Sunday, November 23, 2025

Ekonomi Sagu & Jalan Pulang Investasi Sorong Selatan


arkam

Dalam dunia ekonomi modern, investasi sering dipahami sebatas angka grafik yang naik, indeks yang bergerak, atau laporan pembangunan yang disusun rapi dalam dokumen perencanaan. Namun, bila kita berhenti sejenak dan mendengarkan bisikan kehidupan sehari-hari di Papua, kita menemukan bahwa investasi bukanlah sekadar perhitungan, melainkan cara sebuah daerah memahami dirinya sendiri.

Ekonomi jalanan suara para pedagang, petani, mama-mama di pasar, hingga anak-anak kecil yang menangis minta makan adalah suara paling jujur tentang kondisi sebuah wilayah. Di tengah berbagai kajian teoretis dan laporan lembaga besar, suara inilah yang sering hilang. Padahal, justru dari sinilah filsafat ekonomi harus tumbuh: dari manusia, dari kebiasaan makan mereka, dari apa yang membuat mereka kenyang, dan apa yang membuat mereka hidup.

Ketika kita membicarakan potensi Papua, kita sudah melewati tahap sekadar bermimpi. Tanah ini tidak lagi berbicara tentang “akan dikembangkan,” melainkan “sedang menunggu disentuh dengan cara yang benar.” Dan salah satu kisah paling filosofis, sekaligus paling ekonomis, hadir dari satu kata sederhana: sagu.

Sagu pernah menjadi identitas pangan orang Papua, bukan sekadar makanan, tetapi ritus, budaya, dan tanda hubungan harmonis antara manusia dan alam. Dahulu, orang bisa mengatakan dengan pasti bahwa sagu adalah makanan pokok. Tetapi kini, kita dihadapkan pada kenyataan baru: anak-anak menangis minta makan bukan karena ingin papeda, tapi karena ingin nasi. Ini bukan sekadar perubahan selera; ini adalah pergeseran budaya ekonomi.

Di satu sisi, sagu masih diproduksi berlimpah. Namun di sisi lain, pasar yang seharusnya menyerapnya semakin mengecil. Lalu muncul pertanyaan yang tampaknya sederhana, namun sebetulnya sangat filosofis:
Jika sagu berlimpah, tetapi tidak dimakan, apakah itu masih disebut potensi?

Inilah paradoks ekonomi Papua: melimpahnya bahan baku tidak selalu berarti hadirnya nilai. Kekayaan alam tidak otomatis berubah menjadi kesejahteraan. Kita sering terjebak pada logika: "Ada produksi berlebih? Bangun pelabuhan! Bangun pasar! Cari ekspor!" Padahal, sebelum membangun infrastruktur yang besar dan mahal, pertanyaan yang paling jujur adalah:

Siapa sebenarnya yang membutuhkan sagu itu? Dan bagaimana ia bisa kembali hidup dalam kultur ekonomi masyarakat?

Filsafat ekonomi mengajarkan bahwa investasi tidak boleh dimulai dari gedung, pelabuhan, atau dokumen proyek. Investasi yang paling mendasar adalah investasi makna pemahaman tentang apa yang benar-benar dibutuhkan manusia sebagai titik pusat pembangunan.

Sorong Selatan tidak butuh solusi besar yang tidak menyentuh akar masalah. Yang dibutuhkan adalah ekosistem nilai, bukan sekadar proyek. Yaitu, ruang di mana para pemain lokal diberi kesempatan untuk mengolah sagu, menambah nilai, dan mengubahnya menjadi produk turunan yang menjawab kebutuhan nyata masyarakat.

Di sinilah ekonomi kembali menjadi percakapan keluarga: (1) Bagaimana membuat sagu kembali menjadi makanan yang membanggakan?; (2) Bagaimana mempertemukan tradisi dengan inovasi?; (3) Bagaimana agar rantai nilai sagu tidak berhenti di hutan, tetapi terus bergerak hingga ke dapur warga?

Investasi sejati tidak memaksa masyarakat mengubah diri agar cocok dengan pasar; investasi sejati membuat pasar tumbuh dari kebiasaan masyarakat itu sendiri. Karena hanya dengan cara itu, ekonomi dapat berdiri di atas fondasi yang kokoh: kultur, kebutuhan, dan kedaulatan pangan.

Papua Barat Daya harus mulai dari hal yang paling sederhana namun paling penting: memastikan bahwa kebutuhan gizi dan pangan masyarakatnya terpenuhi oleh apa yang lahir dari tanahnya sendiri. Ketika usaha mikro kecil yang bergerak di rantai nilai sagu tumbuh, maka nilai ekonomi setempat akan mengalir secara organik, bukan dipaksakan.

Pada akhirnya, ekonomi bukan hanya tentang uang yang bergerak. Ekonomi adalah cerita bagaimana masyarakat mempertahankan martabat hidupnya. Dan dalam cerita Papua, sagu adalah halaman penting yang tidak boleh hilang.

Jika kita membaca ekonomi dengan cara yang lebih lembut, lebih filosofis, kita akan menemukan bahwa investasi terbaik selalu dimulai dari rumah dari apa yang kita makan, dari apa yang kita anggap penting, dari apa yang membuat kita merasa menjadi diri sendiri.

Sagu bukan hanya bahan pangan. Ia adalah tanda bahwa Papua masih punya identitas, dan identitas itulah yang paling layak diinvestasikan.@arkam

No comments:

Post a Comment

MENCARI MAYBRAT

RUMAH DALAM DIRI

arkam Menulis bukan sekadar merangkai huruf, bukan pula kegiatan mengisi lembar kosong demi sebuah cerita. Menulis adalah jalan pulang, sebu...