Sunday, November 23, 2025

RENT-SEEKING PAPUA

arkam

Rent-seeking di Papua bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi sebuah pola relasi kekuasaan yang terbentuk selama puluhan tahun. Konsep ini menjelaskan bagaimana aktor politik dan birokrasi memperoleh keuntungan tanpa menciptakan nilai tambah bagi rakyat Papua. Dari sini, kita melihat titik awal bagaimana struktur pemerintahan dan pembangunan menjadi rapuh, karena energi negara tidak tertuju pada pelayanan publik, tetapi pada perebutan rente yang berasal dari anggaran negara, sumber daya alam, dan proyek-proyek strategis.

Fenomena ini muncul dari sejarah panjang ketimpangan pembangunan yang diwariskan sejak masa kolonial hingga integrasi Papua ke dalam Indonesia. Ketika Orde Baru memperkenalkan model pembangunan sentralistik, Papua dijadikan daerah ekstraksi ekonomi khususnya tambang, kayu, dan perkebunan. Pola tersebut menciptakan budaya birokrasi yang melihat anggaran pemerintah sebagai ladang keuntungan, bukan amanah untuk melayani warga. Dari pola inilah rent-seeking menemukan tanah suburnya.

Memasuki era Otonomi Khusus, rent-seeking bukan melemah, justru menemukan bentuk baru. Anggaran besar yang digelontorkan pusat yang semestinya menjadi alat koreksi ketertinggalan berubah menjadi komoditas politik. Para elite lokal bersaing menjadi “penjaga gerbang” anggaran Otsus. Transisi dari era pusat menuju era lokal tidak diiringi transformasi nilai-nilai kepemimpinan, sehingga kekuasaan hanya berpindah tangan tanpa perubahan paradigma.

Dinamika ini semakin diperparah oleh lemahnya kapasitas kelembagaan di tingkat provinsi, kabupaten, dan distrik. Ketika institusi pengawasan tidak kuat, rent-seeking mudah beroperasi dalam ruang gelap birokrasi: mulai dari markup proyek pembangunan jalan, manipulasi data penduduk miskin, hingga penunjukan kontraktor tanpa mekanisme transparan. Setiap celah administratif menjadi peluang keuntungan pribadi bagi aktor-aktor tertentu yang memiliki akses pada kekuasaan.

Namun rent-seeking di Papua tidak hanya terjadi di lembaga pemerintahan; ia juga merasuki hubungan antara elit lokal dan kapital besar dari luar Papua. Banyak perusahaan tambang, hutan, dan perkebunan melakukan kolaborasi tersembunyi dengan oknum pejabat, yang kemudian memicu marginalisasi orang asli Papua dari tanah adat dan sumber ekonomi mereka. Transisi ini memperjelas bahwa rent-seeking tidak hanya menciptakan kerugian fiskal, tetapi juga memperdalam ketidakadilan struktural.

Konsekuensi sosialnya sangat terasa. Ketika anggaran publik tersedot ke dalam praktik rent-seeking, ruang untuk pelayanan dasar semakin menyempit. Pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tidak berkembang secepat aliran dana yang masuk setiap tahun. Masyarakat Papua melihat sekolah roboh, puskesmas tanpa obat, dan jalan yang rusak, sementara laporan keuangan mencatat proyek-proyek tersebut sebagai “selesai dan berhasil.” Realitas seperti ini membuat masyarakat semakin kehilangan kepercayaan pada pemerintah.

Krisis kepercayaan ini menciptakan lingkaran setan baru: masyarakat yang apatis, elit yang makin leluasa, dan lembaga yang semakin lemah. Ketika partisipasi publik rendah, tidak ada tekanan yang memaksa pemerintah untuk memperbaiki tata kelola. Akibatnya, pola rent-seeking terus berulang dari satu periode pemerintahan ke periode berikutnya. Di sinilah kita melihat bagaimana korupsi tidak lagi berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari sistem politik yang sudah terlanjur terbentuk.

Di sisi lain, perubahan politik nasional dan pemekaran wilayah di Papua seringkali dijual sebagai solusi, tetapi kenyataannya justru membuka ruang baru bagi rent-seeking. Pembentukan daerah baru berarti anggaran baru, jabatan baru, dan proyek baru yang semuanya bisa menjadi insentif bagi elite untuk mempertahankan dominasi. Tanpa reformasi tata kelola, pemekaran hanya memperbanyak “kantong rente” yang tersebar di berbagai kabupaten dan provinsi baru.

Meski demikian, bukan berarti Papua tidak memiliki harapan. Banyak komunitas adat, gereja, akademisi, dan pemimpin muda yang mulai mendorong transparansi dan model pembangunan yang berakar pada nilai leluhur Papua: kejujuran, musyawarah, dan tanggung jawab komunal. Gerakan-gerakan lokal inilah yang mulai menawarkan alternatif terhadap pola rent-seeking. Dengan basis nilai lokal, mereka mencoba membangun kembali legitimasi sosial yang selama ini hilang.

Pada akhirnya, membatasi rent-seeking bukan hanya soal memperkuat lembaga, tetapi juga melakukan transformasi dalam budaya kepemimpinan. Papua membutuhkan pemimpin yang tidak hanya menempati jabatan, tetapi memposisikan diri sebagai penjaga masa depan rakyat. Ketika nilai-nilai leluhur dipadukan dengan sistem modern yang transparan, Papua memiliki peluang untuk melahirkan tata kelola baru yang bebas dari rente. Maka, masa depan Papua tidak akan ditentukan oleh besarnya anggaran, tetapi oleh keberanian moral untuk memutus rantai rent-seeking.@arkam

No comments:

Post a Comment

MENCARI MAYBRAT

RUMAH DALAM DIRI

arkam Menulis bukan sekadar merangkai huruf, bukan pula kegiatan mengisi lembar kosong demi sebuah cerita. Menulis adalah jalan pulang, sebu...