arkam
Implementasi Otonomi Khusus (Otsus) kebijakan yang pada awalnya membawa harapan besar bagi semua orang Papua.
Ketika Otsus diberlakukan pada tahun 2001, banyak orang berpikir bahwa inilah jalan menuju kemandirian. Dengan dana yang besar yang mencapai triliunan rupiah per tahun Papua diharapkan mampu memperbaiki pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pelayanan publik. Secara teori, fleksibilitas fiskal dari Otsus memungkinkan daerah merancang pembangunan sesuai kebutuhan lokal.
Namun, setelah dua dekade, hasilnya sangat campuran. Beberapa kabupaten menunjukkan kemajuan, tetapi banyak wilayah lain masih berada dalam lingkaran kemiskinan dan minim layanan dasar. Kenapa ini terjadi?
Pertama, kapasitas birokrasi lokal belum memadai. Dana besar tanpa keahlian perencanaan dan pengawasan membuat program sering tidak tepat sasaran. Banyak proyek infrastruktur dibangun tanpa perawatan, banyak pelatihan dilakukan tanpa evaluasi hasil, dan banyak program sosial tidak sinkron dengan kebutuhan lapangan.
Kedua, akuntabilitas dan transparansi lemah. Dana yang seharusnya mendorong kemakmuran kerap terjebak dalam jaringan patronase, birokrasi yang berlapis-lapis, dan kebijakan yang tidak terkoordinasi. Pada titik ini, Otsus tidak lagi menjadi alat pemerataan, tetapi menjadi alat politisasi.
Ketiga, Otsus berfokus pada angka, bukan transformasi sosial. Banyak anggaran habis untuk hal-hal yang bersifat administratif atau fisik bukan pemberdayaan yang berkelanjutan seperti pendidikan vokasi, penguatan koperasi adat, dan pembangunan ekonomi kampung.
Dan keempat, Otsus tidak berjalan beriringan dengan perlindungan hak ulayat. Bahkan di beberapa wilayah, dana Otsus lebih digunakan untuk membuka akses bagi proyek-proyek yang justru mengancam ruang hidup masyarakat adat.
Dengan kata lain, Otsus gagal karena ia tidak diintegrasikan dengan visi pembangunan yang benar-benar berasal dari masyarakat Papua. Ia lebih mirip “tambahan bensin” untuk mesin yang rusak desainnya.@arkam
Ketika Otsus diberlakukan pada tahun 2001, banyak orang berpikir bahwa inilah jalan menuju kemandirian. Dengan dana yang besar yang mencapai triliunan rupiah per tahun Papua diharapkan mampu memperbaiki pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pelayanan publik. Secara teori, fleksibilitas fiskal dari Otsus memungkinkan daerah merancang pembangunan sesuai kebutuhan lokal.
Namun, setelah dua dekade, hasilnya sangat campuran. Beberapa kabupaten menunjukkan kemajuan, tetapi banyak wilayah lain masih berada dalam lingkaran kemiskinan dan minim layanan dasar. Kenapa ini terjadi?
Pertama, kapasitas birokrasi lokal belum memadai. Dana besar tanpa keahlian perencanaan dan pengawasan membuat program sering tidak tepat sasaran. Banyak proyek infrastruktur dibangun tanpa perawatan, banyak pelatihan dilakukan tanpa evaluasi hasil, dan banyak program sosial tidak sinkron dengan kebutuhan lapangan.
Kedua, akuntabilitas dan transparansi lemah. Dana yang seharusnya mendorong kemakmuran kerap terjebak dalam jaringan patronase, birokrasi yang berlapis-lapis, dan kebijakan yang tidak terkoordinasi. Pada titik ini, Otsus tidak lagi menjadi alat pemerataan, tetapi menjadi alat politisasi.
Ketiga, Otsus berfokus pada angka, bukan transformasi sosial. Banyak anggaran habis untuk hal-hal yang bersifat administratif atau fisik bukan pemberdayaan yang berkelanjutan seperti pendidikan vokasi, penguatan koperasi adat, dan pembangunan ekonomi kampung.
Dan keempat, Otsus tidak berjalan beriringan dengan perlindungan hak ulayat. Bahkan di beberapa wilayah, dana Otsus lebih digunakan untuk membuka akses bagi proyek-proyek yang justru mengancam ruang hidup masyarakat adat.
Dengan kata lain, Otsus gagal karena ia tidak diintegrasikan dengan visi pembangunan yang benar-benar berasal dari masyarakat Papua. Ia lebih mirip “tambahan bensin” untuk mesin yang rusak desainnya.@arkam
No comments:
Post a Comment