KORUPSI KEMANUSIAAN
DI TANAH PAPUA
Korupsi di
Papua ibarat fenomena gunung ES yakni hanya sebagian kecil dari
kasus-kasus korupsi yang muncul dipermukaan dan berhasil di laporkan
relatif kecil dibandingkan dengan fakta dilapangan menunjukkan sebagian besar
aktivitas korupsi dilakukan dengan berbagai modus sehingga sulit dilacak dan
dilaporkan kepada pihak berwajib karena melibatkan berbagai pelaku yang berada
pada posisi strategis dalam pengambilan keputusan dan juga perilaku korupsi di
Papua dipengaruhi oleh budaya resiprositas (give and take), proses
alkulturasi dan perilaku individu.
Modus korupsi menggunakan tameng membangun atas
nama rakyat yakni dengan cara memberikan bantuan yang sifatnya kemanusian namun
tidak mengikuti tata aturan yang baik dan benar atau dengan kata lain bantuan
tersebut bukan dilatari motif murni kemanusiaan tetapi dilatari motiv politik
dan kekuasaan. Sementara itu, motif lain dari korupsi di Papua yakni korupsi
dilakukan dengan cara berjemah (bersama-sama) yang sistemik sifatnya
menggunakan para aktor dengan peran dan kedudukannya masing-masing dilingkungan
internal pemerintah dan diluar birokrasi pemerintah.
Internal pemerintah dan diluar birokrasi
pemerintah dilakukan dengan cara membangun dan memperkuat status kuo
dengan system nepotisme. Nepotisme menciptakan ruang terbentuknya politik
organisasi (orang dekat pejabat) yang bermain dengan para pengusaha atau
kontraktor dengan cara memberikan proyek pembangunan dengan system penunjukkan
(sub kontraktor) dengan perjanjian fee (baca Kepres 80/2003 tentang pengadaan
barang dan jasa). Rakyat kelas bawah dijadikan tameng justifikasi terhadap
symbol pembangunan atas nama kemanusiaan yang sifatnya sinter claus
(karikatif).
Catatan ini diharapkan dapat merekonstruksi
pemikiran-pemikiran yang bisa dijadikan sebagai sebuah minuman ringan saat anda
haus di dalam melihat kemajuan pembangunan di Papua dan Papua Barat dalam 10
tahun terakhir dengan dana yang teramat sangat besar hingga lebih Rp. 30
triliun untuk kedua provinsi belum memberikan kemajuan yang berarti, itu
terlihat dari taraf pertumbuhan kesejahteraan hidup masyarakat Papua yang
diperparah dengan kualitas perencanaan pembangunan daerah (UU/25/2004, tentang
system perencanaan pembangunan nasional) yang belum dilakukan dengan cerdas
dalam mempertajam strategi pembangunan Papua dan Papua Barat
melalui empat sektor prioritas sebagai leading sector implementasi
Otonomi Khusus Papua yaitu : pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan
infrastruktur yang dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada indikator-indikator
standart pembangunan dari keempat sektor dimaksud serta perlunya formulasi yang
jelas antara issu-issu prioritas yang bersifat nasional dan sektor-sektor
prioritas yang bersifat kedaerahan terutama dalam kerangka semangat otonomi
khusus melalui klaster pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dasar
masyarakat Papua dan Papua Barat.
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)
No comments:
Post a Comment