PENDIDIKAN
EKONOMI PUBLIK MERAJUT SATU TUNGKU DALAM SATU RUMAH ADAT
Dalam rangka memasuki
pilkada gubernur oktober mendatang minggu lalu ada gelombang besar yang
bergaung. Pertama proyeksi DAP (Cepos, 12 Agustus 2005). Tak seperti proyeksi
Undang-Undang Perimbangan Keuangan Nomor 25 tahun 1999 yang kerap melenceng
jauh, proyeksi DAP tidak memiliki tingkat keyakinan yang tinggi. Hal ini
disebabkan proyeksi DAP terhadap tingkat ketidak keberhasilan otsus lebih
bersifat trik dan intrik politik ekonomi. Membaca ketidak berhasilan otsus di Papua
tidak sepengal-sepengal, tidak terintegrasi, menelah perekembangan otsus di Papua
perlu kejernihan yang bebas nilai tribalisme, dalam artian dalam benak kita
tidak boleh ada persepsi negatif yang mengerikan yang berkembang karena
kebrutalan kita memandang kesederhanaan orang papua berarti mereka miskin,
kebodohan berpikir ini merupakan sumber bencana bagi kita yang tidak mengenal
hukum berpikir pembuktian sebab akibat. Secara sederhana kita dapat mengkaitkan
pelaksanaan otsus tahun 2001 sebagaimana pada tabel berikut.
ANALISIS
EKONOMI
Untuk mendapatkan
evaluasi umum masyarakat papua tentang keadaan otonomi khusus papua
dilaksanakan tahun 2001, seperti pada tabel dapat disimpulkan bahwa rata-rata
provinsi di Indonesia
mendapatkan alokasi dana sekitar 1 triliun s.d
3 triliun. Kecuali sejumlah provinsi besar di pulau jawa dan 2 provinsi di
luar pulau jawa yakni Kaltim dan Riau yang mendapatkan alokasi dana diiatas 6
triliun. Hal ini terjadi karena dasar perimbangan pembagian dana tersebut
mengacu pada sejumlah indikator ekonomi seperti jumlah penduduk, luas wilayah,
sumber daya alam dll pada provinsi masing-masing.
Selaras dengan
perkembangan perilaku dana diatas, menunjukkan nilai alokasi dana 3,507 triliun
untuk papua, hasil ini menunjukkan bahwa secara umum dana pemerimbangan
keuangan pusat dan daerah (PKPD) dan non PKPD. Dana PKPD terdiri dari DAU dan
DBH (penerimaan PPH, PBB, BPHTB, bagi hasil minyak & gas, perikanan dan pertambangan)
sedangkan dana non PKPD terdir dari penerimaan asli daerah (PAD), subsidi
daerah otonom (SDO), inpres dan dana kontijensi.(baca UU/25/1999).
Sementara itu,
pelaksanaan UU/22/1999 pemerintah
melaksanakan pemekaran beberapa kecamatan di papua menjadi kabupaten, fenomena
ini ikut mempertinggi alokasi dana operasional yang sifatnya pembangunan
infrastruktur, membayar gaji pegawai, dan kegiatan rutin daerah yang jumlahnya
relatif besar. Fenomena inilah yang menyebabkan belum adanya efek menetes yang
dirasakan secara langsung oleh masyarakat papua dengan pemberlakuan otsus.
Menurunnya alokasi
dana non-PKPD sebesar 528 miliar juga terlihat dari minimnya kontribusi daerah
terhadap PDB walaupun memiliki sumber daya alam yang besar namun tidak
memberikan kontribusi yang berarti pada pos DHB pemerintah pusat. Perkembangan
tersebut beriringan dengan memburuknya indikator-indikator pendapatan asli
daerah yang lain. Memburuk indikator-indikator tersebut memperlihatkan
kecenderungan bahwa Papua kian rentan pada penyesuaian situasi keamanan belum
menjamin investasi asing, di bidang ini, berbagai rintangan ada, seperti belum
mempunyai berbagai infrastruktur investasi seperti UU Perpajakan, UU ketenaga
kerjaan, kredit investasi dan ekspor juga masih minim. Saat ini kredit
perbankan untuk investasi kurang dari 5 persen dari PDB Papua.
Guntingan Cepos 12
Agustus 2005, DAP mengatakan pengelolaan otsus tahun 2001-2005 belum
dilaksanakan pemerintah daerah tidak cukup beralasan. Sebab, kondisi
pemberlakuan otsus Papua semester pertama 2001 belum membaik seiring dengan
pemekaran kabupaten di Papua masih dalam pra-otonomi daerah, maka droping dana
PKPD dan non-PKPD yang disalurkan pemerintah pusat pada pemerintah daerah
selama tahun 2001, sejauh ini baru digunakan oleh pemerintah untuk membiayai
pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah berupa pembenahan struktur
kelembagaan pada masing-masing daerah tersebut,. (Arkam)
No comments:
Post a Comment