BERSIMPUH DI PARA-PARA ADAT PAPUA
Bila kita mengikuti alur berpikir antitesis diatas, diperlukan
proses penyadaran rakyat sebagai awal penanaman pemahaman akan perannya dalam
berkontribusi untuk menghadapi tantangan pembangunan. Butuh komunikasi dua
arah, mensyaratkan dialog tatap muka, memerlukan kesamaan bahasa, keselarasan
emosi dan butuh kesediaan untuk menghargai perbedaan-perbedaan. Untuk itu
dialog bersama, tingkat nasional, regional maupun lokal menjadi langkah-langkah
penting.
Dialog yang dimaksud disini adalah wahana tukar menukar pikiran,
silang informasi dan sosialisasi permasalahan, membangun persepsi bersama serta
merekayasa kesepakatan bersama untuk sesuatu yang kongkrit (action plan). Untuk sampai kepada
tahapan ini, partisipan dialog harus memiliki informasi standar dan kesetaraan
bahasa. Konstitusi sudah menggariskan perihal dialog ini, dikenal sebagai
musyawarah. Wahana dialog dalam istilah musyawarah ini mestilah efektif,
artinya tidak berkumpul secara fisik saja, melainkan bertemu dalam alur fikiran
sedemikian konstruktif sehingga mampu memberi dorongan positif kearah aktifitas
nyata.
Kenyataan selama ini, umumnya musyawarah cenderung kehilangan hakikat. Forum lebih
merupakan seremoni legitimatif untuk pengesahan suatu hal. Ia lebih berupa
stempel terhadap kebijakan pemerintah dengan dasar bahwa kebijakan itu
merupakan partisipasi dan kontribusi masyarakat. Musyawarah tak banyak lagi
maknanya, ia telah kehilangan nilai sakralitas.
Bila kita tetap berharap musyawarah sebagai titik masuk bagi
pendorong peran serta, maka perlu format baru dengan semangat yang relevan.
Perlu dinamika, perlu re-orientasi berlandaskan kesadaran akan masa depan.
Musyawarah, yang sejak dulu menjadi bagian dalam dinamika
pengelolaan komunal Kampung di Papua
masih merupakan sarana palihg tepat untuk menjembatani penyampaian
berbagai masalah. Forum yang dapat dipilih sebagai sarana strategis untuk jalur
komunikasi pembangunan dari pemerintah kepada masyarakat. Dialog yang
"nyambung" telah terbukti dapat menyelesaikan berbagai persoalan
internal maupun eksternal Kampung, baik urusan individu maupun kasus sengketa
sumber daya. Mulai dari helat Kampung, pertanian sampai upacara ritual
keagamaan. Dialog sebagai titik masuk harusnya efektif bagi upaya pengembangan
sumber daya manusia Kampung menyongsong globalisasi dengan era otonomi sebagai
suasana pendukungnya.
Bagaimanapun wujudnya forum itu kini, terlepas dari efektif atau
tidak, ia masih terasa ada di masyarakat. Masih memiliki akar dan masih menjadi
tumpuan harapan masyarakat, terutama bila ingin mencapai tujuan yang bersifat
kolektif. Bila forum terasa mandul akibat diformalkan menjadi perangkat desa,
maka pilihannya adalah meninggalkan keformalan itu. Sehingga untuk itu
antitesis berupa musyawarah murni yang kreatif partisipatif perlu
diketengahkan.
Pola musyawarah murni yang dimaksud bukan sekedar "ketemu
fisik", melainkan "ketemu pikiran dan ketemu hati". Meeting of mind kata para bijak bestari.
Artinya dialog setara yang totalitas dapat berkembang dalam merumuskan
pilihan-pilihan pembangunan. Bila selama ini forum didominasi oleh elit desa,
maka harus diciptakan mekanisme baru di pedesaan yang menjamin tertutupnya
peluang elit desa mendominasi pengambilan keputusan. Bila aparat desa kini
sekedar pelaksana kebijaksanaan aparat yang lebih tinggi, maka kedepan ia harus
diberi keleluasaan dalam merumuskan kebijaksaan sendiri bersama warganya. Jadi
intinya, perlu re-orientasi menyeluruh, struktural maupun non-struktural (top down approach ke bottom-up process).
Perubahan dari top down
approach ke bottom-up process memerlukan penyempurnaan gaya kepemimpinan
dari aparat pemerintah. Aparat pemerintahan perlu orientasi baru, dari
orientasi berpola birokratis struktural formalistis ke orientasi berpola
partisipatif informal non-struktural. Perubahan orientasi yang jelas dirasakan
sangat berat karena akan banyak mengurangi wewenang para aparat yang selama ini umumnya mendominasi hampir seluruh
kebijaksanaan pembangunan. Berubah menjadi sekedar "hanya membina dan
mengayomi" saja. Istilahnya aparat adalah fasilitator belaka.
Tapi pilihan gaya kepemimpinan ini sudah menjadi kecenderungan
gaya kepemimpinan masa depan, dimana gaya struktural akan menjadi semakin
kurang populer karena pengelolaan pembangunan cukup membutuhkan gaya manajerial
saja. Hal ini seiring dengan "semakin cerdasnya" masyarakat pedesaan
kita akibat berbagai akses yang didapat dari hasil kemajuan pembangunan.
Pendekatan partisipatif mempertimbangkan pola sosial budaya lokal
dan tata nilai setempat. Artinya tak mungkin diseragamkan. Perimbangan akan
keterbatasan potensi lokal dalam merancang perencanaan pembangunan adalah
pilihan yang tentunya akan rumit, sehingga kemampuan adaptasi dan improvisasi
para aparat yang berfungsi sebagai manajer pembangunan dituntut untuk itu.
Disinilah letak pentingnya pendekatan musyawarah.
Musyawarah Kampung adalah sarana untuk upaya mempercepat tercapainya tujuan
pembangunan. Prakarsa untuk bermusyawarah dapat berupa hasil inisiatif
masyarakat di kampung atau adakalanya keinginan masyarakat rantau. Tidak
menjadi soal pihak manapun yang memprakarsai, masalahnya justru dalam
pengertian dialog yang akan dikembangkan. Perbedaan persepsi masyarakat rantau
itu satu soal, pendekatan yang dipakai adalah juga soal lainnya. Celakanya
tidak ada jaminan akan terbentuknya interaksi yang setara, karena belum mungkin
pihak rantau bisa menerima kenyataan persamaan posisi. Kondisi psikologis ini
akan mewarnai proses perumusan kesepakatan akan pilihan yang akan diambil.
Sedangkan justru pada proses inilah hakikat musyawarah akan bermakna.
Pada satu sisi, masyarakat rantau adalah pihak yang potensial
sebagai sumber daya pembangunan, tapi pada sisi lainnya masyarakat di Kampung
adalah pelaksana pembangunan itu sendiri. Kombinasi serasi rantau-kampung
halaman adalah jawaban dari upaya memacu pembangunan Kampung-Kampung di Papua,
sehingga kita perlu merekayasa skenario bersama dalam membangun musyawarah
sebagai sarana, dengan catatan sebagai berikut :
Untuk masa
transisi, kita memerlukan pihak lain menjadi
fasilitator untuk proses musyawarah, semacam fasilitator yang mengelola
proses tanpa keterlibatan emosional, apalagi kepentingan tertentu. Karena
biasanya, musyawarah selalu bercirikan pikiran yang tidak sistimatis; berkesan
informal; terkadang tidak terrumuskan; tidak fokus dan tentunya tidak ada
prioritas. Peran ini yang dikalangan LSM dikenal sebagai “pelancar musyawarah”.
Pihak lain yang dimaksud disini adalah pihak yang paham potensi Kampung,
memiliki persepsi makro pembangunan dan berpihak kepada masyarakat banyak. Bisa
saja berasal dari Kampung yang sama, tapi kalau tidak memungkinkan bisa datang
dari Kampung lainnya. Hal ini penting karena akan diperoleh masukan pengalaman
empiris Kampung lainnya. LSM barangkali pilihan yang memungkinkan untuk
memfasilitasi musyawarah Kampung.
Kesediaan pihak rantau untuk memahami keterbatasan mereka yang
berdomisili di kampung halaman, rela berbagi pengalaman, menghargai pendapat
mereka dan bisa menerima alasan realitas kampung dalam melihat kendala yang
dihadapi.
Re-orientasi gaya kepemimpinan aparat pemerintah, dari birokratis
struktural formalistis menjadi partisipatif informal non-struktural. Dari
kepemimpinan yang merasa berwenang penuh tentang segala urusan pembangunan
menjadi sekedar manajer pembangunan. Dari sekedar pemimpin bagian dari
birokrasi besar, karenanya hanya menjalankan instruksi dari atasannya, menjadi
pemimpin yang mampu berinisiatif, kreatif dan siap untuk melaksanakan improvisasi
dalam mencapai tujuan pembangunan.
Standarisasi informasi, artinya stake-holders harus memperoleh
informasi yang sama, agar bisa satu bahasa dan persepsi tentang permasalahan
yang dihadapi. Konsekwensinya adalah tidak boleh ada informasi pembangunan yang
disembunyikan satu dengan yang lainnya atas alasan apapun. Termasuk alasan yang
berlatar belakang politik. Kembali ke hakikat musyawarah, berarti kembali
kepada hakikat kesediaan kita untuk menghargai orang lain sebagai manusia.
Artinya menghargai pikiran-pikirannya, sikap hidup dan pilihan-pilihannya.
Menghargai perbedaan pendapat atau tanpa ragu-ragu menerima persepsi baru
tentang berbagai hal, darimanapun datangnya persepsi itu. Menghargai setiap
partisipan musyawarah sebagai pihak yang eksist, bukan sekedar alat, orang
kampung yang ketinggalan ataupun bawahan semata. Kalau hal ini bisa
diselenggarakan, baru kita bisa membicarakan aspek rumit berikutnya dalam
pengembangan sumber daya manusia.
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)
No comments:
Post a Comment