arkam
Ketika Otonomi Khusus diberikan kepada Papua pada 2001, harapan terbesar masyarakat adat adalah terbukanya ruang baru bagi keadilan, pemerataan, dan pemulihan sejarah panjang marjinalisasi. Jakarta membayangkan bahwa dana besar akan mengalir seperti sungai yang menyuburkan tanah kering, membawa pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur bagi orang asli Papua. Namun, realitas di lapangan menciptakan bayangan lain: sebagian elit lokal muncul sebagai aktor-aktor baru yang memegang kendali atas jalur anggaran. Alih-alih menjadi jembatan menuju kesejahteraan kolektif, sebagian dari mereka menjelma menjadi “penjaga gerbang” yang menentukan siapa boleh ikut menikmati pembangunan dan siapa yang tetap menunggu di pinggir jalan.
Fenomena elite capture ketika kekuasaan dan sumber daya publik disedot oleh segelintir orang di Papua tidak lahir dalam ruang kosong. Ia tumbuh di tanah yang telah lama dikondisikan oleh relasi patronase sejak masa kolonial. Ketika negara masuk dengan logika pembangunan, ia memperkuat figur-figur tertentu melalui jabatan politik, birokrasi, dan jaringan bisnis. Dalam konteks Papua, patronase kemudian menemukan kendaraan baru: Dana Otsus. Aliran dana besar tanpa sistem pengawasan yang kuat membuka ruang bagi birokrat, politikus, dan pebisnis lokal untuk membangun jejaring kepentingan yang lebih tertutup dan semakin elitis.
Di banyak kabupaten, struktur anggaran secara de facto dikendalikan oleh lingkaran kecil: kepala daerah, kepala dinas, kontraktor pemerintah, hingga kerabat dan kroni politik. Konstelasi ini menciptakan ekonomi rente, di mana nilai tertinggi bukanlah inovasi atau kapasitas, tetapi kedekatan politik. Akibatnya, banyak proyek publik menguap menjadi pembangunan setengah jadi: sekolah dibangun tanpa guru, puskesmas berdiri tanpa obat, dan jalan kabupaten yang rusak kembali setiap musim hujan. Sementara anggaran telah terserap, hasilnya tidak pernah benar-benar dirasakan masyarakat adat.
Masalah yang lebih dalam muncul ketika elite capture menembus ruang sosial orang Papua sendiri. Sebagian elit lokal, yang seharusnya menjadi representasi suara rakyat, justru terperangkap dalam logika sistem yang memberi keuntungan pada stabilitas kekuasaan dibanding pelayanan publik. Rakyat kecil sering kali hanya muncul sebagai penonton yang diberi janji politik saat pemilu, sementara akses terhadap anggaran diputuskan oleh meja-meja tertutup rapat tempat kontrak dan proyek dipertukarkan. Ketika ini terjadi secara berulang, terbentuklah kelas baru: “kelas menengah-birokratis Papua” yang jaraknya makin jauh dari kehidupan masyarakat adat di kampung-kampung.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik pasca konflik dan pasca militerisasi. Selama beberapa dekade, banyak wilayah Papua mengalami trust deficit antara negara dan rakyat. Ketika negara mencoba mengatasi ketidakpercayaan itu dengan dana besar, sebagian elit mengambil kesempatan di tengah lemahnya institusi pengawasan. KPK mencatat beberapa kasus korupsi kepala daerah, tetapi itu hanya puncak gunung es dari struktur patronase yang jauh lebih dalam. Di bawahnya, ada ribuan transaksi kecil dan besar yang tidak pernah masuk laporan, tetapi sangat mempengaruhi kualitas hidup masyarakat.
Namun, penting untuk tidak menyamaratakan. Banyak pemimpin Papua yang bekerja sungguh-sungguh, memperjuangkan pendidikan, membuka layanan kesehatan, dan membangun infrastruktur dengan integritas. Tetapi suara mereka sering tenggelam karena sistem politik yang mendorong kompromi, persekutuan pragmatis, dan permainan anggaran. Bagi pejabat yang idealis, melawan jaringan rente berarti risiko kehilangan jabatan atau diisolasi dalam birokrasi. Inilah yang membuat elite capture bukan sekadar masalah moral individu, tetapi persoalan struktural yang mencengkeram tanpa disadari.
Dampak paling nyata dari elite capture adalah lahirnya “kemiskinan di tengah kelimpahan.” Papua menerima anggaran ratusan triliun sejak Otsus, tetapi banyak kampung masih berjuang dengan akses air bersih, listrik, dan sekolah bermutu. Ketimpangan antara pusat kota dan kampung-kampung pedalaman semakin melebar. Sementara itu, sebagian kecil elit memperlihatkan gaya hidup konsumtif: mobil mewah, rumah berlapis pagar tinggi, perjalanan dinas ke luar negeri, wisata rohani. Kontras semacam ini memperkuat perasaan ketidakadilan dan memperdalam jurang antara “negara” dan rakyat adat.
Dalam konteks inilah muncul seruan bahwa reformasi Otsus bukan sekadar soal meningkatkan anggaran atau membentuk provinsi baru. Inti persoalan adalah membangun tata kelola yang membuat anggaran publik kembali ke tangan publik. Mekanisme transparansi, audit independen, dan partisipasi adat perlu diperkuat. Penguatan lembaga adat dan kampung bisa menjadi alternatif untuk mengurangi kontrol elit politik terhadap seluruh alur anggaran. Sebab masyarakat adat, dalam banyak kasus, memiliki struktur sosial yang lebih akuntabel dan dekat dengan kehidupan nyata.
Jika elite capture tidak dibongkar, maka Otsus hanya akan menjadi mesin keuangan besar yang memperkaya sedikit orang sambil meninggalkan jurang sosial yang semakin dalam. Tetapi jika ada keberanian untuk melakukan reformasi dan mengembalikan anggaran kepada masyarakat, Papua dapat memasuki “gelombang ketiga” pembangunan: era ketika kekuatan lokal bukan hanya simbol politik, tetapi fondasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Ini menuntut komitmen, bukan sekadar retorika.
Pada akhirnya, pertanyaan terbesar bukanlah berapa banyak dana yang turun ke Papua, tetapi siapa yang mengendalikan dan untuk siapa dana itu digunakan. Coretan ini mengajak kita menatap kenyataan bahwa sebagian elit lokal memiliki peran dalam memperkuat lingkaran ketidakadilan. Namun pada saat yang sama, ia juga membuka ruang harapan bahwa perubahan masih memungkinkan jika suara masyarakat adat dimasukkan kembali ke pusat pengambilan keputusan, dan jika negara bersedia membangun sistem yang tidak dapat lagi direbut oleh segelintir orang. Papua tidak kekurangan sumber daya; yang dibutuhkan adalah tata kelola yang jujur, terbuka, dan berpihak pada mereka yang paling membutuhkan.@arkam
No comments:
Post a Comment