual dan ekologis. Masyarakat adat tidak melihat alam sebagai objek ekonomi, tetapi sebagai saudara tua. Hutan bukan aset; ia adalah ruang hidup. Sungai bukan sekadar air; ia adalah garis darah budaya. Ketika orang luar mengukur tanah dengan kalkulator, masyarakat adat mengukurnya dengan sejarah. Maka mendengarkan aspirasi mereka berarti mengembalikan rasa hormat pada tanah yang selama ini dianggap sebagai komoditas.

Akhirnya, kita tiba pada kesadaran paling penting: Dengar-dengaran adalah jalan bagi Papua untuk menentukan masa depannya sendiri. Tanpa mendengar aspirasi masyarakat adat, kebijakan hanya akan menjadi intervensi kosong. Tanpa mendengar jeritan alam yang rusak, pembangunan hanya akan mempercepat kehancuran. Karena itu, mendengarkan bukanlah kelemahan itu adalah tindakan politik paling kuat untuk memastikan bahwa Papua tetap menjadi tanah yang hidup, bukan tanah yang dieksploitasi.

Pada akhirnya, mendengar aspirasi masyarakat adat dan alam Papua adalah komitmen moral. Komitmen untuk menghormati sejarah. Komitmen untuk menyelamatkan lingkungan dan komitmen untuk memastikan bahwa Papua dibangun dari suara yang paling berhak berbicara bukan dari kepentingan yang paling besar.@arkam

PLAGIARISME EKONOMI KEK SORONG PART 3

arkam

Untuk melihat bagaimana plagiarisme ekonomi bekerja di dunia nyata, kita dapat menelusuri salah satu proyek paling ambisius di Papua Barat Sekarang Ganti Baju Papua Barat Daya: Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong.

KEK Sorong diciptakan dengan visi besar: menjadi pusat industri dan logistik terbesar di Indonesia Timur. Kawasan ini dirancang seluas lebih dari 520 hektare, dan digadang-gadang mampu menyerap ribuan tenaga kerja serta menarik investasi bernilai triliunan rupiah. Narasi keberhasilan dipinjam langsung dari Batam, Gresik, atau Cikarang kawasan industri yang dianggap simbol modernisasi.

Namun, ketika kita melihat implementasinya lebih dekat, berbagai masalah mulai terlihat. Transisi antara rencana dan realitas tidak berjalan mulus karena desainnya tidak mempertimbangkan dinamika lokal.

Pertama, akses tenaga kerja lokal ternyata sangat terbatas. KEK membutuhkan tenaga ahli, teknisi industri, operator mesin, dan manajer logistik kompetensi yang secara statistik belum banyak tersedia di Papua Barat. Akibatnya, tenaga ahli didatangkan dari luar, dan masyarakat lokal hanya masuk dalam kategori pekerjaan kasar yang bersifat jangka pendek.

Kedua, penguasaan lahan di sekitar KEK berpotensi menimbulkan konflik ulayat. Di beberapa titik, warga mempertanyakan prosedur ganti rugi dan transparansi keputusan. Tanah yang dalam adat adalah ruang hidup, sumber identitas, dan warisan generasi berubah menjadi komoditas industri tanpa dialog memadai.

Ketiga, risiko ekologis di kawasan pesisir Sorong mulai terasa, terutama terkait sedimentasi, polusi industri ringan, dan ancaman bagi mata pencaharian nelayan setempat. Tanpa mitigasi yang kuat, kawasan industri dapat menggerus basis ekonomi tradisional yang sudah menghidupi kampung-kampung pesisir selama ratusan tahun.

Dan keempat, meski KEK Sorong meningkatkan angka investasi, kontribusi langsungnya terhadap kesejahteraan masyarakat lokal masih minim. Inilah bentuk paling jelas dari plagiarisme ekonomi: mengambil model yang berhasil di Jawa dan Sumatra, tetapi mengabaikan perbedaan konteks yang sangat fundamental.@arkam

KOMBINASI KEK SORONG DAN OTSUS PART 4


arkam

Ketika plagiarisme ekonomi (model KEK yang disalin dari luar) bertemu dengan kelemahan tata kelola (Otsus), kita melihat paradoks paling mencolok dalam sejarah pembangunan Papua. Di atas kertas, PDRB naik. Jalan bertambah panjang. Gedung sekolah bertambah banyak. Investasi masuk. Namun, mengapa kehidupan ekonomi masyarakat adat tetap stagnan?

Jawabannya sederhana tetapi menyakitkan: karena model pembangunan ini tidak dibangun untuk mereka. Ia dibangun untuk memenuhi standar nasional, mengejar angka, dan mengakomodasi kepentingan modal besar. Dalam kerangka itu, masyarakat Papua tidak diposisikan sebagai subjek pembangunan, melainkan objek.

Model “copy–paste” tidak hanya gagal meningkatkan kesejahteraan ia melestarikan ketergantungan. Setiap kegagalan lalu diperbaiki dengan menambah anggaran, bukan mengubah desain. Setiap kegagalan baru justru melahirkan proyek baru, bukan mengakui kesalahan lama.

Kombinasi KEK yang tidak inklusif + Otsus yang tidak efektif menciptakan pembangunan yang berkilau di permukaan tetapi kosong di bagian terdalam.@arkam

Plagiarisme Ekonomi Papua Part 2

arkam

Untuk memahami akar persoalan, kita perlu melihat bagaimana model pembangunan dirancang. Banyak pejabat daerah Papua dididik dan bekerja dalam sistem birokrasi yang memuja angka: target PDRB, besaran investasi, panjang jalan baru, jumlah bangunan sekolah, atau seberapa besar dana pusat yang berhasil diserap.

Angka-angka itulah yang menjadi indikator keberhasilan. Lalu, ketika pemerintah pusat mendorong percepatan ekonomi lewat konsep seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), para pemimpin daerah merasa harus mengikuti agar dianggap “maju”, “pro investasi”, dan “visioner”.

Namun, ketika blueprint nasional disalin begitu saja ke konteks Papua, ia mengabaikan hal-hal paling mendasar: hak ulayat, struktur kampung, mobilitas penduduk, kapasitas SDM lokal, hingga hubungan ekologis yang begitu kuat dalam budaya Melanesia. Akibatnya, pembangunan yang tercipta bukan hanya tidak efektif ia justru menciptakan kerentanan baru.

Dampak itu muncul melalui beberapa mekanisme yang saling terkait. Pertama, kebocoran nilai (value leakage): sebagian besar keuntungan ekonomi dari proyek besar justru mengalir keluar daerah, dibawa oleh modal asing atau perusahaan dari luar Papua.

Kedua, pengingkaran hak ulayat, ketika lahan adat dialihkan demi proyek yang tidak pernah disepakati penuh oleh pemilik hak ulayat. Ketiga, elite capture, ketika segelintir elit lokal yang memiliki kedekatan politik justru mendapatkan lebih banyak manfaat daripada masyarakat biasa. Dan keempat, kerusakan ekologi, karena proyek besar sering mengabaikan daya dukung lingkungan.

Dari sinilah plagiarisme ekonomi mulai memperlihatkan wajahnya yang mengkhawatirkan: pembangunan berjalan, uang berputar, angka PDRB meningkat, tetapi kesejahteraan masyarakat adat Papua tetap datar atau bahkan menurun.@arkam

PLAGIARISME EKONOMI PAPUA PART 1

arkam

Dalam wacana pembangunan Papua selama lebih dari dua dekade terakhir, ada satu pola yang terus muncul berulang-ulang pola yang tampaknya modern dan menjanjikan, namun justru menyimpan ironi mendalam.

Pola itu adalah kecenderungan menggunakan model pembangunan dari luar Papua, menyalinnya begitu saja tanpa memahami konteks sosial, budaya, dan ekologis yang membentuk kehidupan masyarakat di Tanah Papua.

Fenomena inilah yang saya sebut sebagai plagiarisme ekonomi: sebuah praktik meniru model pembangunan yang dianggap “berhasil” di tempat lain, tetapi gagal karena tidak mengakar pada tanah dan manusia Papua.

Istilah “plagiarisme” mungkin jarang terdengar, tetapi ia menggambarkan kenyataan yang sering luput dari pembahasan formal. Para perencana pembangunan dan pemimpin daerah kerap membayangkan bahwa Papua akan maju bila mengikuti jejak Batam, Surabaya, Balikpapan, atau kawasan industri di Jawa Barat.

Namun, pengandaian itu tidak pernah sungguh-sungguh diuji. Padahal, masyarakat Papua hidup dalam ekologi yang berbeda, struktur sosial yang unik, dan sejarah politik yang panjang, penuh luka dan ketidakpercayaan. Menyalin sebuah model laksana menempelkan cetak biru kota industri ke hutan rimba, berharap ia tumbuh tanpa melihat akar yang ia injak.

Dan karena plagiarisme ekonomi itu dilakukan secara rutin sadar atau tidak ia membentuk pola pembangunan yang retak di permukaan namun rapuh di pondasi. Di sinilah persoalan dimulai, dan dampaknya mengalir hingga jauh ke dalam kehidupan masyarakat adat.@arkam

EKONOMI YANG TAK PERNAH LAHIR DI TANAH PAPUA

arkam

Di tanah yang dilukis matahari pagi dengan warna emas, di mana sungai-sungai mengalir seperti urat nadi bumi, Papua selalu menyimpan janin masa depan yang tak pernah benar-benar diberi kesempatan lahir. Di lereng-lereng yang dipagari kabut, di padang rumput yang menanti langkah, di kampung-kampung yang dengannya angin bercerita, ekonomi adalah bayi yang dikandung waktu, namun tak pernah disambut dengan pelepah sagu dan tarian bahagia. Ia tumbuh sebagai kemungkinan yang patah, sebagai harapan yang dirawat dalam diam, sebagai masa depan yang diselipkan di bawah tikar pandan, menunggu tangan sejarah yang tak pernah datang.

Orang Papua berjalan menyusuri jejak leluhur dengan tombak, dengan manik-manik, dengan lagu yang mengiringi bebatuan. Mereka tidak miskin; mereka cukup. Mereka tidak kaya; mereka penuh. Mereka hidup dengan logika kelimpahan yang ditulis oleh alam sendiri. Gunung memberi garam dari batu, hutan memberi daging dari rusa, sungai memberi rumah bagi ikan dan cerita. Namun suatu hari, sebuah dunia baru datang dari laut: dunia yang bicara tentang angka, uang, pasar, dan kemajuan bahasa yang tidak pernah diajarkan oleh bintang-bintang di atas kepala.

Ketika kolonial datang, mereka melihat tanah Papua bukan sebagai tambang emas atau kebun cengkeh, bukan pula sebagai ladang kopi yang menunggu dipetik. Mereka hanya melihat sebuah ruang sunyi yang terlalu jauh untuk dijadikan pusat ambisi, terlalu asing untuk dijadikan mesin kekayaan. Tanah Papua bukan lahan yang digarap ia disisakan. bukan untuk dijaga, tapi untuk dibiarkan. Sebuah pulau yang ditandai di peta kekuasaan, namun tidak pernah digenggam oleh keseriusan pembangunan.

Lalu gereja datang sebagai cahaya pertama dengan Firman, bukan dengan alat tani; dengan buku, bukan dengan cangkul; dengan doa, bukan dengan pabrik. Gereja mengajarkan damai, tapi tidak membangun pasar. Gereja mengajarkan cinta, tapi tidak membangun sarang perdagangan. Di sekolah-sekolah misi, anak-anak Papua belajar membaca kitab langit, tetapi tidak belajar menggambar peta ekonomi bumi. Mereka menjadi guru, bukan petani besar; mereka menjadi penginjil, bukan pengusaha; mereka menjadi penjaga moral, bukan penggerak pasar. Dan di balik semua itu, kolonial mengangguk, puas, karena ketertiban telah hadir tanpa perlu keringat investasi.

Di antara derik jangkrik malam, ekonomi Papua menjadi cerita yang tidak pernah selesai ditulis. Ia seperti benih yang jatuh di tanah tetapi tidak pernah disiram; seperti perahu yang dibangun tanpa layar; seperti rumah yang tiangnya ditanam namun dindingnya tak kunjung dibangun. Ekonomi Papua adalah harmoni yang dipetik tanpa melodi.

Ketika Indonesia masuk membawa bendera baru, tanah Papua sudah berdiri seperti seorang anak yang dibesarkan tanpa ayah ekonomi. Tidak ada pasar yang matang, tidak ada jaringan dagang, tidak ada kelas wirausaha yang tumbuh dari kampung. Tidak ada pondasi, tidak ada rangka, tidak ada warisan keterampilan untuk membangun masa depan. Pembangunan datang seperti hujan badai yang mengguyur ladang yang belum diolah. Jalan dibangun sebelum orang mengenal roda perdagangan. Kantor didirikan sebelum masyarakat memahami logika industri. Gedung-gedung tinggi muncul seperti pohon asing yang tumbuh tanpa akar.

Ekonomi Papua menjadi anak yang dibanjiri hadiah, tetapi tidak pernah diajari cara menggunakannya.

Pendatang datang membawa kapal, membawa logistik, membawa ilmu pasar yang tidak pernah diajarkan di sekolah misi. Di pasar-pasar Timika, Wamena, Nabire, Serui, Sorong, dan Merauke, orang Papua berdiri di pinggir, melihat dunia ekonomi berputar seperti roda yang tidak mengajak mereka naik. Mereka menjadi penonton dalam perhelatan yang berlangsung di halaman rumah mereka sendiri.

Sementara itu, hutan tetap bernapas, gunung tetap tegak, dan sungai tetap mengalir menyimpan kesedihan yang tidak pernah diucapkan. Alam Papua, yang begitu kaya, berdiri sebagai saksi bahwa kekayaan tidak selalu melahirkan kesejahteraan. Kekayaan tanpa pendidikan ekonomi hanyalah emas yang terkubur.

Dan kini, di abad modern ini, anak Papua yang duduk di bangku sekolah sering bertanya:

"Di mana ekonomi kami? Mengapa ia tidak tumbuh bersama langkah kami?"

Jawabannya tersembunyi dalam sejarah panjang pengabaian.

Ekonomi Papua tidak pernah mati karena ia tidak pernah lahir.

Ia adalah ide yang digantung di udara, selama bertahun-tahun dibiarkan mengambang tanpa tubuh, tanpa tangan, tanpa kaki untuk berjalan.

Namun, di balik getir itu, ada satu hal yang tetap hidup: daya imajinasi. Orang Papua mulai belajar menyusuri kembali akar mereka bertanya pada leluhur, pada sungai, pada tanah. Mereka mulai melihat bahwa ekonomi tidak harus lahir dari pabrik besar; ia dapat tumbuh dari kebun sagu, dari laut yang luas, dari petuanan adat, dari kreativitas muda-mudi, dari tangan-tangan yang menenun tas noken yang kini dibawa ke kota-kota besar dunia.

Ekonomi Papua memang terlambat lahir, tetapi kelahirannya bukan mustahil. Ia hanyalah bayi yang menunggu bidan yang tepat: pendidikan yang memberdayakan, kebijakan yang adil, dan keberanian untuk membangun dari akar sendiri.

Pada akhirnya, tanah Papua berbisik melalui hutan dan anginnya:

"Kami bukan tanah yang miskin. Kami hanya tanah yang terlalu lama ditinggalkan."

Dan di balik bisikan itu, tersimpan harapan bahwa suatu hari, ekonomi Papua tidak lagi menjadi cerita yang tak pernah dimulai, tetapi menjadi lagu yang dinyanyikan bersama: lagu tentang kelahiran yang akhirnya tiba, tentang masa depan yang akhirnya menemukan jalannya.@arkam

JALAN PULANG MENUJU JIWA YANG UTUH

arkam

Dalam perjalanan hidup yang semakin riuh, manusia modern sering kehilangan ruang untuk mendengar suara batinnya sendiri. Kita hidup dalam dunia yang terus bergerak didorong oleh tuntutan sosial, keinginan untuk diakui, dan tekanan untuk terlihat kuat. Kita begitu sibuk membangun citra di luar, hingga lupa bahwa rumah paling pertama dan paling akhir yang harus kita rawat adalah rumah yang ada di dalam diri.

Di banyak ruang sosial, manusia sering mengira bahwa kebahagiaan harus dicapai melalui validasi orang lain. “Apakah saya terlihat baik?”, “Apakah mereka menyukai saya?”, “Apakah mereka membenarkan pilihan saya?” pertanyaan yang seolah wajar, tetapi perlahan menciptakan jarak antara kita dan jiwa kita sendiri. Kita mengejar pengakuan dari luar, padahal pengakuan dari dalam-lah yang justru membangun fondasi kesehatan mental.

Dalam perspektif psikologi sosial, manusia memang tidak bisa dipisahkan dari lingkungan. Kita dibentuk oleh norma, pengaruh kelompok, dan ekspektasi masyarakat. Namun masalah muncul ketika suara luar menjadi lebih keras daripada suara hati. Ketika standar sosial menggantikan standar diri. Ketika kepuasan orang lain dijadikan kompas hidup, sementara kebutuhan diri sendiri dilupakan.

Di sinilah akar luka-luka psikologis banyak orang tumbuh: ketika sensasi dalam diri gelisah, sedih, marah, kosong tidak dilihat sebagai pesan cinta, tetapi dianggap sebagai gangguan yang harus dibungkam.

Daripada mendengar apa yang sebenarnya ingin disampaikan jiwa, kita menutupnya dengan aktivitas berlebihan, pembuktian diri, bahkan terkadang obat penenang. Tubuh dan jiwa seolah tidak pernah diberi ruang untuk bercerita.

Padahal, dalam setiap rasa tidak nyaman ada sebuah ajakan lembut: "Lihat aku. Dengar aku. Aku ingin menuntunmu pulang.”

Kerap kali kita lupa bahwa diri sendiri adalah guru terbaik. Kita hanya butuh keberanian untuk duduk diam bersama rasa yang muncul. Tidak semua rasa harus diselesaikan, sebagian hanya perlu diterima. Tidak semua luka harus disembuhkan hari itu juga, sebagian hanya ingin didengarkan.

Dalam perjalanan “pondok pelunasan utang”, ada metafora penting: bahwa hutang terbesar manusia bukanlah utang materi, melainkan utang pada diri sendiri utang untuk mengenal, menerima, dan memeluk diri apa adanya.

Kelas kebahagiaan bukanlah kelas yang mengajarkan cara menjadi bahagia, tetapi kelas yang mengajarkan cara mengizinkan diri untuk merasa cukup. Bahwa manusia sudah lengkap bahkan sebelum mendapat pengakuan dari dunia luar.

Psikologi sosial mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk relasional, tetapi healing mengingatkan bahwa relasi pertama adalah relasi dengan jiwa. Ketika hubungan dengan diri sendiri pulih, hubungan dengan orang lain pun menjadi lebih sehat. Kita tidak lagi meminta dunia untuk mengisi kekosongan kita, karena kita telah kembali kepada pusat diri.

Dan ketika kita mulai mengakui diri sendiri, kita akan menyadari bahwa kebahagiaan tidak pernah terletak pada materi, pencapaian, atau validasi orang lain. Kebahagiaan adalah keadaan ketika kita berhenti melawan diri sendiri. Pada titik inilah jiwa menemukan rumahnya.@arkam

Sunday, November 23, 2025

RUMAH DALAM DIRI

arkam

Menulis bukan sekadar merangkai huruf, bukan pula kegiatan mengisi lembar kosong demi sebuah cerita. Menulis adalah jalan pulang, sebuah lorong hening tempat manusia kembali merawat pikirannya, tubuhnya, dan seluruh denyut jiwanya yang kadang tak terdengar dalam hiruk-pikuk dunia. Setiap kata yang dituliskan adalah napas kecil dari batin yang ingin didengarkan; ia tumbuh, bergetar, lalu menjalar ke dalam kesadaran yang paling sunyi.

Bagi banyak orang, pikiran adalah ruang yang penuh asap kadang sesak, kadang tak teratur. Namun ketika seseorang mulai menulis, asap itu perlahan turun menjadi embun. Kata demi kata membentuk jendela; lewat jendela itu, jiwa yang lelah mulai bisa melihat dirinya sendiri. Menulis, dengan segala kesederhanaannya, menjadi cara merawat diri tanpa gaduh. Ia lembut, namun punya kekuatan menyelamatkan.

Dalam proses menulis, manusia seakan berbicara dengan bayi kecil dalam dirinya bayi yang disebut alam bawah sadar. Bayi itu menyimpan luka yang belum selesai, mimpi yang ditinggal begitu saja, dan pesan-pesan yang pernah dibisikkan oleh hidup tetapi tak sempat dipahami ketika tubuh sedang sibuk berlari. Ketika pena menyentuh kertas, bayi kecil itu ikut membuka matanya. Ia mulai menunjuk bagian-bagian dari diri yang selama ini terabaikan. Ia mengajak kita duduk perlahan, tanpa memaksa untuk mendengar apa yang paling jujur dari dalam diri.

Menulis membuka jalan menuju kesadaran. Kita belajar mendengarkan motif-motif kecil di balik setiap pikiran, memahami gerak rasa sebelum berubah menjadi emosi besar. Kata-kata yang menetes di atas kertas adalah jejak perjalanan menuju diri sejati, diri yang tidak dirusak oleh harapan-harapan orang lain, diri yang berdiri telanjang tanpa harus membuktikan apapun kepada dunia. Di sinilah menulis berubah menjadi ritual pulang: kembali ke rumah yang telah lama berada di dalam diri sendiri.

Tradisi kuno selalu berkata bahwa siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal semesta. Mungkin sebab semesta itu tidak jauh, tidak juga rumit; ia bersemayam di balik lapisan pikiran dan batin. Ketika seseorang menulis, ia sedang menguliti satu per satu lapisan itu. Ia menyapa keping memori, menghadapi bayang-bayang masa lalu, dan merengkuh harapan yang nyaris padam. Menulis adalah tindakan kecil yang perlahan menyatukan pikiran, tubuh, dan jiwa. Ketiga hal itu, yang sering terpisah karena kecemasan hari-hari, akhirnya menemukan harmoni.

Pada akhirnya, menulis adalah perjalanan pulang perjalanan yang tidak dilakukan oleh kaki, tetapi oleh keberanian untuk melihat ke dalam. Setiap paragraf adalah langkah menuju kewarasan; setiap halaman adalah jembatan menuju ketenangan; dan setiap jeda antara dua kalimat adalah ruang untuk bernapas. Dalam dunia yang cepat menua oleh kebisingan, menulis menjadi obat yang paling manusiawi: merawat diri dengan kejujuran.

Dan di titik inilah kita mengerti: menulis bukan hanya kegiatan. Menulis adalah cara hidup cara untuk menjaga agar jiwa tidak hilang di tengah segala yang bergerak. Ia adalah rumah yang selalu menunggu kita kembali, setiap kali dunia terasa terlalu bising untuk ditanggung sendirian.@arkam

VISI EKONOMI PAPUA

arkam

Perjalanan memahami ekonomi Papua selalu dimulai dari sebuah ruang yang sunyi: ruang antara harapan dan ketidaktahuan. Di sanalah komunikasi publik menjadi satu-satunya jalan untuk merawat kewarasan kolektif. Ketika ruang negara sunyi, dan ruang akademik kadang tertutup, maka suara-suara jalanan justru menjadi laboratorium intelektual pertama bagi orang Papua. Dari pasar, dermaga, jalan raya, hingga lobi kantor-kantor pemerintah, orang Papua bertanya satu hal yang sama: apa sebenarnya visi ekonomi Papua?

Pertanyaan ini bukan baru muncul hari ini. Ia lahir dari gelombang sejarah yang berulang kali memukul pesisir Papua, menyapu jejak-jejak naskah pengetahuan lokal yang mungkin pernah ada, tetapi terkubur bersama masuknya peradaban dari luar. Pengetahuan ekonomi dalam pengertian sebagai sistem pengelolaan sumber-sumber kehidupan barangkali pernah hidup dalam ritus, simbol, dan praktik keseharian leluhur Papua. Namun arus kolonialisme datang seperti ombak besar yang menenggelamkan naskah-naskah itu sebelum sempat ditulis.

Ironisnya, bekas-bekas kolonial justru lebih mudah ditemukan ketimbang jejak pemikiran ekonomi orang Papua sendiri. Catatan Portugis, Belanda, dan ekspedisi ilmiah Barat terdokumentasi rapi, sementara khazanah ekonomi lokal hanya tersisa dalam cerita lisan yang tidak pernah teradministrasi dalam bahasa ekonomi modern. Akibatnya, sejarah memandang Papua seolah-olah “tanah kosong” wilayah yang jauh dari pertimbangan ekonomi Nusantara dan dunia pada masa itu. Dan dari sinilah asumsi keliru mulai bekerja: bahwa orang Papua belum memiliki konsep ekonomi sebelum kolonial datang.

Padahal, keterlambatan ekonomi Papua bukanlah soal ketidakmampuan, melainkan soal pencatatan sejarah yang timpang.

Lihat saja bagaimana kawasan Nusantara lain seperti Jawa, Sumatra, dan Sulawesi memasuki modernisasi ekonomi melalui perkebunan-perkebunan kolonial skala besar. Ketika kapitalisme perkebunan membuka akses bagi tenaga kerja, administrasi, transportasi, dan pasar, seluruh jejaring ekonomi lokal secara perlahan terserap dalam arus modernitas. Namun Papua berada di luar jaringan itu bukan karena tidak mampu, tetapi karena dianggap terlalu jauh, terlalu liar, dan terlalu tidak menguntungkan dalam kalkulasi kolonial.

Peta perjalanan Portugis di abad ke-16 hingga ke-20 menguatkan kenyataan itu. Pelabuhan pertama yang mereka buka di Kampung Lobo yang dinamai dari kata “lobo” atau serigala dalam bahasa Portugis menjadi saksi awal kontak ekonomi yang tidak pernah berkembang. Mereka datang, memberi nama, tetapi tidak memberi fondasi ekonomi apa pun. Setelah itu gereja masuk, dan fokusnya bukan pada ekonomi bumi, tetapi pada ekonomi langit. Misi Kristen dan Katolik perlahan-lahan mengubah wajah pendidikan Papua, tetapi pendidikan itu lebih diarahkan pada pembentukan guru, penerjemah Alkitab, dan pegawai administrasi gereja. Pengetahuan ekonomi modern tidak menjadi prioritas; gereja mengajarkan moralitas dan keselamatan, tetapi tidak mengajarkan pengelolaan tanah, pasar, perdagangan, nilai tambah, atau strategi pembangunan.

Di sinilah akar persoalan mulai tampak: Papua memasuki era modern tanpa mewarisi tradisi ekonomi tertulis, dan tanpa mendapatkan transfer pengetahuan ekonomi ketika kolonialisme dan misi agama hadir. Akibatnya, ketika Papua berhadapan dengan dunia modern, ia tidak memiliki “peta ekonomi” yang jelas.

Masalah ini diperparah oleh apa yang dapat disebut sebagai amnesia kepemimpinan. Para pemimpin dari masa ke masa seringkali gagal membuat diagnosis yang tepat tentang akar masalah ekonomi Papua. Kebijakan diambil tanpa kerangka ide yang kokoh. Program dibuat tanpa visi jangka panjang. Suplemen ekonomi diberikan tanpa memahami penyakit utamanya. Padahal ekonomi bukan sekadar angka dan anggaran ia adalah arah perjalanan sebuah bangsa.

Papua adalah kapal besar. Kaya sumber daya, berlimpah potensi, dan memiliki energi budaya yang luar biasa. Namun tanpa visi ekonomi, kapal itu terapung-apung, bergerak tetapi tidak pernah tiba pada tujuan. Setiap pergantian rezim ibarat kemudi yang berpindah tangan, tetapi tanpa peta, tanpa koordinat, tanpa kompas yang disepakati bersama. Pertanyaan mendasar tetap belum terjawab: ekonomi Papua ingin diarahkan ke mana? Apakah berbasis sumber daya alam? Ekonomi hijau? Ekonomi adat? Industri berbasis pengetahuan? Atau ekonomi budaya?

Hari ini, para pemikir ekonomi Papua dihadapkan pada tugas besar: membangun kembali fondasi konseptual yang hilang berabad-abad. Menyelami kembali naskah-naskah yang hilang itu, bukan untuk romantisme masa lalu, tetapi untuk membangun masa depan yang lebih jelas. Visi ekonomi Papua tidak boleh lagi lahir dari amnesia atau sekadar meniru model pembangunan luar. Ia harus lahir dari pergulatan pengetahuan, sejarah, budaya, spiritualitas, dan realitas sosial Papua sendiri.

Papua membutuhkan visi ekonomi yang benar-benar lahir dari Papua.

Tugas ini tidak mudah. Tetapi sejarah selalu memberi ruang bagi mereka yang berani membuka kembali naskah yang hilang, menuliskannya ulang, dan menjadikannya kompas bagi generasi mendatang. Bila generasi hari ini mampu membaca ulang masa lalu, mengkritisinya dengan jujur, dan membangun imajinasi ekonomi yang baru, maka untuk pertama kalinya dalam ratusan tahun, Papua akan memiliki visi ekonomi yang bukan hanya hidup tetapi juga berakar.

Papua tidak kekurangan sumber daya. Yang kurang hanyalah visi. Dan visi itu hanya bisa lahir ketika Papua berani melihat dirinya sendiri secara utuh.@arkam

PLAGIARISME OTONOMI KHUSUS PAPUA

arkam

Implementasi Otonomi Khusus (Otsus) kebijakan yang pada awalnya membawa harapan besar bagi semua orang Papua.

Ketika Otsus diberlakukan pada tahun 2001, banyak orang berpikir bahwa inilah jalan menuju kemandirian. Dengan dana yang besar yang mencapai triliunan rupiah per tahun Papua diharapkan mampu memperbaiki pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pelayanan publik. Secara teori, fleksibilitas fiskal dari Otsus memungkinkan daerah merancang pembangunan sesuai kebutuhan lokal.

Namun, setelah dua dekade, hasilnya sangat campuran. Beberapa kabupaten menunjukkan kemajuan, tetapi banyak wilayah lain masih berada dalam lingkaran kemiskinan dan minim layanan dasar. Kenapa ini terjadi?

Pertama, kapasitas birokrasi lokal belum memadai. Dana besar tanpa keahlian perencanaan dan pengawasan membuat program sering tidak tepat sasaran. Banyak proyek infrastruktur dibangun tanpa perawatan, banyak pelatihan dilakukan tanpa evaluasi hasil, dan banyak program sosial tidak sinkron dengan kebutuhan lapangan.

Kedua, akuntabilitas dan transparansi lemah. Dana yang seharusnya mendorong kemakmuran kerap terjebak dalam jaringan patronase, birokrasi yang berlapis-lapis, dan kebijakan yang tidak terkoordinasi. Pada titik ini, Otsus tidak lagi menjadi alat pemerataan, tetapi menjadi alat politisasi.

Ketiga, Otsus berfokus pada angka, bukan transformasi sosial. Banyak anggaran habis untuk hal-hal yang bersifat administratif atau fisik bukan pemberdayaan yang berkelanjutan seperti pendidikan vokasi, penguatan koperasi adat, dan pembangunan ekonomi kampung.

Dan keempat, Otsus tidak berjalan beriringan dengan perlindungan hak ulayat. Bahkan di beberapa wilayah, dana Otsus lebih digunakan untuk membuka akses bagi proyek-proyek yang justru mengancam ruang hidup masyarakat adat.

Dengan kata lain, Otsus gagal karena ia tidak diintegrasikan dengan visi pembangunan yang benar-benar berasal dari masyarakat Papua. Ia lebih mirip “tambahan bensin” untuk mesin yang rusak desainnya.@arkam

RENT-SEEKING PAPUA

arkam

Rent-seeking di Papua bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi sebuah pola relasi kekuasaan yang terbentuk selama puluhan tahun. Konsep ini menjelaskan bagaimana aktor politik dan birokrasi memperoleh keuntungan tanpa menciptakan nilai tambah bagi rakyat Papua. Dari sini, kita melihat titik awal bagaimana struktur pemerintahan dan pembangunan menjadi rapuh, karena energi negara tidak tertuju pada pelayanan publik, tetapi pada perebutan rente yang berasal dari anggaran negara, sumber daya alam, dan proyek-proyek strategis.

Fenomena ini muncul dari sejarah panjang ketimpangan pembangunan yang diwariskan sejak masa kolonial hingga integrasi Papua ke dalam Indonesia. Ketika Orde Baru memperkenalkan model pembangunan sentralistik, Papua dijadikan daerah ekstraksi ekonomi khususnya tambang, kayu, dan perkebunan. Pola tersebut menciptakan budaya birokrasi yang melihat anggaran pemerintah sebagai ladang keuntungan, bukan amanah untuk melayani warga. Dari pola inilah rent-seeking menemukan tanah suburnya.

Memasuki era Otonomi Khusus, rent-seeking bukan melemah, justru menemukan bentuk baru. Anggaran besar yang digelontorkan pusat yang semestinya menjadi alat koreksi ketertinggalan berubah menjadi komoditas politik. Para elite lokal bersaing menjadi “penjaga gerbang” anggaran Otsus. Transisi dari era pusat menuju era lokal tidak diiringi transformasi nilai-nilai kepemimpinan, sehingga kekuasaan hanya berpindah tangan tanpa perubahan paradigma.

Dinamika ini semakin diperparah oleh lemahnya kapasitas kelembagaan di tingkat provinsi, kabupaten, dan distrik. Ketika institusi pengawasan tidak kuat, rent-seeking mudah beroperasi dalam ruang gelap birokrasi: mulai dari markup proyek pembangunan jalan, manipulasi data penduduk miskin, hingga penunjukan kontraktor tanpa mekanisme transparan. Setiap celah administratif menjadi peluang keuntungan pribadi bagi aktor-aktor tertentu yang memiliki akses pada kekuasaan.

Namun rent-seeking di Papua tidak hanya terjadi di lembaga pemerintahan; ia juga merasuki hubungan antara elit lokal dan kapital besar dari luar Papua. Banyak perusahaan tambang, hutan, dan perkebunan melakukan kolaborasi tersembunyi dengan oknum pejabat, yang kemudian memicu marginalisasi orang asli Papua dari tanah adat dan sumber ekonomi mereka. Transisi ini memperjelas bahwa rent-seeking tidak hanya menciptakan kerugian fiskal, tetapi juga memperdalam ketidakadilan struktural.

Konsekuensi sosialnya sangat terasa. Ketika anggaran publik tersedot ke dalam praktik rent-seeking, ruang untuk pelayanan dasar semakin menyempit. Pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tidak berkembang secepat aliran dana yang masuk setiap tahun. Masyarakat Papua melihat sekolah roboh, puskesmas tanpa obat, dan jalan yang rusak, sementara laporan keuangan mencatat proyek-proyek tersebut sebagai “selesai dan berhasil.” Realitas seperti ini membuat masyarakat semakin kehilangan kepercayaan pada pemerintah.

Krisis kepercayaan ini menciptakan lingkaran setan baru: masyarakat yang apatis, elit yang makin leluasa, dan lembaga yang semakin lemah. Ketika partisipasi publik rendah, tidak ada tekanan yang memaksa pemerintah untuk memperbaiki tata kelola. Akibatnya, pola rent-seeking terus berulang dari satu periode pemerintahan ke periode berikutnya. Di sinilah kita melihat bagaimana korupsi tidak lagi berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari sistem politik yang sudah terlanjur terbentuk.

Di sisi lain, perubahan politik nasional dan pemekaran wilayah di Papua seringkali dijual sebagai solusi, tetapi kenyataannya justru membuka ruang baru bagi rent-seeking. Pembentukan daerah baru berarti anggaran baru, jabatan baru, dan proyek baru yang semuanya bisa menjadi insentif bagi elite untuk mempertahankan dominasi. Tanpa reformasi tata kelola, pemekaran hanya memperbanyak “kantong rente” yang tersebar di berbagai kabupaten dan provinsi baru.

Meski demikian, bukan berarti Papua tidak memiliki harapan. Banyak komunitas adat, gereja, akademisi, dan pemimpin muda yang mulai mendorong transparansi dan model pembangunan yang berakar pada nilai leluhur Papua: kejujuran, musyawarah, dan tanggung jawab komunal. Gerakan-gerakan lokal inilah yang mulai menawarkan alternatif terhadap pola rent-seeking. Dengan basis nilai lokal, mereka mencoba membangun kembali legitimasi sosial yang selama ini hilang.

Pada akhirnya, membatasi rent-seeking bukan hanya soal memperkuat lembaga, tetapi juga melakukan transformasi dalam budaya kepemimpinan. Papua membutuhkan pemimpin yang tidak hanya menempati jabatan, tetapi memposisikan diri sebagai penjaga masa depan rakyat. Ketika nilai-nilai leluhur dipadukan dengan sistem modern yang transparan, Papua memiliki peluang untuk melahirkan tata kelola baru yang bebas dari rente. Maka, masa depan Papua tidak akan ditentukan oleh besarnya anggaran, tetapi oleh keberanian moral untuk memutus rantai rent-seeking.@arkam

SUARA DARI JALAN MERAUKE

arkam

Suara dari jalan Merauke, perjalanan penulisan ekonomi jalanan sebagai bagian komunikasi publik sebagai cara merawat kewarasan, untuk memahami apa makna dibalik masalah yang mereka hadapi. Mereka dihadirkan semesta untuk mendiami tanah selatan bukan menderita, kalau mereka tau lahir menderita, maka mereka pasti menolak untuk lahir sebagai orang asli Merauke.

Dimana, ada pembiaran pada aspek jaga kelaparan, jaga kebodohan didesain sistematis agar mereka tetap menggantungkan hidup dan kehidupan di kail bantuan pemerintah sebagai pendapatannya utama. Hari ini, ya hari ini, mereka butuh penjelasan dibalik masalah yang mereka hadapi. Kenapa mereka butuh penjelasan, karena elit lokal dari jalan birokrasi dan politik tidak punya kuasa untuk menjawab masalah yang dihadapi masyarakat pribumi.

Disamping itu, elit lokal belum juga sadar bahwa fungsinya terbatas, bagaimana dengan fungsi yang terbatas bisa memiliki kuasa untuk menjawab masalah masyarakat pribumi yang hidup marjinal dan masih bekerja sebagai kaum huruf. Sementara, elit lokal di birokrasi dan politik masih bermental peramu dan belum punya kemampuan menolong diri sendiri. Bagaimana ceritanya, kalau diri sendiri belum cukupi kebutuhan, bagaimana mau memikirkan orang lain.

Sementara itu, para pemimpin mendapat gaji dan fasilitas negara, apakah mereka memikirkan suara generasi emas yang menulis cita-cita mereka, minta seribu om, tarikan nafas di kaleng aibon dan sebagian generasi emas lain menyambung hidup dengan kekerasan. Hal ini, muncul tanya apa arti janji politik dan sumpah janjinya, berbakti untuk rakyat atau berbakti untuk elit kepentingan global.

Walaupun di depan mata itu terlihat dari himpitan ekonomi sebagai pemicu utama masalah urusan perut menyebabkan berbohong dan dibohongi tumbuh subur sebagai gaya hidup menyebabkan kamu silat lidah untuk elit kepentingan dan selalu ikut mendayung sebagai kebiasaan para birokrat atau politisi karena segala sesuatu diselesaikan dengan segala sesuatu juga.

Kamu harus tau, kami tau surga itu berbuat baik, neraka itu berbuat jahat pada semua insan, maka itu urusan makan, urusan rasa aman kami cari sendiri, yang kami minta kamu jangan omon-omon, kamu jangan pura-pura “playing god” bertindak seolah-olah memiliki wewenang dan kekuasaan seperti Tuhan. Kamu seharusnya sudah harus sadar bahwa pentingnya air mata adalah membuat lembutnya hati yang keras untuk menghadirkan sukacita karena mereka butuh didengar.@arkam

KETIKA JIWA MENGETUK

arkam

Ada sebuah ruang yang jarang kita masuki dalam hidup yang terburu-buru ini: ruang untuk berhenti. Ruang itu kecil, sunyi, tetapi selalu menunggu. Tidak pernah pergi. Tidak pernah mendesak. Ia hanya mengetuk perlahan dari dalam dada, menunggu kamu punya keberanian untuk mendengarkannya dan ketukan itu, sering kali, bernama kebosanan.

Kita sering menganggap kebosanan sebagai musuh sesuatu yang harus dilawan, diusir, ditutupi dengan suara, gambar, notifikasi, dan hiburan yang datang tanpa henti. Padahal, kebosanan bukan kehampaan. Ia adalah pesan dari jiwa, sinyal lembut bahwa tubuh dan batinmu sedang memohon untuk diistirahatkan. Sebuah pengingat kecil bahwa kamu bukan mesin, dan hidup bukan perlombaan yang tak bertepi.

Di dalam cerita ini, anggaplah kebosanan sebagai seorang sahabat lama yang kembali datang. Ia mengetuk pintumu bukan untuk mengganggu, tetapi untuk mengingatkan:

“Hei, sudah lama kamu tidak pulang kepada dirimu sendiri.”

Di antara hiruk pikuk dunia, tubuhmu telah bekerja tanpa henti. Ia menemanimu 24 jam sehari, tanpa jeda, tanpa mengeluh. Namun, kamu sering lupa bahwa ia adalah sahabat yang paling setia. Ia yang melangkah ketika kamu ingin maju. Ia yang menahan sakit ketika hatimu tergores. Ia yang tetap setia, bahkan saat kamu memaksanya melampaui batas.

Sahabat itu kini berbicara lewat kebosanan. Lewat rasa kosong di dada. Lewat lelah yang tiba-tiba datang saat kamu duduk sendiri. Lewat hening yang membuatmu gelisah. Bukan karena ia ingin menjatuhkanmu, tetapi karena ia ingin mengembalikanmu kepada dirimu yang sebenarnya.

Kebosanan adalah ruang kelas kebahagiaan yang tidak pernah kamu masuki. Di sana, jiwa menunggu untuk diajak bicara. Nafasmu adalah gurumu, dan keheningan adalah buku pelajarannya. Setiap tarikan nafas adalah perjalanan pulang. Setiap hembusan adalah cara semesta mendekapmu.

Namun, sering kali kamu memilih kabur: menyibukkan diri dengan layar, musik, video, percakapan yang tidak menenangkan semua untuk menutupi pesan kecil dari tubuhmu sendiri. Kamu mengisi kepalamu dengan begitu banyak suara hingga kamu lupa bagaimana mendengar bisikan jiwamu.

Padahal, ada waktu di mana yang kamu butuhkan bukan lagi hiburan. Yang kamu butuhkan adalah diam.

Diam untuk melihat ke dalam. Diam untuk memahami apa yang benar-benar terasa. Diam untuk menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang berlari, tetapi juga tentang menerima ritme yang pelan, lembut, dan manusiawi.

Pernahkah kamu menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu hadir dalam bentuk senyum, tawa, atau pencapaian? Kadang, kebahagiaan hadir dalam bentuk yang sederhana: tubuh yang akhirnya bisa beristirahat, hati yang tidak lagi menuntut banyak, pikiran yang tidak lagi penuh.

Di dalam diam itulah kebosanan berubah menjadi pintu. Jika kamu berani membukanya, kamu akan menemukan bahwa ia bukan musuh, melainkan penuntun pulang pulang ke pusat dirimu yang paling sejati.

Kamu tidak perlu mencari kebahagiaan terlalu jauh. Tidak perlu menunggunya datang dari luar. Kebahagiaan bukan hadiah ia adalah cara jiwa bernafas dan kebosanan? Ia adalah panggilan pertama agar kamu kembali hidup.@arkam

Ekonomi Sagu & Jalan Pulang Investasi Sorong Selatan


arkam

Dalam dunia ekonomi modern, investasi sering dipahami sebatas angka grafik yang naik, indeks yang bergerak, atau laporan pembangunan yang disusun rapi dalam dokumen perencanaan. Namun, bila kita berhenti sejenak dan mendengarkan bisikan kehidupan sehari-hari di Papua, kita menemukan bahwa investasi bukanlah sekadar perhitungan, melainkan cara sebuah daerah memahami dirinya sendiri.

Ekonomi jalanan suara para pedagang, petani, mama-mama di pasar, hingga anak-anak kecil yang menangis minta makan adalah suara paling jujur tentang kondisi sebuah wilayah. Di tengah berbagai kajian teoretis dan laporan lembaga besar, suara inilah yang sering hilang. Padahal, justru dari sinilah filsafat ekonomi harus tumbuh: dari manusia, dari kebiasaan makan mereka, dari apa yang membuat mereka kenyang, dan apa yang membuat mereka hidup.

Ketika kita membicarakan potensi Papua, kita sudah melewati tahap sekadar bermimpi. Tanah ini tidak lagi berbicara tentang “akan dikembangkan,” melainkan “sedang menunggu disentuh dengan cara yang benar.” Dan salah satu kisah paling filosofis, sekaligus paling ekonomis, hadir dari satu kata sederhana: sagu.

Sagu pernah menjadi identitas pangan orang Papua, bukan sekadar makanan, tetapi ritus, budaya, dan tanda hubungan harmonis antara manusia dan alam. Dahulu, orang bisa mengatakan dengan pasti bahwa sagu adalah makanan pokok. Tetapi kini, kita dihadapkan pada kenyataan baru: anak-anak menangis minta makan bukan karena ingin papeda, tapi karena ingin nasi. Ini bukan sekadar perubahan selera; ini adalah pergeseran budaya ekonomi.

Di satu sisi, sagu masih diproduksi berlimpah. Namun di sisi lain, pasar yang seharusnya menyerapnya semakin mengecil. Lalu muncul pertanyaan yang tampaknya sederhana, namun sebetulnya sangat filosofis:
Jika sagu berlimpah, tetapi tidak dimakan, apakah itu masih disebut potensi?

Inilah paradoks ekonomi Papua: melimpahnya bahan baku tidak selalu berarti hadirnya nilai. Kekayaan alam tidak otomatis berubah menjadi kesejahteraan. Kita sering terjebak pada logika: "Ada produksi berlebih? Bangun pelabuhan! Bangun pasar! Cari ekspor!" Padahal, sebelum membangun infrastruktur yang besar dan mahal, pertanyaan yang paling jujur adalah:

Siapa sebenarnya yang membutuhkan sagu itu? Dan bagaimana ia bisa kembali hidup dalam kultur ekonomi masyarakat?

Filsafat ekonomi mengajarkan bahwa investasi tidak boleh dimulai dari gedung, pelabuhan, atau dokumen proyek. Investasi yang paling mendasar adalah investasi makna pemahaman tentang apa yang benar-benar dibutuhkan manusia sebagai titik pusat pembangunan.

Sorong Selatan tidak butuh solusi besar yang tidak menyentuh akar masalah. Yang dibutuhkan adalah ekosistem nilai, bukan sekadar proyek. Yaitu, ruang di mana para pemain lokal diberi kesempatan untuk mengolah sagu, menambah nilai, dan mengubahnya menjadi produk turunan yang menjawab kebutuhan nyata masyarakat.

Di sinilah ekonomi kembali menjadi percakapan keluarga: (1) Bagaimana membuat sagu kembali menjadi makanan yang membanggakan?; (2) Bagaimana mempertemukan tradisi dengan inovasi?; (3) Bagaimana agar rantai nilai sagu tidak berhenti di hutan, tetapi terus bergerak hingga ke dapur warga?

Investasi sejati tidak memaksa masyarakat mengubah diri agar cocok dengan pasar; investasi sejati membuat pasar tumbuh dari kebiasaan masyarakat itu sendiri. Karena hanya dengan cara itu, ekonomi dapat berdiri di atas fondasi yang kokoh: kultur, kebutuhan, dan kedaulatan pangan.

Papua Barat Daya harus mulai dari hal yang paling sederhana namun paling penting: memastikan bahwa kebutuhan gizi dan pangan masyarakatnya terpenuhi oleh apa yang lahir dari tanahnya sendiri. Ketika usaha mikro kecil yang bergerak di rantai nilai sagu tumbuh, maka nilai ekonomi setempat akan mengalir secara organik, bukan dipaksakan.

Pada akhirnya, ekonomi bukan hanya tentang uang yang bergerak. Ekonomi adalah cerita bagaimana masyarakat mempertahankan martabat hidupnya. Dan dalam cerita Papua, sagu adalah halaman penting yang tidak boleh hilang.

Jika kita membaca ekonomi dengan cara yang lebih lembut, lebih filosofis, kita akan menemukan bahwa investasi terbaik selalu dimulai dari rumah dari apa yang kita makan, dari apa yang kita anggap penting, dari apa yang membuat kita merasa menjadi diri sendiri.

Sagu bukan hanya bahan pangan. Ia adalah tanda bahwa Papua masih punya identitas, dan identitas itulah yang paling layak diinvestasikan.@arkam

SENJA DI LAMPU SATU MERAUKE

arkam

Senja di Lampu Satu Merauke selalu menghadirkan semacam jeda batin ruang hening di mana langit, laut, dan manusia saling bercermin. Ketika matahari turun perlahan, warna merah jingga membasuh permukaan laut Arafura seperti cat yang tumpah dari tangan para leluhur. Di momen itu, Edi, seorang pemuda Marind, berdiri memandang cakrawala sambil membawa kegelisahan yang ia simpan sejak lama: apakah ia masih menjadi bagian dari tanah leluhurnya, atau sudah hanyut oleh arus dunia modern yang ramai dan terburu-buru?

Masa kecil Edi penuh dengan cerita-cerita, kisah asal-usul manusia dan tanah yang diceritakan kakeknya di tepi rawa. Dulu, rawa sagu, burung bangau, dan suara angin adalah guru yang paling sabar. Namun saat ia tumbuh, dunia itu mulai tergerus. Hutan dibersihkan, tanah adat ditetapkan, dan deru mesin menggantikan suara alam. Ketika ia bekerja di kota, laporan, angka-angka, dan rapat mendesak membuatnya kian jauh dari dunia yang membentuk jati dirinya.

Di Lampu Satu, kenangan-kenangan itu kembali seperti ombak kecil yang menyentuh kaki. Edi merasakan pertarungan dua dunia di dalam dirinya: dunia adat yang memanggilnya pulang dan dunia modern yang memintanya maju tanpa menoleh ke belakang. Pertarungan itu membuatnya kehilangan arah, seakan tanah leluhurnya perlahan memudar dari jangkauan. Namun ia tahu, ia tidak bisa selamanya berdiri di tengah-tengah, sebab ada pertanyaan yang menuntut jawaban: jalan mana yang membuatnya tetap menjadi dirinya sendiri?

Dalam keheningan senja itulah seorang perempuan tua, muncul seperti bayangan dari masa lalu. Dengan suara tenang, ia berkata bahwa tanah tidak pernah melupakan anaknya. “Kau boleh pergi jauh, Edi,” katanya, “tapi tanah tetap tahu namamu.” Kalimat itu membuat Edi menyadari bahwa identitas bukan sesuatu yang hilang begitu saja ia hanya tertutup oleh kebisingan dunia baru. Ia mengerti kini bahwa pulang bukan berarti kembali ke masa lalu, melainkan menyatukan masa lalu dengan masa depan.

Ketika matahari benar-benar jatuh di garis laut, Edi merasakan keputusan itu mengalir dalam dirinya: ia akan pulang, bukan untuk menghindari dunia modern, tetapi untuk menjembatani keduanya. Ia ingin menulis ulang cerita-cerita leluhur, mengajar anak-anak kampung tentang tanah mereka, dan membangun ruang belajar yang menyalakan kembali kebanggaan menjadi orang Papua Selatan. Ia tahu tugas itu berat, namun senja di Lampu Satu telah memberinya keberanian untuk memulai.

Beberapa bulan kemudian, Lampu Satu menyaksikan senja yang sama, tetapi dengan makna baru. Edi kini duduk bersama anak-anak Marind, membacakan cerita tentang roh tanah, rawa yang hidup, dan manusia yang menjaga alam. Di sela tawa kecil mereka, laut memantulkan cahaya merah seperti restu dari leluhur. Edi tersenyum. Ia tahu perjalanan batin itu belum selesai, tetapi ia telah menemukan arah: menjadi cahaya kecil yang membantu menjaga nyawa budaya di tepi selatan Papua.@arkam

MENCARI MAYBRAT

MUKA SAMA

arkam Dewa manajemen Vroom membuat formula M=f (E,V), motivasi seseorang akan dipengaruhi oleh harapan orang yang bersangkutan dan nilai yan...