KEKERABATAN DAN POLA KONSUMTIF ETNIK MEYBRAT
PADA PENGETAHUAN BISNIS
PADA PENGETAHUAN BISNIS
Orang Meybrat adalah salah
satu etnik yang mendiami gugusan batu karang di wilayah pedalaman kepala
burung Papua (lihat
peta Papua Barat)
dianugrahi dengan budaya tolong menolong (self
support) yang dipelihara sangat kuat hidup dan berkembang dikalangan orang
Meybrat “Anu Betha
Tubat’.
Sejak di temukan tim ekspedisi Belanda tahun 1908 pada waktu itu sudah ada
kontak, namun pemerintah Belanda melaksanakan pemerintah administrasi tahun
1924. Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1934 barulah terbentuk kampung-kampung
pertama yang secara permanen didirikan oleh orang Meybrat atas usaha
pemerintahan Belanda.
Penduduk di pusat
kepala burung yang dinamakan etnik
Meybrat hidup sebagai petani ladang berpindah-pindah dengan menggunakan teknik slash and cultivation, ialah semak dan
pohon-pohon disuatu lahan tertentu di tebas dan dibiarkan kering kemudian
dibakar lalu ditanami berbagai jenis umbi-umbian, antara lain keladi dan ubi
manis (batatas), di samping sebagai
petani ladang orang Meybrat hidup juga dari meramu berbagai jenis buah-buahan
dan sayur-sayuran hutan yang dapat dimakan. Perburuan dan penangkapan ikan di
danau juga dilakukan tapi bukan juga sebagai mata pencaharian hidup pokok orang
Meybrat.
Orang Meybrat mendiami
empat wilayah administratif
pemerintahan tingkat distrik pada waktu pemerintahan Belanda yaitu : distrik
Mara, distrik Aifat,
distrik Ayamaru dan distrik Aitinyo
dibawah wilayah Kerisedenan Manokwari. Sejak menjadi bagian dari
Indonesia orang Meybrat mendiami tiga wilayah pemerintahan tingkat kemacamatan
ialah : kecamatan Aifat,
kecamatan Ayamaru dan kecamatan Aytinyo di dalam daerah pemerintahan TK II
Kabupaten Sorong.
Pemekaran yang
dibentuk tahun 2002 orang Meybrat mendiami 8 (delapan) wilayah pemerintahan
tingkat distrik ialah : distrik Aifat
timur, distrik Aifat,
distrik Aitinyo,
distrik Moswaren,
distrik Ayamaru,
distrik Mare,
distrik Wayer
dan distrik Ayamaru
Utara di dalam
daerah pemerintahan Kabupaten Sorong Selatan. Pada masa ini orang Meybrat
mendiami sebelas
wilayah pemerintahan distrik meliputi : distrik Aifat, Aifat Utara, Aifat Timur, Aifat Selatan,
Aifat Barat, Aitinyo, Aitinyo Utara, Ayamaru, Ayamaru Utara, Ayamaru Timur dan
distrik Mare di
dalam daerah pemerintahan kabupaten Meybrat.
Menurut
orang Meybrat orang yang ideal menjadi bobot
adalah orang yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang bisnis, di
samping itu selalu bersedia untuk membantu orang lain dalam masalah-masalah
ekonomi. Ukuran yang digunakan oleh orang Meybrat untuk menentukan apakah
seseorang itu mempunyai kemampuan bisnis atau tidak terlihat pada pengetahuan
memanipulasi sirkulasi kain timur. Orang Meybrat berpendapat bahwa kain timur
harus selalu bergerak, artinya harus secara terus menerus beredar dari satu
orang kepada orang yang lain dan dalam peredaran itu harus membawa
keuntungan-keuntungan tertentu, di sini mengandung dua makna ialah makna
materil dan makna prestise.
Dalam sistem
tukar menukar kain timur orang Meybrat, para bobot merupakan titik pusat dari segala aktivitas transaksi. Setiap
bobot mempunyai jumlah patner dagang
yang bervariasi antara delapan sampai enam puluh orang. Selanjutnya
masing-masing patner dagang itu mempunyai patner-patner dagang lain lagi
sehingga secara keseluruhan mereka membentuk satu jaringan teman dagang yang
meliputi seluruh pedalaman kepala burung. Menjadi orang terpandang di dalam
masyarakat oleh karena kekayaan - memiliki banyak kain timur, menyebabkan
seseorang mempunyai pengikut dan berhak untuk membuat keputusan. Disinilah letak
hubungan antara aspek ekonomi dengan aspek politik melalui kemampuan dalam
bidang ekonomi prestise, seorang bobot
dapat menciptakan hubungan-hubungan sosial tertentu dengan warga masyarakat
lain.
Orang
Meybrat dengan segala kompleksitas budaya dan dinamika kehidupan masyarakat
memang menarik untuk di kaji. Ini bisa kita lihat setidaknya dari berbagai
studi yang pernah dilakukan oleh para peneliti. Elmberg, (1955), Kamma, (1970),
Power, (1957) misalnya meneliti tentang
sistem kekerabatan orang Meybrat, Mansoben JR (1995) mengulas sistem politik
tradisional orang Meybrat di irian jaya.
Tulisan ini ditujukan untuk mencari bentuk
pengembangan budaya bisnis
yang tepat, apakah yang harus dilakukan dan bagaimana melaksanakannya, agar terbentuk kelompok usaha
dinamis dan kreatif di lingkungan orang
Meybrat
yang dapat mencapai titik optimal, yakni mampu menjadi motor penggerak
percepatan pertumbuhan ekonomi perkapita orang Meybrat.
Menurut
Glaser dan Moynihan (1981) yang termasuk unsur-unsur penting primordial adalah
keturunan dan ikatan kekerabatan, sistem kepercayaan dan bahasa. Dalam realitas
kehidupan sehari-hari, unsur-unsur primordial menjadi pengikat utama dalam
membentuk suatu identitas kelompok etnik. Identitas ini menjadi penanda ciri
atau karakter tersendiri yang terwujud dalam sikap dan perilaku budaya mereka.
Dengan kata lain, unsur-unsur primordial yang dimiliki oleh suatu kelompok
etnik akan menjadi unsur pembeda identitas diri dari suatu kelompok etnik yang
lain. Dalam sistem interaksi sosial, perilaku budaya merupakan perilaku
simbolik yang pemaknaannya harus dilakukan secara kontekstual. Artinya, setiap
orang dari suatu kelompok masyarakat harus mampu mengidentifikasi dan memahami
makna simbolik dari perilaku budaya tersebut. Pemahaman yang sama terhadap
suatu perilaku simbolik di antara objek dan subjek sangat penting untuk
mengantisipasi terjadinya kesalahpahaman dalam interaksi sosial. Dengan
persepsi ini, pemahaman yang sama tersebut dapat meminimalisasi timbulnya
konflik yang bernuansa etnisitas. Setiap orang atau kelompok masyarakat dan
kebudayaan harus menghindari perilaku etnosentrisme yang dapat menimbulkan
ketegangan sosial.
Di dalam
perkembangannya kekuatan dari kebiasaan atau budaya tersebut semakin berkurang
dari segi ritualnya, namun dalam segi sosial kemasyarakatan pengaruhnya masih
sangat kuat. Budaya tersebut ada yang memiliki nilai-nilai positif dan juga
negatif terhadap kehidupan baik individu maupun sosial kemasyarakatan, bahkan
dalam kegiatan bisnis.
Pengembangan
usaha (business development) yang
dimulai dari tahap start up dan
kemudian berkembang menjadi small, medium dan large business sangat bergantung kepada berbagai faktor antara lain
personality dari entrepreneurs,
kondisi perusahaan dan environment
(lingkungan).
Individu yang memiliki
entrepreneurship yang tinggi, akan
lebih mampu dan cepat mengembangkan businessnya, dan sebaliknya individu dengan
entrepreneurship yang rendah tidak
mampu mengembangkan usahanya. Perilaku kewirausahaan (Entrepreneurship Behaviour) seperti kemampuan memimpin, kemampuan
mengambil keputusan, kemampuan melakukan inovasi, kemampuan mengambil resiko,
akan membawa dampak terhadap meningkatnya pendapatan perkapita orang Meybrat.
Menurut Penelitian A. Kambu, dosen FE-UNCEN menjelaskan bahwa setelah
dilakukan analisis domain, analisis taksonomi, dan analisis komponensial
ditemukan lima fenomena yang merupakan “benang merah” temuan penelitian.
Fenomena pertama yang dapat dianalisis adalah perilaku bisnis. Fenomena kedua yang dapat dianalisis adalah kekerabatan. Fenomena ketiga adalah pola konsumtif.
Fenomena keempat adalah faktor penghambat
Fenomena kelima adalah perilaku bisnis saat ini.
Fenomena enam adalah perkembangan bisnis. Pembahasan
terhadap keenam fenomena
tersebut adalah sebagai berikut:
Setelah
dikemukakan beberapa karakteristik responden di atas, maka dapat dikatakan
bahwa tingkat pendidikan, umur, pendapatan, pola konsumsi dan perilaku produksi
serta sosial budaya yang dimiliki masyarakat Meybrat merupakan
faktor-faktor yang dominan peranannya dalam membentuk perilaku kewirausahaan
masyarakat. Di samping itu, perilaku kewirausahaan Masyarakat juga turut
dibentuk dengan banyaknya jumlah tanggungan keluarga, di mana rata-rata
memiliki tanggungan keluarga yang cukup besar, sehingga mereka lebih banyak
terdorong berusaha mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya dan
kurang upaya untuk mengembangkan usahanya dengan cara melakukan pengembangan
faktor-faktor produksi yang dapat menunjang peningkatan produktivitas dan
pendapatan hasil usaha. Dengan demikian pada umumnya kebiasaan masyarakat untuk
melakukan pesta besar-besaran yang membutuhkan dana besar merupakan suatu sikap
yang terimplikasi pada perilaku kewirausahaan masyarakat. Untuk memahami
bagaimana keterkaitan antara atribut-atribut faktor sosial budaya, kemampuan
pengambilan keputusan, kemampuan inovasi, kemampuan pengambilan resiko, faktor
produksi, distibusi, pola konsumsi serta
faktor kelembagaan dan faktor ineternal dan eksternal terhadap pembentukan
perilaku kewirausahaan, dapat dilakukan pengelompokan, dan pengklasifikasian
pendapat pengusaha kecil dan menengah
masyarakat kedalam tiga kategori yaitu sanggat mendukung sekali, sanggat
mendukung, netral, kurang mendukung dan kurang mendukung sekali. Hasil
pengelompokkan dan pengklasifikasian untuk masing-masing faktor sebagaimana
dijelaskan sebagai berikut:
Setelah
dilakukan telahan terhadap jawab responden memberi
indikasi bahwa masyarakat masih terikat pada kebiasaan, pola hidup dan tingkah
laku sosial budayanya, sehingga kurang mendukung terhadap pembentukkan perilaku
kewirausahaan dalam pengembangan bisnis masyarakat. Tanggung jawab sosial,
menjadi faktor budaya utama yang kurang mendukung pembentukkan perilaku
kewirausahaan. Tanggung jawab sosial di sini dimaksudkan sebagai tanggung jawab
seseorang di dalam keluarga terhadap semua kegiatan-kegiatan yang terjadi di
dalam keluarga, baik yang bersifat vertikal maupun horisontal dan juga
lingkungan masyarakatnya. Kewajiban terhadap tanggung jawab sosial
tersebut menjadikan seseorang di dalam
keluarga yang memiliki pekerjaan dan pendapatan yang baik dianggap sebagai aset
keluarga. Masyarakat Meybrat masih memegang teguh hubungan keluarga (kekerabatan),
baik secara vertikal maupun horisontal, baik terhadap keluarga kakek, nenek,
maupun keluarga suami atau istri. Hubungan-hubungan tersebut menyebabkan
pemanfatan dari hasil usaha dipergunakan untuk kepentingan tersebut, dan
kadang-kadang jumlah pengeluaran melampaui pendapatan yang diperoleh.
Perilaku
masyarakat di dalam menghadapi semua kegiatan adat tersebut di atas,
dipengaruhi oleh suatu nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial yang hidup
dalam lingkungan masyarakatnya. Budaya rasa malu dinilai tidak mampu, menjadi
faktor pendorong yang sangat kuat di dalam melakukan tanggung jawab adat tersebut. Upaya menjaga harga diri dan
martabat keluarga, kelompok dari
penilaian tidak mampun, mendorong setiap orang didalam kelompok melakukan
pengorbaban dalam bentuk uang maupun barang. Misalnya pembayaran denda atau
maskawin; walaupun dalam jumlah yang besar dapat diselesaikan dalam waktu yang
singkat karena dorongan menjaga harga diri dan martabat keluarga/kelompok, atau
rasa malu dinilai tidak mampu.
Hasil dalam
penelitian ini, memberi indikasi bahwa perilaku (konsumtif) kurang mendukung
terbentuknya perilaku kewirausahaan masyarakat. Untuk jelasnya hasil rangking
dan klasifikasi tersebut menunjukkan
perilaku kelompok dalam kegiatan penyelesaian masalah dan kegiatan sosial
cenderung kurang mendukung atau tidak
produktif. Hal ini dapat dilihat pada rangking satu atau klasifikasi
kurang mendukung. Sedangkan pemanfaatan pendapatan dalam kegiatan ekonomi dapat
dikatakan lebih rendah dibanding dengan akumulasi pemanfaatan pendapatan untuk
kegiatan penyelesaian masalah dan kegiatan sosial ekonomi, hal ini
menggambarkan bahwa masyarakat menggunakan kurang lebih pendapatan mereka untuk
keperluan non konsumsi. Hal ini memberi indikasi bahwa masyarakat memiliki perilaku kewirausahaan yang masih rendah. Selanjutnya dapat dijelaskan
bahwa potensi sosial budaya masyarakat sangat tergantung pada hasil pendapatan
yang diperoleh dan jumlah tanggungan keluarga. Disamping itu terdapat pula suatu kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat, dimana semakin tinggi hasil pendapatan yang diperoleh
semakin besar pengeluaran rumah tangganya, begitu pula halnya semakin banyak
jumlah tanggungan keluarga semakin besar pula pengeluaran rumah tangga,
terutama pada kebutuhan yang menjadi tanggung jawab sosial budaya (pesta-pesta
adat, pembayaran maskawin dan denda). Dengan demikian penilaian bahwa satu
sikap perilaku masyarakat, yang suka boros menggunakan pendapatan untuk hal-hal
yang tidak produktif dapat diposisikan
secara tepat. Dalam kaitannya dengan nilai sosial masyarakat yang masih kuat
dipengaruhi oleh budaya, dan tradisi, bentuk penggunaan pendapatan seperti yang
dijelaskan di atas merupakan kewajiban yang menjadi tanggung jawab sosial
setiap anggota kelompok. Perilaku sosial seperti ini kurang mendukung kegiatan
usaha bagi masyarakat, karena tidak adanya pemupukan modal usaha untuk
pengembangan usaha.
Hasil dalam
penelitian ini, memberi indikasi bahwa perilaku (konsumsi, investasi,
pendidikan, dan kesehatan serta kebutuhan lainnya) kurang mendukung
terbentuknya perilaku kewirausahaan masyarakat. Untuk jelasnya hasil
klasifikasi dan pengelompokkan tersebut menunjukkan perilaku masyarakat
cenderung konsumptif dan tidak produktif. Hal ini dapat dilihat bahwa
pemanfaatan pendapatan untuk investasi, kesehatan dan pendidikan dapat
dikatakan lebih rendah dibanding dengan akumulasi pemanfaatan pendapatan mereka
untuk keperluan non konsumsi. Hal tersebut diatas memberi indikasi bahwa
masyarakat memiliki perilaku kewirausahaan yang
masih rendah.
Kecenderungan
penggunaan pendapatan pada konsumsi yang jauh lebih besar merupakan implikasi dari tanggung jawab
sosial terhadap keluarga yang tetap dipegang teguh oleh orang Meybrat.
Hubungan kekerabatan, keluarga secara vertikal dan horisontal dari kedua belah
pihak suami dan isteri menyebabkan
semakin luasnya tanggungan keluarga. Dikalangan masyarakat khususnya pada
setiap keluarga rata-rata berkumpul selain keluarga inti, juga ditampung
keluarga lainnya baik dari pihak suami maupun istri, dan rata-rata mencapai
8-10 orang. Dengan demikian penilaian bahwa satu sikap perilaku masyarakat,
yang suka boros menggunakan pendapatan untuk hal-hal yang tidak produktif dapat diposisikan secara tepat dalam
kaitannya dengan pola konsumsi kehidupan masyarakat yang masih kuat dipengaruhi
oleh budaya, dan tradisi, bentuk penggunaan pendapatan seperti yang dijelaskan
di atas merupakan kewajiban yang menjadi tanggung jawab sosisal setiap anggota
kelompok. Perilaku pola konsumsi seperti ini kurang mendukung kegiatan usaha
bagi masyarakat Meybrat, karena tidak adanya pemupukan modal untuk pengembangan
usaha.
Dalam rangka
mengidentifikasi tingkat perkembangan dan proses pembentukan serta tahapan
perkembangan usaha yang dimulai dari inovasi, trigering, dan implementation.
Ketiga tahapan ini merupakan masa inkubasi atau embrio dimulainya untuk usaha.
Sedangkan growth, maturity dan harvest merupakan entrepreneur process yang menuju kepada small business process. Berdasarkan pada analisis perilaku
wirausaha orang Meybrat, pada umumnya
masih berada pada tahapan inovasi dan trigering, atau masih berada pada
even entrepreneur process, dimana
mereka secara alamiah memiliki
jiwa entrepreneurship dimana
mereka telah memulai kegiatan
bisnis walaupun masih sangat sederhana dan tradisional.
Pada
tahapan inovation dan trigering personal karakteristik dan environment (lingkungan) memegang
peranan penting untuk pembentukkan perilaku kewirausahaan. Personal
karakteristik disini mencakup need for
achievement, risk taking, personal values. Education dan experience yang harus disuport dengan environment (lingkungan) bisnis yang
kondusif. Environment tersebut mencakup opportunities,role models dan creativity yang memungkinkan untuk
pengembangan usaha. Pada fase trigering,
personal karakteristik yang diikuti dengan komitment
yang kuat dan dilain pihak dukungan environment
bisnis yang kondusif
yang mencakup peranan pemerintah dan penguasaan resources serta inkubator
yang memungkinkan aktivitas bisnis
dijalankan dengan baik. Dari profil usaha masyarakat yang telah dijelaskan,
dimana kedua kondisi tersebut dirasakan masih sangat rendah.
Berkaitan dengan itu,
maka di dalam upaya-upaya pengembangan perilaku kewirausahaan masyarakat yang
masih terpenjara oleh kondisi lingkungan
(environment) dan sosio cultural (social behavior) perlu dicermati dengan
baik, dan diperlukan kesepahaman antara ekonom dan antropolog, serta psyholog, untuk mencari model yang
tepat bagi pengembangan kewirausahaan
masyarakat. Dalam
kondisi masyarakat dengan sosio cultural yang beraneka ragam, maka pola
pembinaan secara cell groups merupakan bentuk yang tepat, karena
individu dikelompokkan sesuai bidang usaha, tingkatan/level yang dicapai, scala
usaha dan tetap memperhatikan social cultural constraint pada masing-masing individu yang dibina.
Analisis
selanjutnya diarahkan untuk melihat hubungan antara perilaku kewirausahaan dan
pengembangan usaha masyarakat. Untuk
melakukan analisis tersebut maka responden dikelompokkan berdasarkan kelompok
usaha dagang Kios, usaha pertanian,
usaha peternakan, usaha kelompok/bersama, usaha jasa, dan usaha
industri. Berdasarkan hasil analisis, maka tingkat hubungan antara perilaku
kewirausahaan dengan pengembangan bisnis
masyarakat dapat memberi gambaran bahwa aktivitas sosial, dan potensi
sosial masyarakat dapat dikatakan memiliki hubungan sanggat lemah terhadap
kinerja pengembangan bisnis masyarakat. Dengan kata lain, bilamana masyarakat
masih memiliki tradisi budaya yang tinggi, maka perilaku kewirausahaan
masyarakat berpengaruh secara negatif terhadap tingkat kemampuan pengembangan
bisnis. Berdasarkan
pada kondisi tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa usaha masyarakat saat
ini hanya bekerja berdasarkan komprominitas diantara mereka, untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Kegiatan usaha dilakukan hanya untuk menyelamatkan dan
memenuhi kebutuhan keluarga (Safety
First), keselamatan dalam arti pemenuhan kebutuhan menjadi
prioritas, dan bukan business minded.
Sedangkan pada sisi keberanian mengambil risiko, maupun melakukan inovasi
merupakan suatu proses uji coba yang tidak terlepas dari membuat kesalahan.
Dengan demikian rendahnya kemampuan pengambilan resiko yang dihadapi usaha
masyarakat juga merupakan refleksi dari azas dasar kepercayaan yang dianutnya.
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)
No comments:
Post a Comment