PERAN SERTA ANAK
KAMPUNG MEMBENTUK MODAL SOSIAL MASYARAKAT
Sungguh
indah suguhan wacana yang berkembang
sejak otonomi daerah resmi digulirkan di
Papua yang merupakan jawaban aksisosial masyarakat Papua. Mampu menghadirkan
optimisme bahwa kebijakan publik untuk kembali ke sistem pemerintahan adat
rasanya sangat tepat waktu walau sebenarnya telah ditunggu-tunggu sejak lama.
Berbagai upaya menjemput kembali modal sosial, merekat ulang sistem sosial yang
telah bercerai berai dan dalam jangka panjang berkontribusi pada upaya
pengembangan potensi ekonomi masyarakat adat dalam menghadapi problematika masa
depan.
Kembali ke
sistem pemerintahan masyarakat adat adalah sebuah fenomena yang didambakan oleh
berbagai pihak, terutama setelah hampir
setengah abat sejak peleburan papua menjadi bagian teritorial RI. Terasa
banyak yang hilang akibat penerapan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang
diikuti oleh perda-perda dimana modal sosial yang strategis untuk mendukung
kinerja pembangunan ikut lebur ke bentuk-bentuk seragam sesuai kebijakan
politik pemerintahan Orde Baru.
Peleburan dan
penyeragaman sebagai implikasi penerapan otsus berlaku pada sistem pemerintahan
adat yang dipecah pecah menjadi desa dan Kelurahan dimana pelayanan publik
tingkat terendah secara administratif diserahkan kepada para kepala desa dan
lurah yang ditetapkan oleh kepala daerah. Peleburan ini tidak saja
memecah-belah kesatuan adat dan budaya, namun juga menghadirkan konflik
kepemilikan Sumber Daya Alam (SDA) berupa ulayat masyarakat adat yang bertumpang
tindih dengan batas wilayah desa. Untuk mengantisipasi berlanjutnya
kesimpangsiuran antara kewenangan adat dan pelayanan administratif, dikeluarkan
Peraturan daerah (Perda). Perda ini menetapkan urusan wilayah adat dan kesatuan
hukum adat dikelola di tingkat kampung dan kewenangannya ada pada lembaga adat
sedangkan urusan adminsitrasi pemerintahan di kelola pada tingkat desa.
Penyeragaman
secara sistemik ini menghancurkan berbagai potensi positif masyarakat kampung,
krisis kewibawaan pemangku adat, tidak dipatuhinya hukum adat, konflik ulayat,
menurunkan partisipasi masyarakat untuk membangun dan secara umum melebur modal
sosial yang menjadi tumpuan dalam memandirikan masyarakat kampung.
Dengan
diberlakukannya sistem desentralisasi, kewenangan administratif dipersadingkan
kembali dengan kewenangan adat dan hukum adat. Artinya dualisme kepemimpinan
antara birokrasi dengan pemuka adat praktis terjembatani sehingga sinergi
demikian akan merangsang kembali partisipasi, prakarsa dan minat masyarakat untuk
bahu membahu menghadapi tantangan pembangunan. Namun kembali ke sistem
masyarakkat adat tentu bukanlah set-back ke masa lalu, ia harus antisipatif
dengan berbagai perubahan dan tantangan global di masa datang.
Kembali ke
Sistem masyarakat adat pada intinya adalah kembali ke suatu sistem sosial
kemasyarakatan di masa depan, dimana penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
menjadi sangat mutlak adanya. Melihat kecenderungan globalisasi yang rasanya
tak mungkin dicegah, maka penguasaan penuh atas teknologi informasi menjadi
vital bagi rakyat di kampung. Kelompok masyarakat yang gagap teknologi, niscaya
akan dilindas oleh mereka yang menguasai teknologi dan informasi itu. Menjemput
modal sosial dan mengantisipasi faktor eksternal bagi kemandirian masyarakat
adat adalah memfasilitasi Masyarakat Adat merekayasa masa depan kampung sesuai
potensi yang dimilikinya.
Dari sisi
pemerintahan, soal kembali ke kampung tentu diartikan secara fisik melembagakan
berbagai potensi sosial untuk dapat berkontribusi efektif membangun kampung
melalui kelembagaan formal yang ditetapkan. Agenda pemerintah adalah
mendudukkan aparat pemerintahan kampung seperti
lembaga legislatif Badan Perwakilan Masyarakat Adat, memilih lembaga
eksekutif wakil kampung berikut perangkatnya serta berbagai infrastruktur
pendukung lainnya.
Diharapkan
dengan aparat pendukung yang kelak akan ditentukan, berbagai kewenangan
administratif yang selama ini terpusat di Kabupaten dapat didesentralisasi
pengelolaannya ke tingkat kampung. Dengan pendelegasian kewenangan dan hak ini,
diharapkan akan bertumbuh prakarsa, inisiatif pembangunan dan sinergi berbagai
potensi dalam masyarakat sehingga dalam waktu singkat kita boleh berharap akan
hadir kampung-kampung yang mandiri di tanah Papua.
Pada sisi ini
kita boleh beranggapan bahwa urusan sosial politik kampung tuntas
dikerangkakan. Tinggal bekerja keras bagaimana menciptakan suasana kondusif
agar sistem administrasi publik bekerja efektif melayani kebutuhan masyarakat
kampung. Sementara itu, disisi masyarakat sendiri, setelah terpilihnya
infrastruktur pemerintahan kampung adalah soal bagaimana membangun kemandirian
kampung dari sisi sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya. Ada banyak hal yang mesti
dijawab, antara lain bagaimana membiayai infrastruktur yang telah dipilih dan
ditetapkan. Bagaimana menjawab problema sumber-sumber ekonomi, angkatan kerja,
konflik ulayat, pendidikan, krisis moral dan pentaatan beragama, serta
antisipasi terhadap globalisasi.
Dengan demikian banyaknya agenda publik yang harus diantisipasi oleh
Masyarakat Adat (masyarakat adat), pertanyaan lanjut adalah dari mana harus
memulai dan kemana langkah harus diayunkan. Wacana teoritis dan perbandingan
tentu dapat diketengahkan, namun publik menunggu sebentuk skenario yang
dianggap meyakinkan seluruh stakeholders. Baik yang di tanah Papua maupun yang sudah berdomisili di rantau.
Sebenarnya,
Bila ingin membicarakan pengembangan masyarakat adat, tentu tak dapat
dilepaskan dari pendekatan pembangunan
nasional yang dikelola sejak 3 dekade terakhir. Pemerintahan Orde Baru
menjadikan pembangunan ekonomi sebagai isu sentral dalam aktifitasnya
melaksanakan amanat konstitusi, dengan menetapkan industrialisasi sebagai titik
tumpu usaha. Untuk itu telah diciptakan pusat-pusat pertumbuhanatau industri
yang didasari ketersediaan infrastruktur penunjang (urban base). Dengan
ketersediaan infrastruktur itu, kota-kota di Pulau Jawa berkembang menjadi
pusat aktivitas pembangunan (contohnya kota
Sidoarjo Jawa Timur, dimana ditemukan pemusatan berbagai industri agar efektif
dan efisien. Industri tekstil; sampai industri pendidikan).
Propinsi
Papua belum sempat dikembangkan menjadi
pusat pertumbuhan dimaksud, sehingga sampai tahun 2013 aktifitas percepatan
pembangunan masih di pusatkan pada pengembangan infrastruktur yang terlihat,
khususnya pengembagan akses jalan-jalan ke daerah-daerah pedalaman serta masih
berbasis sumber daya alam, yakni memproduksi kayu gelondongan, kayu lapis serta
perkebunan.
Dengan
demikian, sedikit sekali imbas industrialisasi kepada keberadaan masyarakat
adat. Penurunan fungsi dan peran masyarakat adat justru datang dari kebijakan
politik birokrasi pemerintahan, dimana untuk alasan stabilitas pembangunan
diberlakukan penyeragaman penyelenggaraan pemerintahan terendah (hal mana
tertuang dalam tata pemerintahan yang dilegitimasi oleh Undang-undang Otonomi
Khusus Papua). Kampung-kampung dipecah-pecah menjadi desa-desa sehingga dengan
seketika jumlahnya menjadi ribuan. Implikasi dari keberadaan ribuan desa-desa
ini adalah pada “membanjirnya” sumber daya pembangunan dari pemerintah pusat
berupa Bandes, Inpres dan banpres serta fasilitas lainnya. Banyaknya sumber
pembangunan pusat yang dapat “digandakan” ke daerah ini digembar gemborkan
sebagai prestasi oleh pemerintah daerah. Dikatakan ratusan kilometer
infrastruktur jalan telah dibangun, ratusan jembatan dan fasilitas lainnya
dinilai sepihak telah mensejahterakan desa-desa. Tak dapat dipungkiri karena
memang demikian adanya. Namun bukankan itu wujud fisik semata ?
Di sektor non
fisik nyata sekali terlihat penurunan partisipasi rakyat dalam membangun.
Karena segala kebijakan pembangunan diatur secara sentralistik berjenjang,
berjangkitlah ketergantungan desa-desa ke birokrasi pemerintahan. Desa-desa
walaupun bebas menentukan pemimpinnya, tetap dibawah kendali Camat dan Bupati.
Arus perencanaan pembangunan memang berjenjang dari bawah, namun eksekusi
biasanya dilakukan di PusatatauBappenas. Apa yang diusulkan dari bawah melalui
mekanisme Musbangdes-UDKP-Rakorbang Kabupaten dan Propinsi, umumnya terpenuhi
sekitar 2 % saja. Inipun terdapat ketidak sesuaian antara permintaan
berdasarkan kebutuhan dengan program pembangunan yang disetujui. (hasil Local
Level Institution Study, Bank Dunia, 1996).
Kesediaan
berpartisipasi semakin memudar sejalan dengan berbagai ketidak pastian pelaksanaan
pembangunan. Musbangdes tetap dilakukan tiap tahun, tapi lebih kepada rutinitas
yang terbatas pada elit desa belaka. Hal mana berlangsung bertahun-tahun dan
itulah nyatanya potret partisipasi di desa-desa Papua hari ini. Namun apapun
kondisi itu, kehidupan harus terus berlangsung dengan atau tanpa dukungan
pemerintah. Desa-desa di pelosok Papua mesti terus bergerak, menggeliat untuk
bertahan hidup dan mencoba terus berkembang. Selamat Merenung...
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)
No comments:
Post a Comment