PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PAPUA
MELALUI PARTISIPASI ANAK KAMPUNG
Sungguh indah suguhan wacana yang berkembang sejak otonomi
daerah resmi digulirkan di Papua yang
merupakan jawaban aksisosial masyarakat Papua. Mampu menghadirkan optimisme
bahwa kebijakan publik untuk kembali ke sistem pemerintahan adat rasanya sangat
tepat waktu walau sebenarnya telah ditunggu-tunggu sejak lama. Berbagai upaya
menjemput kembali modal sosial, merekat ulang sistem sosial yang telah bercerai
berai dan dalam jangka panjang berkontribusi pada upaya pengembangan potensi
ekonomi masyarakat adat dalam menghadapi problematika masa depan.
Kembali ke sistem
pemerintahan masyarakat adat adalah sebuah fenomena yang didambakan oleh
berbagai pihak, terutama setelah hampir
setengah abat sejak peleburan papua menjadi bagian teritorial RI. Terasa
banyak yang hilang akibat penerapan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang
diikuti oleh perda-perda dimana modal sosial yang strategis untuk mendukung
kinerja pembangunan ikut lebur ke bentuk-bentuk seragam sesuai kebijakan
politik pemerintahan Orde Baru.
Peleburan dan
penyeragaman sebagai implikasi penerapan otsus berlaku pada sistem pemerintahan
adat yang dipecah pecah menjadi desa dan Kelurahan dimana pelayanan publik
tingkat terendah secara administratif diserahkan kepada para kepala desa dan
lurah yang ditetapkan oleh kepala daerah. Peleburan ini tidak saja
memecah-belah kesatuan adat dan budaya, namun juga menghadirkan konflik
kepemilikan Sumber Daya Alam (SDA) berupa ulayat masyarakat adat yang
bertumpang tindih dengan batas wilayah desa. Untuk mengantisipasi berlanjutnya
kesimpangsiuran antara kewenangan adat dan pelayanan administratif, dikeluarkan
Peraturan daerah (Perda). Perda ini menetapkan urusan wilayah adat dan kesatuan
hukum adat dikelola di tingkat kampung dan kewenangannya ada pada lembaga adat
sedangkan urusan adminsitrasi pemerintahan di kelola pada tingkat desa.
Penyeragaman
secara sistemik ini menghancurkan berbagai potensi positif masyarakat kampung,
krisis kewibawaan pemangku adat, tidak dipatuhinya hukum adat, konflik ulayat,
menurunkan partisipasi masyarakat untuk membangun dan secara umum melebur modal
sosial yang menjadi tumpuan dalam memandirikan masyarakat kampung.
Dengan diberlakukannya
sistem desentralisasi, kewenangan administratif dipersadingkan kembali dengan
kewenangan adat dan hukum adat. Artinya dualisme kepemimpinan antara birokrasi
dengan pemuka adat praktis terjembatani sehingga sinergi demikian akan
merangsang kembali partisipasi, prakarsa dan minat masyarakat untuk bahu
membahu menghadapi tantangan pembangunan. Namun kembali ke sistem masyarakkat
adat tentu bukanlah set-back ke masa lalu, ia harus antisipatif dengan berbagai
perubahan dan tantangan global di masa datang.
Kembali ke
Sistem masyarakat adat pada intinya adalah kembali ke suatu sistem sosial
kemasyarakatan di masa depan, dimana penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
menjadi sangat mutlak adanya. Melihat kecenderungan globalisasi yang rasanya
tak mungkin dicegah, maka penguasaan penuh atas teknologi informasi menjadi
vital bagi rakyat di kampung. Kelompok masyarakat yang gagap teknologi, niscaya
akan dilindas oleh mereka yang menguasai teknologi dan informasi itu. Menjemput
modal sosial dan mengantisipasi faktor eksternal bagi kemandirian masyarakat
adat adalah memfasilitasi anak kampung merekayasa masa depan kampung sesuai
potensi yang dimilikinya.
Dari sisi
pemerintahan, soal kembali ke kampung tentu diartikan secara fisik melembagakan
berbagai potensi sosial untuk dapat berkontribusi efektif membangun kampung
melalui kelembagaan formal yang ditetapkan. Agenda pemerintah adalah
mendudukkan aparat pemerintahan kampung seperti
lembaga legislatif Badan Perwakilan Anak kampung, memilih lembaga
eksekutif wakil kampung berikut perangkatnya serta berbagai infrastruktur
pendukung lainnya.
Diharapkan
dengan aparat pendukung yang kelak akan ditentukan, berbagai kewenangan
administratif yang selama ini terpusat di Kabupaten dapat didesentralisasi pengelolaannya
ke tingkat kampung. Dengan pendelegasian kewenangan dan hak ini, diharapkan
akan bertumbuh prakarsa, inisiatif pembangunan dan sinergi berbagai potensi
dalam masyarakat sehingga dalam waktu singkat kita boleh berharap akan hadir
kampung-kampung yang mandiri di tanah Papua.
Pada sisi ini
kita boleh beranggapan bahwa urusan sosial politik kampung tuntas
dikerangkakan. Tinggal bekerja keras bagaimana menciptakan suasana kondusif
agar sistem administrasi publik bekerja efektif melayani kebutuhan masyarakat
kampung. Sementara itu, disisi masyarakat sendiri, setelah terpilihnya
infrastruktur pemerintahan kampung adalah soal bagaimana membangun kemandirian
kampung dari sisi sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya. Ada banyak
hal yang mesti dijawab, antara lain bagaimana membiayai infrastruktur yang
telah dipilih dan ditetapkan. Bagaimana menjawab problema sumber-sumber
ekonomi, angkatan kerja, konflik ulayat, pendidikan, krisis moral dan pentaatan
beragama, serta antisipasi terhadap globalisasi.
Dengan demikian banyaknya agenda publik yang harus diantisipasi oleh anak
kampung (masyarakat adat), pertanyaan lanjut adalah dari mana harus memulai dan
kemana langkah harus diayunkan. Wacana teoritis dan perbandingan tentu dapat
diketengahkan, namun publik menunggu sebentuk skenario yang dianggap meyakinkan
seluruh stakeholders. Baik yang di tanah Papua
maupun yang sudah berdomisili di rantau.
Sebenarnya,
Bila ingin membicarakan pengembangan masyarakat adat, tentu tak dapat
dilepaskan dari pendekatan pembangunan
nasional yang dikelola sejak 3 dekade terakhir. Pemerintahan Orde Baru
menjadikan pembangunan ekonomi sebagai isu sentral dalam aktifitasnya
melaksanakan amanat konstitusi, dengan menetapkan industrialisasi sebagai titik
tumpu usaha. Untuk itu telah diciptakan pusat-pusat pertumbuhanatau industri
yang didasari ketersediaan infrastruktur penunjang (urban base). Dengan
ketersediaan infrastruktur itu, kota-kota di Pulau Jawa berkembang menjadi
pusat aktifitas pembangunan (contohnya kota Sidoarjo Jawa Timur, dimana
ditemukan pemusatan berbagai industri agar efektif dan efisien. Industri
tekstil; sampai industri pendidikan).
Propinsi
Papua belum sempat dikembangkan menjadi
pusat pertumbuhan dimaksud, sehingga sampai tahun 2005 aktifitas percepatan
pembangunan masih di pusatkan pada pengembangan infrastruktur yang terlihat,
khususnya pengembagan akses jalan-jalan ke daerah-daerah pedalaman serta masih
berbasis sumber daya alam, yakni memproduksi kayu gelondongan, kayu lapis serta
perkebunan.
Dengan
demikian, sedikit sekali imbas industrialisasi kepada keberadaan masyarakat
adat. Penurunan fungsi dan peran masyarakat adat justru datang dari kebijakan
politik birokrasi pemerintahan, dimana untuk alasan stabilitas pembangunan
diberlakukan penyeragaman penyelenggaraan pemerintahan terendah (hal mana
tertuang dalam tata pemerintahan yang dilegitimasi oleh Undang-undang Otonomi
Khusus Papua). Kampung-kampung dipecah-pecah menjadi desa-desa sehingga dengan
seketika jumlahnya menjadi ribuan. Implikasi dari keberadaan ribuan desa-desa
ini adalah pada “membanjirnya” sumber daya pembangunan dari pemerintah pusat
berupa Bandes, Inpres dan banpres serta fasilitas lainnya. Banyaknya sumber
pembangunan pusat yang dapat “digandakan” ke daerah ini digembar gemborkan
sebagai prestasi oleh pemerintah daerah. Dikatakan ratusan kilometer
infrastruktur jalan telah dibangun, ratusan jembatan dan fasilitas lainnya
dinilai sepihak telah mensejahterakan desa-desa. Tak dapat dipungkiri karena
memang demikian adanya. Namun bukankan itu wujud fisik semata ?
Di sektor non
fisik nyata sekali terlihat penurunan partisipasi rakyat dalam membangun.
Karena segala kebijakan pembangunan diatur secara sentralistik berjenjang,
berjangkitlah ketergantungan desa-desa ke birokrasi pemerintahan. Desa-desa
walaupun bebas menentukan pemimpinnya, tetap dibawah kendali Camat dan Bupati.
Arus perencanaan pembangunan memang berjenjang dari bawah, namun eksekusi
biasanya dilakukan di PusatatauBappenas. Apa yang diusulkan dari bawah melalui
mekanisme Musbangdes - UDKP - Rakorbang Kabupaten dan Propinsi, umumnya
terpenuhi sekitar 2 % saja. Inipun terdapat ketidak sesuaian antara permintaan
berdasarkan kebutuhan dengan program pembangunan yang disetujui. (hasil Local
Level Institution Study, Bank Dunia, 1996).
Kesediaan
berpartisipasi semakin memudar sejalan dengan berbagai ketidakpastian
pelaksanaan pembangunan. Musbangdes tetap dilakukan tiap tahun, tapi lebih
kepada rutinitas yang terbatas pada elit desa belaka. Hal mana berlangsung
bertahun-tahun dan itulah nyatanya potret partisipasi di desa-desa Papua hari
ini. Namun apapun kondisi itu, kehidupan harus terus berlangsung dengan atau
tanpa dukungan pemerintah. Desa-desa di pelosok Papua mesti terus bergerak,
menggeliat untuk bertahan hidup dan mencoba terus berkembang.
Kilas Balik Pendekatan Pembangunan . Industrialisasi
yang ditetapkan pemerintahan orde baru sebagai titik tumpu pemacu pembangunan
diharapkan bertumbuh dan berjalan secara terukur, sehingga kestabilan
mensyaratkan di seluruh lini kehidupan bernegara. Stabilitas diperlukan agar
tidak mengganggu keberlangsungan proses pembangunan. Atas dasar alasan
stabilitas itu, diberlakukan de-politisasi dalam dunia politik yang segera pada
gilirannya menghadirkan masyarakat mengambang atau floating mass. Mengelola
massa mengambang ini diperlukan kontrol yang cendrung ketat sehingga hampir
seluruh pendekatan dan kebijaksanaan pembangunan berpola dari atas (top-down
development approach). Artinya semua mekanisme pengelolaan sumber daya diolah atau diatur oleh pemerintah sebagai
satu-satunya penentu, pengelola sekaligus penanggung jawab.
Pendekatan pusat
pertumbuhan dikembangkan karena arsitek pembangunan ekonomi waktu itu cenderung
memilih pembangunan yang berwawasan ekonomi pasar. Artinya sumber daya
pembangunan diharapkan diperoleh dari
kompetisi di pasar dunia atau global. Persaingan pasar global diperhitungkan
bisa dimenangkan karena Indonesia memiliki keunggulan komparatif (comparative
advantages), misalnya buruh murah; ketersediaan bahan baku; stabilitas politik;
kemudahan birokrasi sampai infrastruktur yang memadai. Secara makro
diperhitungkan modal akan mengalir ke Indonesia, dan ini terbukti dari
investasi modal asing serta berkembangnya usaha patungan dengan pihak luar
negeri. Demikianlah, terlihat secara gamblang ekspansi modal besar yang pada
gilirannya merambah ke segala sektor usaha, termasuk sektor usaha publik yang
menyangkut hajat orang banyak.
Pendekatan ini
kelihatannya menggambarkan peningkatan menggembirakan secara kuantitatif,
tercermin dari data statisitik yang dipublikasikan tiap tahun anggaran. Tapi
kegembiraan itu juga digantungi oleh masalah pelik pada sisi lainnya, yakni
berkembangnya kesenjangan antara pusat pertumbuhan (growth pole) dengan wilayah
pinggiran (periphery); ada dikotomi desa-kota; menyoloknya pembangunan di Jawa
- luar Jawa. Demikian pula kesenjangan Indonesia bagian Barat dengan Indonesia
bagian Timur.
Peningkatan menyolok
dari sudut pandang statistik juga diiringi oleh fenomena ketergantungan, baik ketergantungan
kepada birokrasi yang mengelola pembangunan; daerah ke pusat ataupun
ketergantungan rakyat kepada pemerintah. Ketergantungan seakan membunuh
inisiatif dan kreatifitas komponen
sumber daya lain dalam berkontribusi, sehingga pembangunan telah berkembang
menjadi kompleks yang demikian tidak berimbang, dimana peran pemerintah seakan
satu-satunya komponen pembangunan. Keadaan ini disadari oleh berbagai pihak,
yang kemudian sependapat bahwa diperlukan antisipasi yang jitu untuk keluar
dari kerumitan yang makin menjerat.
Kompleksitas
pembangunan dapat ditinjau dari berbagai sumber, diantaranya akibat resesi
ekonomi global; terbatasnya sumberdaya alam yang berdampak lingkungan; ledakan
penduduk yang berakibat langsung pada peningkatan angkatan kerja. Demikian pula
luasnya wilayah Papua telah memberikan berbagai masalah, antara lain belum
meratanya perhatian pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan yang diperlukan
masyarakat.
Beban pembangunan
makin terasa berat bila hanya dipikul
oleh pemerintah saja, sehingga ditetapkanlah dalam GBHN 1983 bahwa pada PELITA
IV harus tercipta kerangka landasan bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan
berkembang atas dasar kekuatan sendiri. Artinya
peningkatan kemampuan dan kontribusi rakyat secara strategis diperlukan
untuk ikut bersama membangun. Kontribusi mana selama ini terabaikan karena
rakyat hanyalah obyek pembangunan itu sendiri.
Sebetulnya pemerintah
Indonesia telah menitikberatkan program melanjutkan pembangunan pada pemerataan
dan keseimbangan pembangunan ke daerah, menuju peningkatan masyarakat di daerah
terbelakang. Telah dilakukan peningkatan sarana dan prasarana pengelolaan
sumber daya dengan dasar azas pemerataan. Pembangunan lebih diutamakan untuk
daerah, bukan lagi terpusat.
Adanya pemerataan
pembangunan ini sedikitnya berdampak perubahan-perubahan di daerah, baik fisik
maupun non fisik. Perubahan fisik tampak nyata dari terbukanya wilayah
terisolir, meningkatnya pendapatan regional atau daerah, perluasan kesempatan
kerja serta umumnya peningkatan sektor ekonomi. Perubahan fisik ini tak bisa
tidak akan membawa serta berbagai perubahan non fisik dalam masyarakat, yang
tidak terbatas di tempat kerja saja tapi akan menyentuh seluruh sikap dan
perilaku masyarakat. Pada kadar terbatas, partisipasi daerah mulai dirasakan
walaupun masih perlu terus menerus dikembangkan.
Perilaku yang
menunjang pembangunan masih dilematis dirasakan, karena belum sepenuhnya daerah
dapat mengatur penyelesaian masalahnya. Pendekatan instruktif masih berlangsung
dari pusat birokrasi ke daerah; format de-sentralisasi yang belum terwujud
antara lain tercermin dari pengaturan yang masih bersifat atas bawah; aktifitas
pembangunan masih berbentuk "paket jadi" dan lain-lain. Perencanaan
teknokratis yang dirancang dari atas tanpa disertai proses penumbuhan kemampuan
daerah dalam mengembangkan inisiatif sendiri, seringkali justru membawa dampak
ketergantungan yang lebih besar terhadap bantuan dari pusat. Daerah terbiasa
menunggu uluran tangan dari pusat birokrasi.
Pada masa transisi
setelah datangnya era reformasi yang ditandai dengan runtuhnya rejim orde baru,
berbagai kebijakan telah digariskan. Salah satunya yang fenomenal otonomi
daerah seluas-luasnya bertumpu ke daerah kabupaten/kota dan pembagian keuangan
pusat dan daerah. Implikasi logis dari otonomi ini tentunya memberikan
kewenangan seluas-luasnya kepada daerah untuk mampu kreatif, boleh
mengembangkan prakarsa-prakarsa positif dan tentunya merdeka dalam memilih
pendekatan pembangunan.
Papua dengan segala
keterbatasannya, mau tak mau harus mengantisipasi perkembangan yang seakan arus
balik dari pendekatan pembangunan yang selama ini diselenggarakan. Bila
birokrasi selama ini seakan satu-satunya penyelenggara pembangunan, maka
perannya akan semakin mengecil dan lebih kepada peran fasilitator saja.
Prakarsa,
partisipasi, semangat keswadayaan, keikutsertaan dalam mengambil keputusan atau
sejenisnya sebenarnya bukan hal baru bagi Papua. Semuanya itu terakumulasi
dalam suatu interaksi sosial ekonomi dan budaya melalui keterikatan dalam suatu
komunal, yakni Kampung. Kehidupan berkampung telah menata berbagai hubungan
vertikal, horizontal maupun diagonal dalam suatu dinamika yang unik dan
berkelanjutan. Kehidupan berkampung inilah yang dipercaya dapat
mengakumulasikan prakarsa, kreatifitas dan partisipasi rakyat dalam mengatasi
berbagai problem pembangunan yang dihadapinya. Interaksi berkampung telah
berkembang tidak saja dalam urusan fisik semata, namun mengkristal menjadi
hubungan emosional. Lebih berbentuk hubungan batin. Bermodalkan hubungan sosial
inilah kita menuju Papua baru paska reformasi.
Antasipasi strategis
Papua menyongsong era otonomi diawali dengan mengembalikan sistem pemerintahan
terrendah ke Kampung yang diwujudkan melalui peraturan daerah (PERDA) yang kemudian ditindaklanjuti oleh berbagai
Kabupaten dengan Perda tersendiri. Walaupun Perda ini sudah dipersiapkan dengan
matang termasuk disosialisasikan kepada berbagai pihak, termasuk kepada
masyarakat Papua yang ada dirantau, namun pelaksanaannya diperkirakan cukup
berat, sarat dengan berbagai kendala. Kondisi sosial ekonomi masyarakat tengah
terpuruk akibat resesi ekonomi, tingkat apatisme yang cukup tinggi dan proses
penggabungan kembali desa-desa menjadi Kampung setelah hampir 20 tahun
bercerai. Masuk akal kalau untuk itu diperlukan transisi dan fasilitasi terarah
bagi pengefektifan kebijakan kembali ber Kampung.
Transisi Kearah Pembangunan Berbasis Partisipasi Anak Kampung. Tentulah pendekatan pembangunan yang dipilih merupakan anti-tesa dari pendekatan yang sebelumnya digunakan. Tapi apapun format yang akan dikembangkan, bila memang ingin mendayagunakan sumberdaya manusia Papua, bentuknya mestilah antitesa dari perlakuan tidak konstruktif yang selama orde baru dikenakan kepada masyarakat. Bila selama ini untuk memperoleh stabilitas bagi ketenangan dalam membangun adalah diberlakukannya kontrol terhadap massa mengambang hasil proses de-politisasi, maka antitesanya adalah diterapkan pendekatan konsientisasi atau penyadaran politik (politisasi yang positif), memberi peluang bagi terciptanya pengorganisasian masyarakat secara murni (tidak direkayasa dari atas untuk alasan apapun) serta lebih dibukanya semangat independesi atau otonomi sebagai jawaban.
Kesadaran rakyat
(termasuk kesadaran politis) akan problema yang dihadapi dalam membangun,
ditimpali oleh terbukanya peluang mengekspresikan kreatifitas atau inovasi
berkat otonomi yang tercipta niscaya akan menghadirkan prakarsa-prakarsa
masyarakat untuk berpartisipasi. Bila prakarsa telah berkembang, pemahaman akan
keterbatasan yang dihadapi dalam melanjutkan pembangunan akan menghadirkan pula
secara sadar semangat swadaya ditengah masyarakat. Kadar swadaya inilah yang
menjadi bagian kontribusi riel dari masyarakat, bahu membahu bersama pemerintah
menundukkan tantangan pembangunan.
Pandangan seperti ini
tampaknya antitesa dari pendekatan makro pertumbuhan terpusat yang dominan
dalam etappe pembangunan versi orde baru, karena prakarsa dan semangat swadaya
tidak lagi sepenuhnya memerlukan mekanisme pasar dalam memperoleh sumberdaya
pembangunan. Ia tidak lagi harus tunduk kepada ekspansi modal besar, cukup
modal kecil untuk kebutuhan yang secara realistis juga kecil. Small is beautiful menurut Schumacher. Investasi lebih mendahulukan
kepentingan orang banyak, memberi dampak ekonomi yang adil dan merata kepada
segenap lapisan rakyat (bukan orang
seorang ).
Pilihan usahanyapun
tidak selalu berskala besar, sehingga tidak harus memerlukan modal patungan,
serta menggantungkan diri pada ekonomi global. Produk yang diolahpun lebih diprioritaskan
kepada pemenuhan kebutuhan dasar yang menyangkut hajat orang banyak. Keunggulan
komparatif tidak lagi perlu ditawar-tawarkan, apalagi buruh murah harusnya
menjadi tabu dan jelas tidak manusiawi untuk dijajakan kepada pemodal asing.
Pasar internal menjadi tujuan utama dalam memutar ekonomi nasional. Itu artinya
pasar dengan sekitar 250 juta konsumennya.
Industri yang
menyangkut hajat nasional kepemilikannya haruslah mencerminkan pemerataan
keuntungan kepada banyak pihak, dikuasai oleh rakyat sebagai pemilik dominan.
Etika bisnis disini benar-benar cerminan dari konstitusi. Sementara itu
industri yang berorientasi eksport barulah boleh dikelola secara apa yang kita
amati menjadi trend dalam dunia industri kita belakangan ini. Konglomerat sebaiknya
beroperasi pada lahan industri non-kebutuhan nasional agar tidak menimbulkan
ekses keresahan nasional. Usaha besar silahkan berinvestasi di sektor
manufaktur dan selamat berkompetisi dalam persaingan global. Stop segala
praktek pembangunan yang tidak pro harkat manusia. Hentikan ekspansi pemodal
besar yang sekedar meraup keuntungan dan jelas-jelas kurang memiliki etika kerja
pro rakyat, pro kemanusiaan.
Menyambut pola baru
era otonomi seluas-luasnya ini, pemerintah harus serius membangun image baru yang
lebih membuka peluang maksimal bagi partisipasi masyarakat. Dampak luas dari
pola ini diharapkan akan menumbuhkan semangat kemandirian, keswadayaan,
melanjutkan pembangunan atas upaya dan kemampuan sendiri melalui aktifitas
nyata.
Makanya, segera saja memulai
proses pendekatan pembangunan dari bawah (bottom-up
development approach) yang sejauh mungkin melibatkan partisipasi aktif dari
semua unsur masyarakat yang berkepentingan (people-centered
development) serta dilaksanakan dengan cara-cara yang dapat menumbuhkan
swadaya masyarakat setempat untuk kelak mampu mengatasi masalah dan memenuhi
kebutuhan mereka sendiri.
Dalam pendekatan
pembangunan yang partisipatif, upaya pemerataan dan faktor partisipasi kelompok
masyarakat untuk mengembangkan swadaya mereka merupakan syarat utama.
Pengolahan sumber daya alam, pengelolaan sumber daya manusia dan pemanfaatan
teknologi "yang sesuai" dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat
adalah bagian strategis yang harus dikembangkan
atau didayagunakan.
Persoalannya kini
adalah bagaimana memulainya serta sejauh mana kesiapan diperlukan. Ditengah
dinamika yang birokratik, instruktif dan sentralistis sekarang ini, agaknya
kita memerlukan energi ekstra dalam melakukan "enforcement", membalikkan sikap dan perilaku seluruh komponen
pembangunan (mental switch).
Dialog Anak
Kampung Sebagai Titik Masuk. Bila
kita mengikuti alur berpikir antitesis diatas, diperlukan proses penyadaran
rakyat sebagai awal penanaman pemahaman akan perannya dalam berkontribusi untuk
menghadapi tantangan pembangunan. Butuh komunikasi dua arah, mensyaratkan
dialog tatap muka, memerlukan kesamaan bahasa, keselarasan emosi dan butuh
kesediaan untuk menghargai perbedaan-perbedaan. Untuk itu dialog bersama,
tingkat nasional, regional maupun lokal menjadi langkah-langkah penting.
Dialog yang dimaksud
disini adalah wahana tukar menukar pikiran, silang informasi dan sosialisasi
permasalahan, membangun persepsi bersama serta merekayasa kesepakatan bersama
untuk sesuatu yang kongkrit (action plan).
Untuk sampai kepada tahapan ini, partisipan dialog harus memiliki informasi
standar dan kesetaraan bahasa. Konstitusi sudah menggariskan perihal dialog
ini, dikenal sebagai musyawarah. Wahana dialog dalam istilah musyawarah ini
mestilah efektif, artinya tidak berkumpul secara fisik saja, melainkan bertemu
dalam alur fikiran sedemikian konstruktif sehingga mampu memberi dorongan
positif kearah aktifitas nyata.
Kenyataan selama ini,
umumnya musyawarah cenderung kehilangan
hakikat. Forum lebih merupakan seremoni legitimatif untuk pengesahan suatu hal.
Ia lebih berupa stempel terhadap kebijakan pemerintah dengan dasar bahwa
kebijakan itu merupakan partisipasi dan kontribusi masyarakat. Musyawarah tak
banyak lagi maknanya, ia telah kehilangan nilai sakralitas.
Bila kita tetap
berharap musyawarah sebagai titik masuk bagi pendorong peran serta, maka perlu
format baru dengan semangat yang relevan. Perlu dinamika, perlu re-orientasi
berlandaskan kesadaran akan masa depan.
Musyawarah, yang sejak dulu menjadi bagian
dalam dinamika pengelolaan komunal Kampung di Papua masih merupakan sarana palihg tepat untuk
menjembatani penyampaian berbagai masalah. Forum yang dapat dipilih sebagai
sarana strategis untuk jalur komunikasi pembangunan dari pemerintah kepada
masyarakat. Dialog yang "nyambung" telah terbukti dapat
menyelesaikan berbagai persoalan internal maupun eksternal Kampung, baik urusan
individu maupun kasus sengketa sumber daya. Mulai dari helat Kampung, pertanian
sampai upacara ritual keagamaan. Dialog sebagai titik masuk harusnya efektif
bagi upaya pengembangan sumber daya manusia Kampung menyongsong globalisasi
dengan era otonomi sebagai suasana pendukungnya.
Bagaimanapun wujudnya
forum itu kini, terlepas dari efektif atau tidak, ia masih terasa ada di
masyarakat. Masih memiliki akar dan masih menjadi tumpuan harapan masyarakat,
terutama bila ingin mencapai tujuan yang bersifat kolektif. Bila forum terasa
mandul akibat diformalkan menjadi perangkat desa, maka pilihannya adalah
meninggalkan keformalan itu. Sehingga untuk itu antitesis berupa musyawarah
murni yang kreatif partisipatif perlu diketengahkan.
Pola musyawarah murni
yang dimaksud bukan sekedar "ketemu fisik", melainkan "ketemu
pikiran dan ketemu hati". Meeting of mind kata para bijak bestari. Artinya
dialog setara yang totalitas dapat berkembang dalam merumuskan pilihan-pilihan
pembangunan. Bila selama ini forum didominasi oleh elit desa, maka harus
diciptakan mekanisme baru di pedesaan yang menjamin tertutupnya peluang elit
desa mendominasi pengambilan keputusan. Bila aparat desa kini sekedar pelaksana
kebijaksanaan aparat yang lebih tinggi, maka kedepan ia harus diberi
keleluasaan dalam merumuskan kebijaksaan sendiri bersama warganya. Jadi
intinya, perlu re-orientasi menyeluruh, struktural maupun non-struktural (top down approach ke bottom-up process).
Perubahan dari
top-down approach ke bottom-up process memerlukan penyempurnaan gaya
kepemimpinan dari aparat pemerintah. Aparat pemerintahan perlu orientasi baru,
dari orientasi berpola birokratis struktural formalistis ke orientasi berpola
partisipatif informal non-struktural. Perubahan orientasi yang jelas dirasakan
sangat berat karena akan banyak mengurangi wewenang para aparat yang selama ini umumnya mendominasi hampir
seluruh kebijaksanaan pembangunan. Berubah menjadi sekedar "hanya membina
dan mengayomi" saja. Istilahnya aparat adalah fasilitator belaka.
Tapi pilihan gaya kepemimpinan ini sudah
menjadi kecenderungan gaya kepemimpinan masa depan, dimana gaya struktural akan
menjadi semakin kurang populer karena pengelolaan pembangunan cukup membutuhkan
gaya manajerial saja. Hal ini seiring dengan "semakin cerdasnya"
masyarakat pedesaan kita akibat berbagai akses yang didapat dari hasil kemajuan
pembangunan.
Pendekatan
partisipatif mempertimbangkan pola sosial budaya lokal dan tata nilai setempat.
Artinya tak mungkin diseragamkan. Perimbangan akan keterbatasan potensi lokal
dalam merancang perencanaan pembangunan adalah pilihan yang tentunya akan
rumit, sehingga kemampuan adaptasi dan improvisasi para aparat yang berfungsi
sebagai manajer pembangunan dituntut untuk itu. Disinilah letak pentingnya
pendekatan musyawarah.
Musyawarah Kampung
adalah sarana untuk upaya mempercepat
tercapainya tujuan pembangunan. Prakarsa untuk bermusyawarah dapat berupa hasil
inisiatif masyarakat di kampung atau adakalanya keinginan masyarakat rantau.
Tidak menjadi soal pihak manapun yang memprakarsai, masalahnya justru dalam
pengertian dialog yang akan dikembangkan. Perbedaan persepsi masyarakat rantau
itu satu soal, pendekatan yang dipakai adalah juga soal lainnya. Celakanya
tidak ada jaminan akan terbentuknya interaksi yang setara, karena belum mungkin
pihak rantau bisa menerima kenyataan persamaan posisi. Kondisi psikologis ini
akan mewarnai proses perumusan kesepakatan akan pilihan yang akan diambil.
Sedangkan justru pada proses inilah hakikat musyawarah akan bermakna.
Pada satu sisi,
masyarakat rantau adalah pihak yang potensial sebagai sumber daya pembangunan,
tapi pada sisi lainnya masyarakat di Kampung adalah pelaksana pembangunan itu
sendiri. Kombinasi serasi rantau-kampung halaman adalah jawaban dari upaya
memacu pembangunan Kampung-Kampung di Papua, sehingga kita perlu merekayasa
skenario bersama dalam membangun musyawarah sebagai sarana, dengan catatan
sebagai berikut :
Untuk masa transisi, kita
memerlukan pihak lain menjadi
fasilitator untuk proses musyawarah, semacam fasilitator yang mengelola
proses tanpa keterlibatan emosional, apalagi kepentingan tertentu. Karena
biasanya, musyawarah selalu bercirikan pikiran yang tidak sistimatis; berkesan
informal; terkadang tidak terrumuskan; tidak fokus dan tentunya tidak ada
prioritas. Peran ini yang dikalangan LSM dikenal sebagai “pelancar musyawarah”.
Pihak lain yang dimaksud disini adalah pihak yang paham potensi Kampung,
memiliki persepsi makro pembangunan dan berpihak kepada masyarakat banyak. Bisa
saja berasal dari Kampung yang sama, tapi kalau tidak memungkinkan bisa datang
dari Kampung lainnya. Hal ini penting karena akan diperoleh masukan pengalaman
empiris Kampung lainnya. LSM barangkali pilihan yang memungkinkan untuk
memfasilitasi musyawarah Kampung.
Kesediaan pihak rantau untuk
memahami keterbatasan mereka yang berdomisili di kampung halaman, rela berbagi
pengalaman, menghargai pendapat mereka dan bisa menerima alasan realitas
kampung dalam melihat kendala yang dihadapi.
Re-orientasi gaya
kepemimpinan aparat pemerintah, dari birokratis struktural formalistis menjadi
partisipatif informal non-struktural. Dari kepemimpinan yang merasa berwenang
penuh tentang segala urusan pembangunan menjadi sekedar manajer pembangunan.
Dari sekedar pemimpin bagian dari birokrasi besar, karenanya hanya menjalankan
instruksi dari atasannya, menjadi pemimpin yang mampu berinisiatif, kreatif dan
siap untuk melaksanakan improvisasi dalam mencapai tujuan pembangunan.
Standarisasi informasi,
artinya stake-holders harus memperoleh informasi yang sama, agar bisa satu
bahasa dan persepsi tentang permasalahan yang dihadapi. Konsekwensinya adalah
tidak boleh ada informasi pembangunan yang disembunyikan satu dengan yang
lainnya atas alasan apapun. Termasuk alasan yang berlatar belakang politik.
Kembali ke hakikat musyawarah, berarti kembali kepada hakikat kesediaan kita
untuk menghargai orang lain sebagai manusia. Artinya menghargai
pikiran-pikirannya, sikap hidup dan pilihan-pilihannya. Menghargai perbedaan
pendapat atau tanpa ragu-ragu menerima persepsi baru tentang berbagai hal,
darimanapun datangnya persepsi itu. Menghargai setiap partisipan musyawarah
sebagai pihak yang eksist, bukan sekedar alat, orang kampung yang ketinggalan
ataupun bawahan semata. Kalau hal ini bisa diselenggarakan, baru kita bisa
membicarakan aspek rumit berikutnya dalam pengembangan sumber daya manusia.
Pemberdayaan
Ekonomi Kampung Berbasis Partisipasi. Bila
sistem dan prosedur musyawarah Kampung berlangsung dalam suasana kondusif;
proses musyawarah difasilitasi secara efektif oleh fasilitator (teman
bicara) yang paham metodologi;
keterlibatan aparat pemerintah tidak
dominan; hasilnya merupakan formulasi yang dapat diterima oleh mayoritas anak
Kampung, maka diharapkan sudah ditemukan suatu format perencanaan atau skenario
pembangunan ekonomi berbasis partisipasi seluruh komponen Kampung. Sebuah modal
yang kuat untuk menindaklanjuti pengembangan ekonomi seperti dimaksud diatas.
Bila kebijakan umum pembangunan
ekonomi Kampung secara prinsip sudah disepakati oleh seluruh komponen Kampung,
maka soal selanjutnya adalah bagaimana memulai dan darimana harus melangkah.
Mengingat potensi Kampung ada di rantau dan di Kampung, maka idealnya adalah
menghadirkan sebuah Tim Fasilitator Partisipasi (selanjutnya disebut Tim) untuk
memandu Kampung dalam fase inisiasi dan transisional. Katakanlah suatu tim yang
terdiri dari 5 orang sarjana (dengan berbagai latar belakang) dengan
kualifikasi profesional LSM yang dilekatkan kedalam aktifitas pembangunan
ekonomi Kampung.
Tim yang memiliki
kapasitas pengorganisasian; kemampuan metodologis menggerakkan partisipasi,
mampu memandu penyusunan skenario pengembangan; memiliki akses ke berbagai
pihak yang dapat mendukung pembangunan Kampung (propinsi, nasional dan
internasional) dan memiliki visi global serta khususnya berkemampuan teknis di bidang teknologi informasi. Tahapan
kerja Tim dapat berupa :
Tim akan bekerja
untuk mengkuantifikasi potensi yang dimiliki Kampung (SDA, SDM, Teknologi) dan
bekerja efektif mengembangkan skenario sinergi berbagai potensi itu bagi
manfaat ekonomi maksimal anak Kampung. Dapat dimulai dengan menghitung aset
Kampung berupa lahan ulayat, hutan Kampung, sumber daya air, pasar Kampung,
sarang burung layang-layang, ulayat yang “dipinjamkan” kepada pemerintah atau
investor, dan berbagai aset lainnya. Selanjutnya tim bekerja menyusun rancangan
usaha atau business plan berdasarkan keunggulan potensi setempat yang akan
dikonsultasikan dalam musyawarah Kampung untuk disempurnakan serta segera dapat
diterapkan.
Berdasarkan business
plan Tim bekerja menginisiasi berbagai kelompok masyarakat (misalnya kelompok
tani dsb.) dengan berangkat dari penyadaran dan skenario pembangunan ekonomi
Kampung. Idealnya seluruh anak Kampung yang dikampung terlibat penuh dalam
berbagai kelompok usaha yang diminatinya.
Tim juga dapat
bekerja menyusun usulan “ulayat Kampung baru” yang diajukan kepada pemerintah
atau merekomendasikan penetapan ulayat khusus bagi pengembangan ekonomi Kampung
(misalnya ulayat kelautan, dimana 500 mil persegi dikelola oleh anak Kampung
dengan kaidah pengelolaan laut berbasis komunitas Kampung).
Berdasarkan basis
potensi dan peluang bisnis Kampung, Tim bekerja mengembangkan berbagai
kelembagaan usaha Kampung berbasis kelompok-kelompok yang sudah dibentuk
sebelumnya. Institusionalisasi ini kelak akan bermuara ke bentuk Koperasi
Kampung sesuai hakikat basis ekonomi komunal partisipatif. Namun dapat
pula berkembang dengan memiliki berbagai anak usaha mengurus bisnis spesifik
yang sifatnya perseroan dimana koperasi nantinya berubah peran menjadi
perusahaan induk atau holding company.
Koperasi Kampung
dengan berbagai unit bisnis sebagai anak perusahaan mengelola bisnis Kampung
dalam skala ekonomi yang relevan. Pengeloaan transparan, menerapkan prinsip
akuntabilitas komunal (public accountability) dan berupaya meningkatkan kinerja
menjadi maksimal sebagai perusahaan publik.
Untuk kebutuhan
permodalan yang diperlukan mendukung berbagai usaha, bisa saja dikembangkan
berbagai kerjasama. Namun hubungan kerjasama baru boleh dimulai bila pihak lain setuju dengan prinsip tidak
berubahnya kepemilikan atas aset ulayat Kampung. Semangat ‘kerbau pergi
kubangan tinggal” harus disepakati sebagai prinsip awal dalam membangun
kerjasama. Suatu terobosan lain yang perlu dipikirkan untuk mengatasi kendala
dana adalah dengan meluncurkan surat berharga Kampung atau obligasi atau
Kampung bonds. Mungkin sedikit kompleks pengadaannya, namun layak untuk menjadi
bahan pertimbangan penggalian dana pendukung usaha.
Suasana ekonomi
bertumbuh kondusif dengan dukungan infrastruktur publik dari pemerintah,
(seperti cold storage dan gudang untuk hasil-hasil pertanian; lembaga keuangan
tingkat Kampung serta sarana pemasaran)
Seiring terbangunnya
amplitudo saling menguatkan antara dukungan infrastruktur publik dari
pemerintah dan kesiapan lembaga ekonomi Kampung dan partisipasi penuh seluruh
anak Kampung darimanapun domisilinya, maka diharapkan dalam 4–5 tahun kita
boleh berharap hadirnya kemandiran ekonomi Kampung.
Sampai tahap ini
keberadaan Tim sudah dinilai selesai. namun secara individu tetap saja bisa
bertugas di Kampung, mungkin saja tersebab berkeluarga dan diangkat menjadi
menantu atau karena ingin mengabdi lebih lanjut sebagai profesional mengelola
usaha.
Tugas berikut dari
fasilitasi publik oleh pemerintah adalah mengembangkan dukungan terhadap skala
produksi dan skala ekonomi masyarakat Kampung, yakni dengan membangun suatu
unit baru tingkat propinsi. Katakanlah semacam upaya pemasaran bersama (joint marketing board) yang merupakan
asosiasi milik koperasi-koperasi dari Kampung-Kampung. Unit ini memiliki
lingkup aktifitas :
Fasilitasi paska
panen seperti pergudangan yang relevan, processing lanjut, pengepakan dan
pengapalan.
Dukungan lembaga
keuangan untuk urusan eksport maupun pengiriman dalam negeri.
Merupakan lembaga
yang memiliki legitimasi dari usaha Kampung-Kampung dalam membuka kontak
kerjasama dengan berbagai pihak, dalam dan luar negeri.
Pilihan
Strategis Pengembangan SDA Sebagai Basis Ekonomi Kampung. Dari potensi
alam yang dimiliki propinsi Papua, nampaknya peningkatan ekonomi di sektor
pertanian memiliki prioritas utama untuk dikembangkan. Sudah sejak dahulu disebut-sebut bahwa sektor pertanian
dan agribisnis umumnya merupakan masa depan propinsi ini, namun tidak pernah
secara spesifik terrumuskan prioritas itu apalagi implementasi kongkrit. Pulang
maklum sistem pembangunan pertanian orde baru yang bersifat sentralistis, tidak
memperhitungkan keunggulan potensi wilayah tertentu. Ditimpali pula oleh
politik pertanian yang berpihak kepada pangan, yakni padi, kedele dan jagung
dimana berbagai fasilitas produksi diarahkan untuk mendukung produksinya. Pada
era itu, fasilitas kredit usaha Tani KUT misalnya mayoritas untuk ketahanan
pangan. Barulah pada decade akhir dikembangkan berbagai skim kredit lain
seperti untuk perkebunan dan untuk nelayan.
Bermodalkan kendala
maupun keunggulan kompetitif dan komparatif SDA ini, kita perlu menetapkan
prioritas jenis komoditi yang akan dikembangkan, pola pertaniannya dan peluang
pasar yang menguntungkan. Sebagai pertimbangan, tentunya kita harus
mengembangkan sektor pertanian dengan bertumpu pada keunggulan komparatif dan
kompetitif yang dimiliki. Bila boleh mengolah 40 % lahan saja dari dataran
tinggi yang ada, itu artinya seluas lebih kurang 400.000 hektar. Bermodalkan
lahan dataran tinggi cukup luas inilah Papua secara strategis mengembangkan
sektor pertanian.
Bila kita layangkan
pandang ke sekeliling propinsi, membandingkan Papua dengan berbagai propinsi di
luar Papua dan Indonesia serta meninjau kemungkinan kompetitor dari Asia
Tenggara, Propinsi ini berpeluang sangat besar untuk unggul dalam potensi
pertanian dataran tinggi.
Lahan dataran tinggi
di Jawa juga sudah tinggal sedikit, hanya di pinggang-pinggang Gunung;
Kalimantan tak punya dataran tinggi; Sulawesi memiliki sedikit dataran tinggi
Sulsel dan Sulteng. Papua memiliki dataran tinggi luas, namun perlu waktu
membangun infrastruktur pendukungnya. Demikian pula Asean, negara tetangga
Malaysia hanya punya Cameron Highland yang paling tinggi hanya 1200 meter dari
permukaan laut; Thailand hanya sedikit di utara atau Chiengmai; Vietnam punya
sekedar 4000 hektar di dataran tinggi Da Lat.
Praktis, bila kita jeli memusatkan perhatian
ke produksi pertanian dataran tinggi, maka peluang sangat besar akan diraih
Papua. Produk tanaman hortikultura atau sayur-sayuran dan tanaman dataran
tinggi lainnya akan menjadi primadona produksi Papua menapaki abad 21.
Perhitungan ini sungguh mendatangkan optimisme tinggi akan kemandirian ekonomi
rakyat Papua menyongsong otonomi daerah, dengan mengandalkan primadona
pertanian dataran tinggi sebagai lokomotif penggerak.
Karena akan bertumpu
kepada kemampuan dan partisipasi rakyat ke sektor pertanian, tentulah fenomena
sosial kapital Kampung yang direvitalisasi akan sangat mendukung. Artinya bila
tiap Kampung boleh memanfaatkan 500 - 1000 hektar lahan dataran tinggi ini
sebagai kebun Kampung (dalam hal ini diistilahkan sebagai small estate), maka
akan terrekayasa 500 - 1000 unit small estate. Bila tiap unit small estate
ditanami kopi Arabica saja, maka tiap Kampung akan memperoleh penghasilan
bersih perbulan mencapai 1 - 2 milyar. Kalau sudah demikian, tidak ada lagi
perlunya Papua menadahkan tangan untuk memperoleh belas kasihan berupa kucuran
dana dari Jakarta. Dalam logika ini, bila tiap Kampung berpenghasilan setinggi
itu, kemandirian Kampung mencirikan perwajahan sektor produktif pedesaan Papua
dimasa datang.
Demikian pula, bila
kita berhasil merubah pola bertani masyarakat Kampung yakni loncat dari bertani
tradisional ke pola terstruktur berbentuk industri pertanian, maka kombinasi
penanaman kentang, bawang dan kol dalam unit small estate 100 hektar saja, akan
menghasilkan bersih 25 milyar rupiah dalam tempo 36 bulan saja. Masya Allah.
Mestinya anak Kampung akan terinspirasi untuk tidak lagi perlu merantau mencari
nafkah. Ia lebih nyaman berinvestasi di halaman rumahnya sendiri.
Kita memang perlu
menoleh kelaut. Dengan maha luasnya luat wilayah Papua, tak terbayangkan betapa
besarnya potensi yang kalau digarap efektif jelas akan berdampak kepada
kemandirian Papua. Potensi kelautan yang sejak lama tertinggal perlu
perencanaan yang matang dan hati-hati pengelolaannya. Papua perlu segera
mendirikan semacam Dewan Pengelolaan Kelautan untuk memulai kerja berat
mengolah potensi laut bersemangatkan keberlanjutan sumber daya laut (sustainable marine and coastal zone
management). Sumber daya laut untuk kesejahteraan rakyat, kini dan masa
datang.
Pekerjaan
kelautan diawali dengan pengembangan
“data basis kenelayanan rakyat” Kampung yang bersumber pendapatan dari hasil
laut. Demikian pula interaksi antar aktor-aktor pelaku usaha sektor kelautan
mutlak perlu ditata sehingga tercermin pola ekonomi berkeadilan yang
mendatangkan kesejahteraan seluruh pihak, baik anak Kampung ataupun mitra usaha
yang bekerjasama mengolah hasil laut.
Ulayat kelautan
adalah sebuah wacana penting pula untuk diperbincangkan. Kita perlu memproteksi
sumber kaptif anak Kampung untuk keberlanjutan hidupnya, sehingga perlu menjadi
agenda para pihak dalam mengaktualisasikan. Papua perlu belajar pada pendekatan
traditional fishing right yang
berkembang di Filipina Selatan, atau di Maluku yang dikenal dengan istilah Sasi.
Sasi mengatur pengelolaan ulayat laut bagi masyarakat yang berusaha mengolah
laut dan hasil laut pada kawasan yang disepakati. Perlu pula dikembangkan
semacam Tata Guna Laut Kesepakatan (TGLK) yang merupakan komitmen bersama
masyarakat Kampung-Kampung yang memiliki laut di kawasannya.
Untuk pengelolaan
kelautan, Papua memang sangat ketinggalan. Hal ini dicirikan oleh citra
penghidupan rakyat pantai yang dikesankan pasti miskin, melarat, terbelakang
SDM, teknologi ketinggalan dan wajah eksploitasi kaum pemodal. Pemberdayaan
umat di kawasan pantai dan pesisir nampaknya perlu menjadi prioritas utama kita
di milenium.
Pada tahap awal,
berbagai sumber keahlian diperlukan peran sertanya untuk merencanakan secara
sistematis dan terpadu. Keahlian yang dibutuhkan, disamping hal-hal teknis atau
teknologis adalah bidang lainnya seperti sosiologi, psikologi, antropologi,
pengembangan masyarakat, agama, budaya. Perencanaan dan implementasi yang
sangat terukur pada tahap awal akan menentukan keberhasilan kerja besar
pengelolaan kelautan.
Unit Transaksi
Informasi “Kampung-Online”. Sebagai
unit penting dalam memberdayakan Kampung-Kampung, khususnya dalam hal transaksi
informasi dan pasar adalah dihadirkannya jaringan sistem informasi komunikasi
canggih yang “on-line” dengan sistem global. Intinya berbentuk pengembangan
sistem jaringan berbasis teknologi informasi yang menghubungkan sentra-sentra
kemandirian usaha rakyat Kampung sehingga terbentuknya jaringan pasar domestik,
regional, nasional dan internasional untuk kepentingan anak Kampung sebagai
pelaku usaha.
Jaringan ini
dikembangkan agar anak Kampung siap bersaing dalam era globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi
informasi dan sistem yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh
lembaga-lembaga internasional. Unit ini merupakan public property, dikelola oleh suatu kelembagaan tingkat propinsi
yang dimiliki asosiasi koperasi koperasi Kampung sehingga tercermin daulat
Kampung dalam kinerjanya. Simpul jaringan yang merupakan pusat pelayanan
tingkat propinsi ini merupakan gerbang informasi (information gateway) yang
merupakan sarana kunci bagi Kampung-Kampung untuk berhubungan langsung dengan
global. Gerbang ini dikelola secara mandiri mengunakan akses langsung ke satelit
tanpa harus tergantung pada Jakarta atau pusat manapun.
Pada tingkat Kampung,
unit fasilitasi informasi ini merupakan pekerjaan lanjut dari Tim Fasilitator,
yang ruang lingkup kerjanya antara lain :
Membangun
suatu sistem pengumpulan informasi dan data dari seluruh kawasan produktif
Kampung melalui kelompok usaha Kampung dengan tingkat akurasi maksimal. Data
yang diperlukan meliputi jenis komoditi,
luas produksi, kemungkinan panen dan estimasi hasil produksi.
Melakukan
pemasukan data aktifitas usaha Kampung (data entry) ke unit personal komputer
mutakhir yang dimiliki tiap Kampung. Data entry dilakukan tiap hari diseluruh
Kampung dalam suatu format tertentu dan ditabulasi oleh lembaga di propinsi
untuk dijadikan data propinsi. Dengan demikian propinsi memiliki data harian
dan data estimasi produksi dalam waktu-waktu tertentu.
Transaksi
data berlangsung dua arah dimana tabulasi data propinsi dapat diakses tiap
Kampung.
Demikian
pula karena sistem ini “on-line” dengan global, maka tiap Kampung dapat saja
mencari informasi ke tingkat nasional dan global sesuai kebutuhannya. Misalnya
petani kopi di dataran tinggi Menemani Kabupaten Jayawijaya boleh mengakses
bursa kopi di London dan New York.
Akhirnya,
apa saja kebutuhan akan informasi dan jasa dapat diakses melalui jaringan ini.
Jaringan tersebut
menerapkan sistem open consumer society cooperatives (koperasi masyarakat konsumen terbuka), dimana para konsumen
adalah sekaligus pemilik usaha dari layanan yang dinikmatinya. Hal ini akan
menumbuhkan suatu siklus kinerja usaha yang paling efisien karena pembeli
adalah juga pemilik sebagaimana iklan di banyak negara yang menganut sistem
kesejahteraan sosial masyarakat (welfare state) dengan motto : “belanja
kebutuhan sehari-hari di toko milik sendiri”.
Secara teknis sistem ini dikembangkan sedemikian rupa dengan didukung
oleh jaringan telekomunikasi, jaringan pembiayaan, jaringan usaha dan
perdagangan, jaringan advokasi usaha, jaringan saling ajar, serta jaringan
sumber daya lainnya seperti hasil riset dan teknologi, berbagai inovasi baru,
informasi pasar, kebijaksanaan dan intelijen usaha, dsb. Pengembangan jaringan
dilakukan dengan mengutamakan pendekatan yang adil dan merata bagi setiap anak
Kampung maupun warga negara pada umumnya, agar tidak terjadi lagi diskriminasi
terhadap pelaku usaha tertentu yang selama ini disudutkan dan disebut sebagai
beban pembangunan.
Dalam hal ini sistem
ekonomi jaringan berkontribusi mempercepat laju pencapaian demokrasi ekonomi
sebagaimana diamanahkan oleh konstitusi. Bila akses terhadap berbagai sumber
daya dilakukan secara bebas, maka berbagai ketidak seimbangan aliran informasi
bisa diatasi. Bila aliran informasi dimaksud lancar kepada masyarakat, maka
akan bertumbuh pula kontrol yang efektif sehingga praktek dis-informasi sektor
keuangan misalnya dapat diberantas habis.
Pada akhirnya,
ekonomi berbasis jaringan adalah suatu pendekatan perekonomian yang menghimpun
para pelaku ekonomi, baik itu produsen, konsumen, service provider, equipment
provider, cargo, transportation unit, airline, perbankan dan lain-lain dalam
suatu jaringan yang terhubung secara elektronik.
Dengan melakukan
pembenahan di bidang “flow of information
(aliran informasi)” dan “flow of money
(aliran dana)” sebagai implikasi logis perubahan sistem sentralistis ke
otonomi, maka diharapkan secara alami akan bertumbuh “flow of goods and
services (aliran barang dan jasa)” dalam bentuk perdagangan antar Kampung atau
regional, nasional sampai internasional berdasar pada potensi dan komoditi
unggulan Kampung masing-masing.
Unit transaksi
informasi ini dibangun di seluruh Kampung dalam bentuk simpul jaringan
elektronik yang bertugas secara umum sebagai Multi-purpose Community Telecenter (berperan memfasilitasi anak
Kampung untuk mengakses informasi, seperti informasi produksi, pasar, informasi
perkreditan, informasi dukungan teknologi, dukungan konsultasi usaha,
komunikasi dengan pembeli dari luar sampai-sampai kebutuhan sekunder tingkat
keluarga dan lain-lain). Seluruh simpul tiap Kampung akan dihubungkan secara
elektronis melalui jaringan teknologi informasi (internet). Dengan demikian,
jaringan bersifat “on-line” ini
diharapkan akan menjadi infrastruktur pendukung terpenting bagi dunia usaha
masyarakat Papua Baru yang berkeadilan dan merata.
Unit transaksi
informasi ini difasilitasi dan dikelola oleh Tim Fasilitator yang sudah
punya visi pembangunan berbasis Kampung.
Infrastruktur yang dibutuhkan cukup sebuah Personal Computer kapasitas mutakhir
yang saluran telepon.
Unit ini akan menjadi
denyut jantung berbagai usaha Kampung dan merupakan episentrum pemberdayaan
Kampung. Seiring dengan bertumbuhnya aktifitas Kampung akibat tidak ada lagi
kendala informasi, diperhitungkan anak Kampung potensial tidak perlu lagi
merantau karena ia dapat hidup dan berusaha dengan leluasa di Kampung sendiri.
Artinya sekaligus mengatasi kelangkaan sumber daya cerdas produktif tingkat
Kampung. Implikasi kehadiran simpul jaringan diperkirakan akan meluas dalam
bentuk efek berantai sehingga dalam waktu tidak terlalu lama kita akan dapat
pula mengatasi kelangkaan SDM berkualitas yang mengelola infrastruktur sosial
budaya Kampung.
Sebagai bagian dari
upaya memekarkan fungsi jemat dan mendukung gerakan kembali ke kampung
selayaknya unit transaksi informasi ditetapkan di gereja Kampung yang sekaligus
berfungsi sebagai lokal-host atau pelayanan lokal. Seluruh dusun-dusun
merupakan unit-unit lebih kecil cakupan kapasitasnya melayani kebutuhan
transaksi informasi tingkat dusun. Kelak, keberadaan unit ini memicu
bertumbuhnya fungsi ekonomi di dusun-dusun dan di Gereja Kampung. Pola
transformatif mana pada gilirannya akan menghadirkan manajemen gereja yang
merupakan sinergi produktif prinsip-prinsip akidah dengan manajemen publik,
yang mencirikan transparansi dan akuntabilitas.
Sinergi Dalam Kampung Dalam Provinsi. Sinergi
berbagai elemen dalam Kampung niscaya akan menghadirkan sebuah kekuatan ekonomi
baru berbasis Kampung-Kampung. Sinergi kekuatan dari Kampung-Kampung adalah
potret ekonomi Papua di masa depan. Dengan demikian, rasanya tak perlu terlalu merisaukan berbagai kebijakan publik
yang dicetuskan paska reformasi. Apapun wujudnya kebijakan itu, tentu kapung-kampung
di propinsi ini akan siap menghadapi. Termasuk kalau harus merdeka sekalipun. (arkam)
No comments:
Post a Comment