Sunday, November 23, 2025

KETIKA JIWA MENGETUK


arkam

Ada sebuah ruang yang jarang kita masuki dalam hidup yang terburu-buru ini: ruang untuk berhenti. Ruang itu kecil, sunyi, tetapi selalu menunggu. Tidak pernah pergi. Tidak pernah mendesak. Ia hanya mengetuk perlahan dari dalam dada, menunggu kamu punya keberanian untuk mendengarkannya dan ketukan itu, sering kali, bernama kebosanan.

Kita sering menganggap kebosanan sebagai musuh sesuatu yang harus dilawan, diusir, ditutupi dengan suara, gambar, notifikasi, dan hiburan yang datang tanpa henti. Padahal, kebosanan bukan kehampaan. Ia adalah pesan dari jiwa, sinyal lembut bahwa tubuh dan batinmu sedang memohon untuk diistirahatkan. Sebuah pengingat kecil bahwa kamu bukan mesin, dan hidup bukan perlombaan yang tak bertepi.

Di dalam cerita ini, anggaplah kebosanan sebagai seorang sahabat lama yang kembali datang. Ia mengetuk pintumu bukan untuk mengganggu, tetapi untuk mengingatkan:

“Hei, sudah lama kamu tidak pulang kepada dirimu sendiri.”

Di antara hiruk pikuk dunia, tubuhmu telah bekerja tanpa henti. Ia menemanimu 24 jam sehari, tanpa jeda, tanpa mengeluh. Namun, kamu sering lupa bahwa ia adalah sahabat yang paling setia. Ia yang melangkah ketika kamu ingin maju. Ia yang menahan sakit ketika hatimu tergores. Ia yang tetap setia, bahkan saat kamu memaksanya melampaui batas.

Sahabat itu kini berbicara lewat kebosanan. Lewat rasa kosong di dada. Lewat lelah yang tiba-tiba datang saat kamu duduk sendiri. Lewat hening yang membuatmu gelisah. Bukan karena ia ingin menjatuhkanmu, tetapi karena ia ingin mengembalikanmu kepada dirimu yang sebenarnya.

Kebosanan adalah ruang kelas kebahagiaan yang tidak pernah kamu masuki. Di sana, jiwa menunggu untuk diajak bicara. Nafasmu adalah gurumu, dan keheningan adalah buku pelajarannya. Setiap tarikan nafas adalah perjalanan pulang. Setiap hembusan adalah cara semesta mendekapmu.

Namun, sering kali kamu memilih kabur: menyibukkan diri dengan layar, musik, video, percakapan yang tidak menenangkan semua untuk menutupi pesan kecil dari tubuhmu sendiri. Kamu mengisi kepalamu dengan begitu banyak suara hingga kamu lupa bagaimana mendengar bisikan jiwamu.

Padahal, ada waktu di mana yang kamu butuhkan bukan lagi hiburan. Yang kamu butuhkan adalah diam.

Diam untuk melihat ke dalam. Diam untuk memahami apa yang benar-benar terasa. Diam untuk menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang berlari, tetapi juga tentang menerima ritme yang pelan, lembut, dan manusiawi.

Pernahkah kamu menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu hadir dalam bentuk senyum, tawa, atau pencapaian? Kadang, kebahagiaan hadir dalam bentuk yang sederhana: tubuh yang akhirnya bisa beristirahat, hati yang tidak lagi menuntut banyak, pikiran yang tidak lagi penuh.

Di dalam diam itulah kebosanan berubah menjadi pintu. Jika kamu berani membukanya, kamu akan menemukan bahwa ia bukan musuh, melainkan penuntun pulang pulang ke pusat dirimu yang paling sejati.

Kamu tidak perlu mencari kebahagiaan terlalu jauh. Tidak perlu menunggunya datang dari luar. Kebahagiaan bukan hadiah ia adalah cara jiwa bernafas dan kebosanan? Ia adalah panggilan pertama agar kamu kembali hidup.@arkam

No comments:

Post a Comment

MENCARI MAYBRAT

RUMAH DALAM DIRI

arkam Menulis bukan sekadar merangkai huruf, bukan pula kegiatan mengisi lembar kosong demi sebuah cerita. Menulis adalah jalan pulang, sebu...