KESEMPATAN OTONOMI KHUSUS PAPUA HILANG
(dimuat di Jurnal Ekonomi dan Bisnis Volume XI No.2 Agustus 2008, Ekonomi Uncen)
Dizaman yang sangat modern ini, harus kita akui bahwa jurang
pemisah antara yang kaya dan yang miskin menjadi sangat lebar. Artinya dari
kenyataan yang kita lihat, yang kaya bertambah dan yang miskin bertambah
miskin. Hal ini bisa terjadi, bagi mereka yang kaya, pandangannya hanya selalu
tertuju kepada keindahan dan gemerlapannya dunia ini, ingin punya materi yang
lebih. Dan tidak salah keinginan yang demikiyan ini, asalkan semua ini
diperoleh dengan cara yang halal. Sedangkan bagi yang miskin demi sesuap nasi,
ibu-ibu tua dengan membongkok menggendong beban, abang-abang ojek tanpa
mengenal lelah menancap motor, pedagang kaki lima yang siap-siap digusur dan
habis dagangannya, padahal untungnya tidak seberapa, para buruh tani di
pedesaan yang harus bekerja keras dibawah terik matahari, dan juga panti-panti
asuhan yang juga membutuhkan banyak biaya untuk menghidupkan para penghuninya,
pernahkah kita sekejab saja memikirkan nasib mereka.
Sunguh indah wacana tahun 2001 penawaran otonomi khusus
Papua yang digulirkan pemerintah pusat dalam menjawab aksi-aksi sosial masyarakat
papua, pemerintah pusat memberikan kewenangan pada daerah dalam menata sistem
anggaran dengan pembagian yang proposional sebagai kesempatan bagi Indonesia
mempertahankan keutuhan peta Indonesia, apa implikasi opini publik yang kurang
positif terhadap penawaran produk (otonomi khusu) sebagai dinding pembatas
kebebasan publik secara universal. Celakanya, orang-orang papua yang mencoba
menjadi aktor mencatat segala bentuk aksi-aksi sosial masyarakat dalam sebuah
transkrip yang dinamakan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang diharapkan
dapat memberikan sinar pencerahan dalam memadam titik api yang mulai dan akan
membakar peta Indonesia.
Karena itu, kedengaran suara masyarakat papua menjadi
mutlak, meminjam pandangan analis menjelaskan persoalan yang dihadapi
masyarakat Papua bukan persoalan infrastruktur atau rekonstruksi sarana dan
prasarana fisik, tapi yang lebih penting lagi adalah masalah manusia. Apa yang
sedang dilakukan pemerintah dilihat dan dirasakan oleh masyarakat papua karena
itu mereka pasti punya penilaian krusial , terutama momentum lemahnya penegak
hukum di Papua, ilegal loging, dan KKN di jajaran pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota diletakkan dalam kerangka momentum untuk merajut kembali rasa
ketidak Indonesiaan masyarakat Papua.
PENDUDUK DAN KEMISKINAN
Dalam melihat
posisi dan peran pemerintah daerah dalam kontek kewenangan seluas-luasnya, kita
sering kali terperangkap pada persoalan dominasi dan arogansi pemegang
kalkulator pemerintahan terhadap pemberdayaan masyarakat miskin. Pada perkembangannya
ketimpangan hubungan kemudian tidak saja dilihat secara langsung. Berbagai
lembaga swadaya masyarakat pada akhirnya juga dipandang sebagai perpanjangan
tangan dari pemerintah. Untuk mendapatkan evaluasi umum masyarakat papua tentang keadaan di papua
ketika survei ini dilakukan pertama-tama penulis lakukan dengan meminjam
pandangan analis Mubyarto (2002) menjelaskan ada argumentasi sederhana yang
datang dari daerah-daerah yang sudah maju bahwa suatu daerah menjadi miskin
jika membiarkan penduduknya tumbuh “menurut deret ukur”. Penduduk yang tumbuh tak terkendali pasti cepat
menurun kemakmurannya karena produksi pangan tumbuh lambat ”mengikuti deret
hitung”. Inilah teori sedih (dismal) dari Thomas Robert Malthus (1817)
yang mengakibatkan ilmu ekonomi disebut sebagai ilmu yang memilukan (the
dismal science) oleh Thomas Carlyle (1849). Untuk tidak menyerah begitu
saja pada pandangan Carlyle, Mancur Olson dan Satu Kahkinen menerbitkan buku A
Not-So-Dismal Science (Oxford, 2000) yang mengacu pada penelitian mendalam
“dari bawah” yang meskipun mahal dan memakan banyak energi, toh dalam jangka
panjang “jauh lebih murah”.
Jalan keluar untuk mengatasi kemiskinan yang
disebabkan tekanan penduduk merupakan pertemuan antara prakarsa asli penduduk
dengan program pemerintah. Misalnya untuk data papua, intensifikasi pertanian,
industrialisasi perdesaan, migrasi, dan keluarga berencana. Dari empat jalan
keluar atau pemecahan ini, migrasi, terutama yang bersifat sementara, rupanya
paling berhasil, yaitu bekerja di luar pertanian atau di luar desa, sehingga
dapat membawa pulang uang untuk belanja keluarga. Belakangan banyak anak-anak
muda merantau ke luar daerah, bahkan ke luar Papua, untuk bekerja ”mencari
uang”. Anak-anak muda ini kebanyakan pulang ke desa (mudik) sekali setahun pada
hari raya dan/atau mengirimkan uang secara rutin untuk membantu belanja orang
tua atau membantu biaya sekolah adik-adiknya.
Namun, satu hal yang harus disadari tidak
sepenuhnya benar jika dikatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh kepadatan/kelebihan
penduduk semata-mata, karena: pertama, orang-orang desa sebenarnya cukup
sadar untuk tidak memiliki banyak anak dengan melaksanakan KB; dan kedua,
jika ada kesempatan penduduk desa selalu ”meninggalkan desa” untuk mencari
pekerjaan di mana saja. Sama sekali tidak benar jika dikatakan orang-orang desa
selalu “menerima apa adanya”, dan berfilsafat ” makan tidak makan asal
berkumpul”. Pertumbuhan penduduk daerah miskin di papua dewasa ini sudah semakin
tinggi sekali dan bahkan menjadi musafir tanpa kartu keluarga.
MASALAH EKONOMI
Untuk mendapatkan evaluasi umum masyarakat papua tentang
keadaan otonomi khusus papua, ketika studi kasus dilakukan dengan mengali
berbagai informasi ditanya bagaimana pandangan mereka dalam tiga masalah umum :
keadaan ekonomi, penegakan hukum, dan keamanan di papua. Masyarakat papua
menilai bahwa keadaan ekonomi papua sekarang, lebih dari separuh masyarakat
papua menyatakan keadaan ekonomi di papua buruk. Sementara untuk penegakan
hukum di Papua, proporsi yang menikai keadaannya akan baik dari atas penilaian
keadaan ekonomi. Penilaian lebih baik diberikan atas keadaan keamanan.
Walaupun orang bisa menilai keadaan di papua dengan
pemberlakuan otonomi khusus papua keadaan keamanan di papua lebih baik, tapi
bagi masyarakat papua menilai keadaan papua masih sangat kurang baik. Ketika
diminta mengevaluasi keadaan ekonomi keluarga/rumah tangga dan keadaan ekonomi
papua pada umumnya sekarang dibandingkan tahun lalu, juga dua dari sepuluh
warga papua yang mengatakan keadaan ekonomi rumah tangga mereka dan keadaan
ekonomi provinisi papua sekarang kurang baik dibandingkan zaman pemerintahan
orde baru.
PEMERINTAH DAERAH BURUK
Sementara itu, ketika warga papua diminta memberikan
penilaian umum atas kerja pemerintah daerah dalam menangulangi kemiskinan,
proporsi yang memberikan penilaian positif kurang lebih konsisten dengan
proporsi penilaian mereka terhadap kondisi ekonomi di papua sekarang. Hanya dua
dari sepuluh warga papua yang menilai bahwa pemerintah daerah di Jayapura sudah
cukup banyak memberikan kemajuan dalam upaya mengurangi korban pelecehan
hak-hak masyarakat papua. Dan, lima dari sepuluh warga papua yang secara
eksplesit menyatakan baru sedikit atau tidak ada kemajuan yang dibuat
pemerintah daerah dalam menangulangi kemiskinan struktutal. Perasaan ini
ditemukan lebih besar lagi bagi warga papua yang terkena langsung musibah
tersebut. tujuh dari sepuluh warga papua yang kena musibah tersebut menilai
baru sedikit atau tidak ada kemajuan yang dicapai pemerintah daerah setelah
tiga tahun otonomi digulirkan.
Indikator opini publik di atas menunjukkan pemerintah
daerah dirasakan paling buruk upayanya dalam menagulangi kemiskinan. Apakah
fakta objektivitasnya demikian, tentu perlu analisis lebih lanjut. Tapi kalau
opini publik dipandang sebagai faktor penting untuk mengukur kinerja pemerintah
dalam menjalankan otonomi daerah kearah yang lebih baik, dan bahwa opini publik
punya nilai opini politik bagi pemerintah daerah, sikap dan tindakan responsif
terhadap aspirasi warga, maka indikator tersebut harus diperhatikan.
KESEMPATAN ATAU MALAPETAKA
Masalah lebih penting bagi pemerintah daerah, terumata
yang berkepentingan dengan keutuhan peta provinsi papua, apa implikasi opini
publik yang kurang positif terhadap monopoli pemerintah pada pasar gagasan tersebut
bagi rasa keindonesiaan masyarakat papua. Meminjam pandangan analis menyebutkan
salah satu cara untuk mengukur rasa keindonesiaan, atau rasa kebangsaan pada
umumnya, adalah tingkat kebanggaan seseorang warga menjadi warga bangsa bersangkutan.
Dalam konteks ini adalah tingkat kebangsaan warga papua menjadi warga papua.
Ketika studi kasus menggunakan metode pencuplikan sistematis dari yang
diaminkan Cepos Senin, 18/7/05, menunjukkan rasa kebanggan warga papua pada
pemerintah daerah diantara masyarakat papua pada umumnya dan juga warga papua
yang merasakan. Kalau dibandingkan dengan tingkat kebangaaan memilih otonomi
daerah dari survei menunjukkan bahwa tidak ada kebanggaan pemberlakuan otonomi
khusus di papua khsusnya dan permberlakuakn otonomi nasional pada umumnya
ataupun yang tidak, 9 dari 10 merasa sangat atau cukup bangga merasakan otonomi
daerah. Sementara pada populasi masyarakat papua, hampir semua warga papua
tidak merasa bangga terhadap otonomi daerah.
Namun, demikian, proporsi tersebut tetap harus mendapat
perhatian. Perhatian terutama harus diberikan dalam rangka perbaikan kondisi
ekonomi dan sosial budaya masyarakat, terutama lagi terhadap pelangaran hukum
sebab ada pola yang menunjukkan ada hubungan antara kondisi ekonomi warga
dengan pandangan pemerintah dalam menaggulangi pembakaran peta Indonesia dan
kebanggan menjadi warga Indonesia. Warga papua merasa kondisi ekonomi rumah
tangga mereka tiga tahun belakangan ini tambah buruh dari tahun sebelumnya,
cenderung memandang pemerintah kurang atau tidak banyak berbuat untuk
penanggulangan berbagai pelanggaran di papua.
Pola itu menunjukkan bahwa bila kondisi ekonomi
masyarakat papua dirasakan berkurang, maka terbuka peluang semakin menurunnya
rasa keindonesiaan warga papua. Dan dirasakan bila pemerintah daerah dirasakan
semakin banyak berbuat untuk perbaikan keadaan di papua maka proporsi yang
merasa bangga menjadi warga Indonesia juga semakin besar dan kuat. Otonomi
khusus telah melahirkan kesempatan untuk menyelesaikan masalah papua secara
menyeluruh, dan kesempatan untuk memperkuat rasa keindonesiaan warga papua akan
hilang dengan otonomi khusus yang sebenarnya ? Sebagian besar dari masalah itu
terpulang pada kerja pemerintah daerah. Selamat berpelesir
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen
No comments:
Post a Comment