TITIK
API MEMBAKAR PETA INDONESIA.
Pembentukan
Papua menjadi 2 (dua) bagian membuat orang Papua mendiami 2 (dua) wilayah
administrasi pemerintahan yaitu Papua di Jayapura dan Papua Barat di Manokwari. Pembagian wilayah inilah yang membuat terbentuknya persaingan
lokal antar wilayah semakin tidak sehat dengan harga yang harus dibayar adalah
longarnya budaya Papua.
Pemekaran papua
dilakukan dengan kajian utama menjaga keutuhan peta Indoneia dari ancaman
kebakaran, karen orang Papua setiap hari, setiap detik melakukan lobi-lobi
politik mencari dukunggan Internasional beralasan karena terjadi pelangaran ham
besar dan perampasan hak masyarakat pribumi akan sumber daya alam mereka yang
sampai saat ini belum diselesaikan Jakarta.
Ketidak puasan
ini mulai diperparah dengan pembentukan daerah otonom baru (DOB) yang secara
sporadis dilakukan Jakarta tanpa melihat aspek-aspek ekonomi. Hal ini dikarenakan
ada desakan politik dalam menjaga keutuhan peta Indonesia dari titik api yang
mulai dan akan sedang membakar peta Indonesia.
Anak Papua
saat ini mereka adalah generasi mudah yang bertransformasi dari anak kampung
menjadi anak terdidik mulai mengeliat memperjuangkan hak-hak hidup orang Papua dalam
mencari pengakuan atas tanah mereka secara universal.
Dalam kaitan
itu memebaca selebaran mahasiswa Papua yang tergabung dalam forum Kualisis
Mahasiswa Papua Bangkit (KMPB), untuk melakukan aksi demo damai Senin tanggal 07/10/2013
menarik untuk disimak serta ditelah dalam latar alamiah agar kacamata
masing-masing individu tidak memunculkan sebuah stikma negatif tentang aksi
sosial mahasiswa adalah muatan politis dan tidak murni memperjuangkan hak-hak
masyarakat Papua secara utuh.
Agenda demo
mahasiswa berkaitan dengan pembentukan daerah otonom baru (DOB), KKN dengan cara yang sistematis membangun dinasti politik yang menyebabkan demokrasi tidak berjalan
baik. Hal ini bisa dilihat pemekaran wilayah baru dilaksanakan hanya untuk
mempertahankan distribusi ekonomi dan kekuasaan kelompok-kelompok tertentu
karena sistem kepemimpinan yang dibangun menurut kacama penulis berbentuk
kepemimpinan komunal dimana seseorang yang berasal dari kelompok kepentingan
menjadi pemimpin yang terutama diperhatikan adalah kelompoknya dalam hal
distribusi ekonomi alias pendapatan sementara masyarakat hanya menjadi objek
semata.
Dalam memasuki era globalisasi dan otonomi khusus
sebagai sarana untuk menjembatani masyarakat
Papua mengejar mimpi menjadi tuan di tanah sendiri dirasakan belum berjalan
dengan baik ini dikarenakan konsep pembangunan semua wilayah Papua diseragamkan
yang pada akhirnya tidak berjalan, misalnya kesehatan : tingginya tingkat
kematian ibu, tingginya tingkat kematian bagi, tingginya status kurang gizi,
tingginya penyakit menular : malaria, HIV-Aid, sementara masalah pendidikan :
masih tingginya anak putus sekolah, butah aksara, tingginya anak usia sekolah
yang tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi karena keterbatasan ekonomi,
itu pun masih sama dengan pembangunan infrastruktur dasar misalnya akses
masyarakat mendapatkan air bersih, penerangan dan lain-lain.
Fenomena ini
apabila di hubungkan dengan aksi-aksi mahasiswa menolak otonomi khusus memang
mutlak harus diterima dan perlu ada kesadaran kolektif pemerintah Jakarta
dengan Papua bahwa tuntutan perubahan merupakan sebuah keharusan untuk memperbaiki
sistem penyelenggaraan pemerintahan agar tujuan otonomi khusus bisa berjalan
sesuai yang diharapkan bersama dan mungkin sangat penting memadamkan titik api
yang sedang terus membakar peta Indonesia.
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)
No comments:
Post a Comment