arkam
Ada suatu masa ketika ekonomi bagi orang Papua hanyalah gema yang datang dari jauh seperti bisikan angin dari pulau-pulau yang tidak terlihat. Di jalanan tanah yang luas, orang-orang berdagang bukan karena tahu arah hidup, tetapi karena hidup memaksa mereka belajar bertahan. Ekonomi bagi mereka bukanlah teori, melainkan naluri untuk tetap bernapas.
Kita tumbuh dalam ketidaksengajaan sejarah. Generasi pertama di tanah ini menerima peradaban bukan sebagai ilmu, tetapi sebagai perintah. Mereka diajari untuk patuh, bukan untuk bertanya. Mereka dibentuk untuk mendengar, bukan memahami. Mereka diberi iman, tetapi tidak diberi peta untuk berjalan di dunia yang berubah cepat. Mereka mengenal doa, tetapi tidak diajari rumus pasar. Mereka belajar berserah, namun tidak pernah benar-benar belajar berdagang.
Mungkin itulah sebabnya kita hari ini berjalan seperti mencari rumah yang hilang. Kita melangkah dengan hati yang besar tetapi kompas yang tumpul. Kita punya keberanian, tetapi tidak punya peta. Kita punya tanah yang luas, tetapi tidak punya arah untuk memetakannya menjadi nilai.
Ketika Belanda datang, Papua tidak dilihat sebagai tanah ekonomi. Bagi mereka, tanah ini hanyalah tembok besar di timur pos penjagaan, bukan pusat perdagangan. Pasar-pasar besar tumbuh di Jawa, Sumatra, dan Maluku. Sementara Papua dijadikan halaman belakang dari sebuah rumah besar bernama Hindia Belanda. Wajar jika ekonomi tidak pernah diajarkan. Yang diajarkan justru membaca doa, menerjemahkan kitab, dan melayani altar. Pendidikan diberikan sebagai tanda kasih, bukan sebagai jalan untuk naik kelas.
Pengetahuan yang diwariskan pun akhirnya tidak tumbuh dari tanah ekonomi. Kita hanya belajar “menjual merpati” sebuah simbol tentang kecilnya ruang ekonomi yang diberikan, sekaligus kecilnya mimpi yang bisa dilahirkan pada masa itu. Kita dibentuk untuk hidup sederhana, cukup, tetapi tidak pernah diajarkan bagaimana membangun kesejahteraan.
Namun waktu berubah. Dunia memaksa kita untuk berdiri, bukan sekadar berjalan. Kita mulai menyadari bahwa masa lalu bukan lagi rujukan terbaik untuk hidup hari ini. Kita harus mengakui bahwa generasi lama berjalan tanpa bekal, tetapi generasi baru tidak boleh lagi meneruskan langkah yang sama.
Kita perlu menciptakan konsep ekonomi bumi, bukan ekonomi langit. Ekonomi yang membumi pada cerita kita, nilai kita, budaya kita. Ekonomi yang tidak memaksa kita menjadi orang lain, tetapi menguatkan siapa diri kita. Ekonomi yang tumbuh dari tanah yang kita pijak, bukan dari teori yang datang lewat kapal.
Ekonomi bumi adalah ekonomi yang menuntun kita menemukan kembali kompas yang hilang: kompas yang menghubungkan tanah, identitas, dan masa depan.
Kita tidak lagi hanya “menjual merpati”. Kita sedang belajar menjual gagasan, keahlian, hasil bumi, karya seni, teknologi, dan harapan. Kita sedang belajar bahwa ekonomi bukan hanya soal uang itu soal cara merawat hidup.
Dan barangkali, inilah perjalanan baru kita: perjalanan mencari kembali identitas yang dulu tertinggal di persimpangan sejarah.@arkam
Ada suatu masa ketika ekonomi bagi orang Papua hanyalah gema yang datang dari jauh seperti bisikan angin dari pulau-pulau yang tidak terlihat. Di jalanan tanah yang luas, orang-orang berdagang bukan karena tahu arah hidup, tetapi karena hidup memaksa mereka belajar bertahan. Ekonomi bagi mereka bukanlah teori, melainkan naluri untuk tetap bernapas.
Kita tumbuh dalam ketidaksengajaan sejarah. Generasi pertama di tanah ini menerima peradaban bukan sebagai ilmu, tetapi sebagai perintah. Mereka diajari untuk patuh, bukan untuk bertanya. Mereka dibentuk untuk mendengar, bukan memahami. Mereka diberi iman, tetapi tidak diberi peta untuk berjalan di dunia yang berubah cepat. Mereka mengenal doa, tetapi tidak diajari rumus pasar. Mereka belajar berserah, namun tidak pernah benar-benar belajar berdagang.
Mungkin itulah sebabnya kita hari ini berjalan seperti mencari rumah yang hilang. Kita melangkah dengan hati yang besar tetapi kompas yang tumpul. Kita punya keberanian, tetapi tidak punya peta. Kita punya tanah yang luas, tetapi tidak punya arah untuk memetakannya menjadi nilai.
Ketika Belanda datang, Papua tidak dilihat sebagai tanah ekonomi. Bagi mereka, tanah ini hanyalah tembok besar di timur pos penjagaan, bukan pusat perdagangan. Pasar-pasar besar tumbuh di Jawa, Sumatra, dan Maluku. Sementara Papua dijadikan halaman belakang dari sebuah rumah besar bernama Hindia Belanda. Wajar jika ekonomi tidak pernah diajarkan. Yang diajarkan justru membaca doa, menerjemahkan kitab, dan melayani altar. Pendidikan diberikan sebagai tanda kasih, bukan sebagai jalan untuk naik kelas.
Pengetahuan yang diwariskan pun akhirnya tidak tumbuh dari tanah ekonomi. Kita hanya belajar “menjual merpati” sebuah simbol tentang kecilnya ruang ekonomi yang diberikan, sekaligus kecilnya mimpi yang bisa dilahirkan pada masa itu. Kita dibentuk untuk hidup sederhana, cukup, tetapi tidak pernah diajarkan bagaimana membangun kesejahteraan.
Namun waktu berubah. Dunia memaksa kita untuk berdiri, bukan sekadar berjalan. Kita mulai menyadari bahwa masa lalu bukan lagi rujukan terbaik untuk hidup hari ini. Kita harus mengakui bahwa generasi lama berjalan tanpa bekal, tetapi generasi baru tidak boleh lagi meneruskan langkah yang sama.
Kita perlu menciptakan konsep ekonomi bumi, bukan ekonomi langit. Ekonomi yang membumi pada cerita kita, nilai kita, budaya kita. Ekonomi yang tidak memaksa kita menjadi orang lain, tetapi menguatkan siapa diri kita. Ekonomi yang tumbuh dari tanah yang kita pijak, bukan dari teori yang datang lewat kapal.
Ekonomi bumi adalah ekonomi yang menuntun kita menemukan kembali kompas yang hilang: kompas yang menghubungkan tanah, identitas, dan masa depan.
Kita tidak lagi hanya “menjual merpati”. Kita sedang belajar menjual gagasan, keahlian, hasil bumi, karya seni, teknologi, dan harapan. Kita sedang belajar bahwa ekonomi bukan hanya soal uang itu soal cara merawat hidup.
Dan barangkali, inilah perjalanan baru kita: perjalanan mencari kembali identitas yang dulu tertinggal di persimpangan sejarah.@arkam
No comments:
Post a Comment