Sunday, November 23, 2025

SENJA DI LAMPU SATU MERAUKE

arkam

Senja di Lampu Satu Merauke selalu menghadirkan semacam jeda batin ruang hening di mana langit, laut, dan manusia saling bercermin. Ketika matahari turun perlahan, warna merah jingga membasuh permukaan laut Arafura seperti cat yang tumpah dari tangan para leluhur. Di momen itu, Edi, seorang pemuda Marind, berdiri memandang cakrawala sambil membawa kegelisahan yang ia simpan sejak lama: apakah ia masih menjadi bagian dari tanah leluhurnya, atau sudah hanyut oleh arus dunia modern yang ramai dan terburu-buru?

Masa kecil Edi penuh dengan cerita-cerita, kisah asal-usul manusia dan tanah yang diceritakan kakeknya di tepi rawa. Dulu, rawa sagu, burung bangau, dan suara angin adalah guru yang paling sabar. Namun saat ia tumbuh, dunia itu mulai tergerus. Hutan dibersihkan, tanah adat ditetapkan, dan deru mesin menggantikan suara alam. Ketika ia bekerja di kota, laporan, angka-angka, dan rapat mendesak membuatnya kian jauh dari dunia yang membentuk jati dirinya.

Di Lampu Satu, kenangan-kenangan itu kembali seperti ombak kecil yang menyentuh kaki. Edi merasakan pertarungan dua dunia di dalam dirinya: dunia adat yang memanggilnya pulang dan dunia modern yang memintanya maju tanpa menoleh ke belakang. Pertarungan itu membuatnya kehilangan arah, seakan tanah leluhurnya perlahan memudar dari jangkauan. Namun ia tahu, ia tidak bisa selamanya berdiri di tengah-tengah, sebab ada pertanyaan yang menuntut jawaban: jalan mana yang membuatnya tetap menjadi dirinya sendiri?

Dalam keheningan senja itulah seorang perempuan tua, muncul seperti bayangan dari masa lalu. Dengan suara tenang, ia berkata bahwa tanah tidak pernah melupakan anaknya. “Kau boleh pergi jauh, Edi,” katanya, “tapi tanah tetap tahu namamu.” Kalimat itu membuat Edi menyadari bahwa identitas bukan sesuatu yang hilang begitu saja ia hanya tertutup oleh kebisingan dunia baru. Ia mengerti kini bahwa pulang bukan berarti kembali ke masa lalu, melainkan menyatukan masa lalu dengan masa depan.

Ketika matahari benar-benar jatuh di garis laut, Edi merasakan keputusan itu mengalir dalam dirinya: ia akan pulang, bukan untuk menghindari dunia modern, tetapi untuk menjembatani keduanya. Ia ingin menulis ulang cerita-cerita leluhur, mengajar anak-anak kampung tentang tanah mereka, dan membangun ruang belajar yang menyalakan kembali kebanggaan menjadi orang Papua Selatan. Ia tahu tugas itu berat, namun senja di Lampu Satu telah memberinya keberanian untuk memulai.

Beberapa bulan kemudian, Lampu Satu menyaksikan senja yang sama, tetapi dengan makna baru. Edi kini duduk bersama anak-anak Marind, membacakan cerita tentang roh tanah, rawa yang hidup, dan manusia yang menjaga alam. Di sela tawa kecil mereka, laut memantulkan cahaya merah seperti restu dari leluhur. Edi tersenyum. Ia tahu perjalanan batin itu belum selesai, tetapi ia telah menemukan arah: menjadi cahaya kecil yang membantu menjaga nyawa budaya di tepi selatan Papua.@arkam

No comments:

Post a Comment

MENCARI MAYBRAT

RUMAH DALAM DIRI

arkam Menulis bukan sekadar merangkai huruf, bukan pula kegiatan mengisi lembar kosong demi sebuah cerita. Menulis adalah jalan pulang, sebu...