Sunday, November 10, 2013

TITIK API MEMBAKAR PETA INDONESIA.



TITIK API MEMBAKAR PETA INDONESIA.


Pembentukan Papua menjadi 2 (dua) bagian membuat orang Papua mendiami 2 (dua) wilayah administrasi pemerintahan yaitu Papua di Jayapura dan Papua Barat di Manokwari. Pembagian wilayah inilah yang membuat terbentuknya persaingan lokal antar wilayah semakin tidak sehat dengan harga yang harus dibayar adalah longarnya budaya Papua.

Pemekaran papua dilakukan dengan kajian utama menjaga keutuhan peta Indoneia dari ancaman kebakaran, karen orang Papua setiap hari, setiap detik melakukan lobi-lobi politik mencari dukunggan Internasional beralasan karena terjadi pelangaran ham besar dan perampasan hak masyarakat pribumi akan sumber daya alam mereka yang sampai saat ini belum diselesaikan Jakarta.

Ketidak puasan ini mulai diperparah dengan pembentukan daerah otonom baru (DOB) yang secara sporadis dilakukan Jakarta tanpa melihat aspek-aspek ekonomi. Hal ini dikarenakan ada desakan politik dalam menjaga keutuhan peta Indonesia dari titik api yang mulai dan akan sedang membakar peta Indonesia.

Anak Papua saat ini mereka adalah generasi mudah yang bertransformasi dari anak kampung menjadi anak terdidik mulai mengeliat memperjuangkan hak-hak hidup orang Papua dalam mencari pengakuan atas tanah mereka secara universal.

Dalam kaitan itu memebaca selebaran mahasiswa Papua yang tergabung dalam forum Kualisis Mahasiswa Papua Bangkit (KMPB), untuk melakukan aksi demo damai Senin tanggal 07/10/2013 menarik untuk disimak serta ditelah dalam latar alamiah agar kacamata masing-masing individu tidak memunculkan sebuah stikma negatif tentang aksi sosial mahasiswa adalah muatan politis dan tidak murni memperjuangkan hak-hak masyarakat Papua secara utuh.

Agenda demo mahasiswa berkaitan dengan pembentukan daerah otonom baru (DOB), KKN dengan cara yang sistematis membangun dinasti politik  yang menyebabkan demokrasi tidak berjalan baik. Hal ini bisa dilihat pemekaran wilayah baru dilaksanakan hanya untuk mempertahankan distribusi ekonomi dan kekuasaan kelompok-kelompok tertentu karena sistem kepemimpinan yang dibangun menurut kacama penulis berbentuk kepemimpinan komunal dimana seseorang yang berasal dari kelompok kepentingan menjadi pemimpin yang terutama diperhatikan adalah kelompoknya dalam hal distribusi ekonomi alias pendapatan sementara masyarakat hanya menjadi objek semata.

Dalam  memasuki era globalisasi dan otonomi khusus sebagai sarana untuk menjembatani  masyarakat Papua mengejar mimpi menjadi tuan di tanah sendiri dirasakan belum berjalan dengan baik ini dikarenakan konsep pembangunan semua wilayah Papua diseragamkan yang pada akhirnya tidak berjalan, misalnya kesehatan : tingginya tingkat kematian ibu, tingginya tingkat kematian bagi, tingginya status kurang gizi, tingginya penyakit menular : malaria, HIV-Aid, sementara masalah pendidikan : masih tingginya anak putus sekolah, butah aksara, tingginya anak usia sekolah yang tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi karena keterbatasan ekonomi, itu pun masih sama dengan pembangunan infrastruktur dasar misalnya akses masyarakat mendapatkan air bersih, penerangan dan lain-lain.

Fenomena ini apabila di hubungkan dengan aksi-aksi mahasiswa menolak otonomi khusus memang mutlak harus diterima dan perlu ada kesadaran kolektif pemerintah Jakarta dengan Papua bahwa tuntutan perubahan merupakan sebuah keharusan untuk memperbaiki sistem penyelenggaraan pemerintahan agar tujuan otonomi khusus bisa berjalan sesuai yang diharapkan bersama dan mungkin sangat penting memadamkan titik api yang sedang terus membakar peta Indonesia.

(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)

No comments:

Post a Comment

MENCARI MAYBRAT

TERSENYUM

Tahun ini awan terlihat gelap dipandang memakai kacamata jiwa, tahun penuh kecemasan, keraguan, kembimbangan, kepedihan yang datang dan per...