Sunday, November 23, 2025

VISI EKONOMI PAPUA


arkam

Perjalanan memahami ekonomi Papua selalu dimulai dari sebuah ruang yang sunyi: ruang antara harapan dan ketidaktahuan. Di sanalah komunikasi publik menjadi satu-satunya jalan untuk merawat kewarasan kolektif. Ketika ruang negara sunyi, dan ruang akademik kadang tertutup, maka suara-suara jalanan justru menjadi laboratorium intelektual pertama bagi orang Papua. Dari pasar, dermaga, jalan raya, hingga lobi kantor-kantor pemerintah, orang Papua bertanya satu hal yang sama: apa sebenarnya visi ekonomi Papua?

Pertanyaan ini bukan baru muncul hari ini. Ia lahir dari gelombang sejarah yang berulang kali memukul pesisir Papua, menyapu jejak-jejak naskah pengetahuan lokal yang mungkin pernah ada, tetapi terkubur bersama masuknya peradaban dari luar. Pengetahuan ekonomi dalam pengertian sebagai sistem pengelolaan sumber-sumber kehidupan barangkali pernah hidup dalam ritus, simbol, dan praktik keseharian leluhur Papua. Namun arus kolonialisme datang seperti ombak besar yang menenggelamkan naskah-naskah itu sebelum sempat ditulis.

Ironisnya, bekas-bekas kolonial justru lebih mudah ditemukan ketimbang jejak pemikiran ekonomi orang Papua sendiri. Catatan Portugis, Belanda, dan ekspedisi ilmiah Barat terdokumentasi rapi, sementara khazanah ekonomi lokal hanya tersisa dalam cerita lisan yang tidak pernah teradministrasi dalam bahasa ekonomi modern. Akibatnya, sejarah memandang Papua seolah-olah “tanah kosong” wilayah yang jauh dari pertimbangan ekonomi Nusantara dan dunia pada masa itu. Dan dari sinilah asumsi keliru mulai bekerja: bahwa orang Papua belum memiliki konsep ekonomi sebelum kolonial datang.

Padahal, keterlambatan ekonomi Papua bukanlah soal ketidakmampuan, melainkan soal pencatatan sejarah yang timpang.

Lihat saja bagaimana kawasan Nusantara lain seperti Jawa, Sumatra, dan Sulawesi memasuki modernisasi ekonomi melalui perkebunan-perkebunan kolonial skala besar. Ketika kapitalisme perkebunan membuka akses bagi tenaga kerja, administrasi, transportasi, dan pasar, seluruh jejaring ekonomi lokal secara perlahan terserap dalam arus modernitas. Namun Papua berada di luar jaringan itu bukan karena tidak mampu, tetapi karena dianggap terlalu jauh, terlalu liar, dan terlalu tidak menguntungkan dalam kalkulasi kolonial.

Peta perjalanan Portugis di abad ke-16 hingga ke-20 menguatkan kenyataan itu. Pelabuhan pertama yang mereka buka di Kampung Lobo yang dinamai dari kata “lobo” atau serigala dalam bahasa Portugis menjadi saksi awal kontak ekonomi yang tidak pernah berkembang. Mereka datang, memberi nama, tetapi tidak memberi fondasi ekonomi apa pun. Setelah itu gereja masuk, dan fokusnya bukan pada ekonomi bumi, tetapi pada ekonomi langit. Misi Kristen dan Katolik perlahan-lahan mengubah wajah pendidikan Papua, tetapi pendidikan itu lebih diarahkan pada pembentukan guru, penerjemah Alkitab, dan pegawai administrasi gereja. Pengetahuan ekonomi modern tidak menjadi prioritas; gereja mengajarkan moralitas dan keselamatan, tetapi tidak mengajarkan pengelolaan tanah, pasar, perdagangan, nilai tambah, atau strategi pembangunan.

Di sinilah akar persoalan mulai tampak: Papua memasuki era modern tanpa mewarisi tradisi ekonomi tertulis, dan tanpa mendapatkan transfer pengetahuan ekonomi ketika kolonialisme dan misi agama hadir. Akibatnya, ketika Papua berhadapan dengan dunia modern, ia tidak memiliki “peta ekonomi” yang jelas.

Masalah ini diperparah oleh apa yang dapat disebut sebagai amnesia kepemimpinan. Para pemimpin dari masa ke masa seringkali gagal membuat diagnosis yang tepat tentang akar masalah ekonomi Papua. Kebijakan diambil tanpa kerangka ide yang kokoh. Program dibuat tanpa visi jangka panjang. Suplemen ekonomi diberikan tanpa memahami penyakit utamanya. Padahal ekonomi bukan sekadar angka dan anggaran ia adalah arah perjalanan sebuah bangsa.

Papua adalah kapal besar. Kaya sumber daya, berlimpah potensi, dan memiliki energi budaya yang luar biasa. Namun tanpa visi ekonomi, kapal itu terapung-apung, bergerak tetapi tidak pernah tiba pada tujuan. Setiap pergantian rezim ibarat kemudi yang berpindah tangan, tetapi tanpa peta, tanpa koordinat, tanpa kompas yang disepakati bersama. Pertanyaan mendasar tetap belum terjawab: ekonomi Papua ingin diarahkan ke mana? Apakah berbasis sumber daya alam? Ekonomi hijau? Ekonomi adat? Industri berbasis pengetahuan? Atau ekonomi budaya?

Hari ini, para pemikir ekonomi Papua dihadapkan pada tugas besar: membangun kembali fondasi konseptual yang hilang berabad-abad. Menyelami kembali naskah-naskah yang hilang itu, bukan untuk romantisme masa lalu, tetapi untuk membangun masa depan yang lebih jelas. Visi ekonomi Papua tidak boleh lagi lahir dari amnesia atau sekadar meniru model pembangunan luar. Ia harus lahir dari pergulatan pengetahuan, sejarah, budaya, spiritualitas, dan realitas sosial Papua sendiri.

Papua membutuhkan visi ekonomi yang benar-benar lahir dari Papua.

Tugas ini tidak mudah. Tetapi sejarah selalu memberi ruang bagi mereka yang berani membuka kembali naskah yang hilang, menuliskannya ulang, dan menjadikannya kompas bagi generasi mendatang. Bila generasi hari ini mampu membaca ulang masa lalu, mengkritisinya dengan jujur, dan membangun imajinasi ekonomi yang baru, maka untuk pertama kalinya dalam ratusan tahun, Papua akan memiliki visi ekonomi yang bukan hanya hidup tetapi juga berakar.

Papua tidak kekurangan sumber daya. Yang kurang hanyalah visi. Dan visi itu hanya bisa lahir ketika Papua berani melihat dirinya sendiri secara utuh.@arkam

No comments:

Post a Comment

MENCARI MAYBRAT

RUMAH DALAM DIRI

arkam Menulis bukan sekadar merangkai huruf, bukan pula kegiatan mengisi lembar kosong demi sebuah cerita. Menulis adalah jalan pulang, sebu...