RIAK OTONOMI KHUSUS PLUS MENGGANGGU
ANAK PAPUA
ANAK PAPUA
Sungguh indah wacana 2013 redefinisi otonomi khusus
Papua menjadi otonomi khusus plus yang ramai-ramai dibicarakan oleh orang-orang
terbaik Papua yang katanya prihatin kondisi Papua kekinian.
Tokoh-Tokoh terbaik dan akademisi yang diberikan
mandat pemerintah Jakarta mencoba menyusun sistem anggaran dengan
perbandingan yang proporsional dalam menjawab aksi-aksi sosial masyarakat
Papua.
Penawaran otonomi khusus plus sebagai kesempatan
pemerintah Indonesia mempertahankan peta Indonesia, apa implikasi opini publik
yang kurang positif terhadap penawaran produk (otonomi khusus) sebagai dinding
pembatas kebebasan orang Papua secara universal dalam mencari keadilan atas
tanah Papua.
Celakanya, orang-orang Papua yang mencoba menjadi
aktor mencatat segala bentuk aksi-aksi sosial masyarakat Papua dalam sebuah transkrip yang dinamakan
undang-undang otonomi khusus plus yang diharapkan dapat memberikan pencerahan
dalam memadam titik api yang mulai dan akan terus membakar peta Indonesia.
Dalam memasuki pengesahan draf undang-undang otonomi
khusus plus bulan november 2013 ini menarik untuk dilihat selebaran-selebaran
yang dibagikan mahasiswa kepada seluruh komponen masyarakat Papua agar
berpartsisipasi dalam aksi demo damai tanggal 04 november 2013 dengan agenda aksi
“KETIDAK
PERCAYAAN MASYARAKAT PAPUA TERHADAP PRODUK HUKUM BUATAN PEMERINTAH JAKARTA DAN PAPUA” beralasan dan
terbukti : 1). Berhamburnya dana untuk birokrat dan bukan untuk kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat Papua; 2). Berhamburnya daerah otonom baru (DOB)
membukan peluang untuk orang asing bukan pembangunan dan membuka keterisolasian
masyarakat Papua (GempaR).
KACA MATA PENULIS, mungkin tidak ada yang lebih tulus
menggunakan hakekat Dialog Jakarta-Papua yang masih belum secara sadar dipahami
Jakarta dalam menyelesaikan masalah-masalah Papua dengan cara-cara santun dan
bijaksana bersama lembaga kultur Papua (MRP) dalam merajut rasa keindonesiaan
masyarakat Papua.
Menurut penelitian A. Kambu, dosen FE-UNCEN menyebutkan bahwa otonomi khusus dilihat
dari aspek kebijakan dan aspek implementasi otonomi khusus belum melahirkan
kesempatan yang berarti dalam menyelesaikan masalah-masalah Papua secara
menyeluruh (pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur).
Pandangan itu berangkat dari anggapan bahwa
infrastruktur dasar masyarakat dikarenakan pemerintah Jakarta dan Daerah belum
sepenuhnya memberdayakan para-para adat (manajemen tiga tungku) sebagai tempat
diskusi dalam menyelesaiakan persoalan-persoalan Papua. Para-para adat itu
penting karena berangkat dari anggapan bahwa karakteristik (sikap dan perilaku)
masyarakat Papua itu mudah tersinggung, gampang curiga pada orang lain, gampang
marah, bahkan bila orang Papua dipermalukan, ketika itu juga ia akan menuntut
balas atau menungguh kesempatan lain untuk melakukan tindakan balasan.
Dalam konteks ini berarti bahawa nilai-nilai sosbud
Papua membuka peluang untuk pemerintah Jakarta untuk lebih santun dan bijaksana
memanfaatkan para-para adat dalam menyelesaikan masalah Papua secara
menyeluruh.
Mengapa mereka menuntut Dialog Jakarta-Papua ?
Masyarakat Papua mempunyai pandang bahwa mereka masyarakat pribumi tidak sama
sekali merasakan efek otonomi khusus selama ini apalagi mau diganti baju
menjadi otonomi khusus plus.
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)
No comments:
Post a Comment