arkam
Pendidikan selalu dipuji sebagai jendela masa depan, tetapi jendela itu tidak pernah berdiri sendiri. Ia dibangun dari serpihan pengalaman manusia serpihan harapan, serpihan luka, dan serpihan janji yang setengah dipenuhi. Dalam setiap jendela, selalu ada tangan-tangan yang menyusunnya. Pertanyaannya: tangan siapa yang menyusun jendela bagi anak Papua hari ini? dan dengan niat apa?
Catatan penulis tentang suara yang mengalir seperti sungai yang sedang mencari lautnya; suara yang mencoba mengumpulkan serpihan-serpihan cerita dari sudut-sudut kota terpencil dan terpencar, lalu merangkainya menjadi gambaran tentang pendidikan yang seharusnya hadir sebagai cahaya, bukan bayangan. Penulis berbicara tentang “ruang kebahagiaan” yang semestinya menjadi tempat negara menepati janjinya, bukan sekadar ruang untuk menabur slogan. Namun ruang itu hari ini sering berubah menjadi panggung, tempat politik mengemas janji dalam kotak-kotak indah yang dibungkus kata-kata mulia.
“Pendidikan hak segala anak bangsa,” demikian konstitusi berbisik tegas. Namun di Papua, bisikan itu sering tenggelam oleh bocornya strategi, oleh rencana-rencana yang tak pernah menyentuh akar persoalan, dan oleh moral hazard yang ditanam subur oleh birokrasi sendiri.
Seperti ember berlubang yang terus diisi air, sistem pendidikan di Papua dipaksa berdiri di atas pondasi yang rapuh: korupsi, ketidak seriusan, dan kebiasaan menjadikan pendidikan sebagai proyek, bukan kebutuhan. Padahal pendidikan tidak pernah lahir dari papan proyek. Ia lahir dari niat yang benar niat untuk mencerdaskan, bukan sekadar menghabiskan anggaran.
Janji-janji kampanye sering hadir seperti angin yang menawarkan kesejukan sementara: pendidikan gratis, insentif guru, ruang baca, internet, perbaikan fasilitas sekolah. Namun banyak dari itu hanyalah gema dari kebijakan nasional, bukan hasil gagasan murni yang tumbuh dari pemimpin Papua sendiri. Maka benarlah ketika penulis menulis bahwa semuanya “omon-omon,” sebab terlalu sering program pendidikan hanya menjadi “jualan merpati,” terbang tinggi saat kampanye lalu hilang jejak saat rakyat menunggu hasilnya
Pemimpin sering lupa bahwa ketika mereka “membeli” masalah rakyat saat kampanye melalui blusukan, kunjungan, dan janji manis sebenarnya yang mereka terima adalah amanah. Amanah yang harus diwujudkan, bukan dilupakan. Namun apa yang terjadi? Belum selesai satu masalah akar rumput ditangani, mereka sudah kembali turun ke masyarakat untuk “belanja masalah” yang baru. Ini bukan kerja kepemimpinan; ini pencitraan. Ini bukan pengabdian; ini pencarian panggung.
Di sinilah letak kegetiran sekaligus pencerahan pendidikan selalu menjadi janji yang mudah dijual, tetapi sangat sulit diwujudkan tanpa kemauan etis yang sungguh-sungguh. Pendidikan bagi orang Papua seharusnya bukan gelang emas yang hanya dipakai saat ingin tampil indah di kamera. Ia harus menjadi jembatan nyata menuju masa depan yang lebih baik. Jembatan yang dibangun bukan dari beton korupsi, tapi dari data yang jujur, niat yang bersih, dan keputusan yang strategis serta manusiawi.
Pemimpin tidak dipilih untuk mendefinisikan kepemimpinan mereka dipilih untuk menciptakan keputusan yang mengubah keadaan. Pendidikan bukanlah panggung bagi birokrat tertentu, tetapi rumah bagi setiap anak Papua yang menginginkan masa depan lebih terang dari masa kini.
Maka pendidikan adalah panggilan untuk mengembalikan sekolah, guru, dan anak-anak Papua pada orbit yang benar: orbit keadilan, keseriusan, dan kemanusiaan. Pendidikan adalah tugas suci, bukan proyek. Ia adalah jendela yang harus dirawat agar tidak retak oleh politik dan kepentingan sesaat.
Dan jika suatu hari jendela itu kembali bersih, mungkin kita akan melihat bahwa yang kita butuhkan bukanlah lebih banyak janji, tetapi lebih banyak keberanian untuk bertindak.@arkam
No comments:
Post a Comment