[J.R.MANSOBEN 1995]
Penduduk daerah interlakustrin di pusat
Kepala Burung (lihat Peta III.2) yang dinamakan orang Meybrat, hidup sebagai
petani ladang berpindah-pindah. Pada tahun 1956 diperkirakan orang Meybrat
berjumlah sekitar 16.000 orang (Galis 1956a), dan Schoorl mencatat pada tahun
1979 jumlah sebesar 13.428 jiwa (Schoorl 1979:16). Menurut Sensus Penduduk
tahun 1980, penduduk Meybrat yang berdiam di daerah Meybrat pada waktu sensus
diadakan berjumlah 17.283 jiwa (Sensus Penduduk Irian Jaya 1980).
Orang Meybrat mendiami empat wilayah administrative
pemerintahan tingkat distrik pada waktu pemerintah Belanda, yaitu distrik Mara,
distrik Ayfat, distrik Ayamaru dan distrik Aytinyo di bawah wilayah Keresidenan
Manokwari. Pada masakini orang Meybrat mendiami tiga wilayah pemerintahan
tingkat kecamatan, ialah Kecamatan Ayfat, Kecamatan Ayamaru dan Kecamatan
Aytinyo di dalam Daerah Pemerintahan Tingkat II, Kabupaten Sorong. Ketiga Kecamatan
tersebut terletak di sekitar Danau-danau Ayamaru, yang terdiri dari Maru Yate,
Danau Semetu, Maru Yau dan Danau Aytinyo. Kecuali Danau Aitinyo yang letaknya
terpisah sendiri, sedangkan tiga danau yang lain saling bersambung satu sama
lain dan panjang seluruhnya kurang lebih 15 km. Danau-danau tersebut terletak
pada ketinggian kurang lebih 200 m di atas permukaan laut (Miedema 1986:2-3).
Curah hujan rata-rata tiap tahun di
daerah interlakustrin ini adalah 5.591 mm. Curah hujan paling banyak terjadi
pada bulan-bulan Juni sampai Agustus, sedangkan curah hujan paling sedikit
terjadi pada bulan Oktober sampai bulan Desember (Elmberg 1968:16).
Orang Meybrat hidup terutama sebagai
petani ladang berpindah pindah dengan menggunakan teknik slash and burn
cultivation, ialah semak dan pohon-pohon di suatu lahan tertentu ditebas dan
dibiarkan kering kemudian dibakar lalu ditanami.
Aktivitas perladangan dilakukan
terutama pada lahan-lahan yang terdapat di lembah-lembah dan tempat-tempat yang
relatif datar dan subur, tetapi juga pada lereng-lereng bukit dan gunung di
daerah pusat Kepala Burung yang sebagian besar terbentuk dari formasi batu
karang (Pouwer 1957:295).
Jenis-jenis tanaman yang ditanami
adalah berbagai jenis umbi-umbian, antara lain ubi (Discorea alata), keladi (Colacasia
esculenta) dan ubi manis (Ipomoea batatas).
Di samping jenis umbi-umbian yang
diusahakan secara intensif seperti tersebut di atas, orang Meybrat hidup juga
dari meramu berbagai jenis-jenis buah-buahan dan sayur-sayur hutan yang dapat
dimakan. Perburuan dilakukan juga, tetapi bukan sebagai mata pencaharian hidup
pokok. Penangkapan ikan di danau-danau dilakukan juga. Elmberg menyatakan pada
tahun 1955, bahwa penangkapan ikan merupakan mata pencaharian baru yang lambat
laun menjadi penting di antara orang Meybrat (1955:59) dan Pouwer melaporkan
bahwa ada sejumlah kecil orang yang tidak melakukan pekerjaan lain selain
menangkap ikan saja dan membuat keuntungan yang baik dari jenis matapencaharian
ini (Pouwer 1957:300). Miedema mencatat bahwa di Danau-danau Ayamaru terdapat
kurang lebih 11 jenis ikan asli dan tujuh jenis ikan impor (Miedema 1986:4).
Jenis-jenis ikan impor itu adalah ikan
mas (Cyprinus carpio), ikan sepat (Anabantidae), sepat Siam (Trigogaster pectoralis),
ikan ted (Helostoma temmincki), ikan mujair (Tilapia mossambica) dan ikan
gurami (Osphronemus goramy).
Menurut Reeskamp (1959) dan Boeseman
(1959), jenis-jenis ikan impor ini didatangkan pada pertengahan tahun 1930-an
dari Ambon oleh para serdadu Belanda yang bertugas di daerah Ayamaru. Juga pada
tahun 1959 pemerintah Belanda mendatangkan ikan mas (Cyprinus carpio) dari
Hollandia (Jayapura).
Bentuk mata pencaharian lain yang
sangat penting dalam kehidupan orang Meybrat adalah sistem tukar-menukar. Benda
yang memainkan peranan penting di dalam sistem tukar-menukar ialah kain timur,
sejenis kain ikat (ikat-cloth) yang berasal dari Kepulauan Nusa Tenggara dan
Kepulauan Maluku. Mereka yang hidup dari sistem tukar menukar adalah
orang-orang yang disebut bobot, atau yang oleh Elmberg (1955) dan Pouwer (1957)
disebut sebagai bankir dan anak-anak buah mereka. Peranan bobot di dalam
masyarakat orang Meybrat sebagai bankir atau pengusaha dan pemimpin politik
serta kadang-kadang sebagai pemimpin upacara upacara keagamaan dibahas secara lebih
luas pada sub-bab di bawah yang berjudul Sistem Kepemimpinan Bobot.
Orang-orang Eropa pertama yang
mengunjungi daerah Meybrat terdiri dari suatu tim ekspedisi pemetaan Belanda
pada tahun 1908. Walaupun sudah ada kontak pada waktu itu, namun pemerintah
Belanda baru melaksanakan pemerintahan administratifnya atas daerah itu pada
tahun 1924. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1934, terbentuklah
kampung-kampung pertama yang secara permanen didiami oleh orang Meybrat atas
usaha pemerintah Belanda. Sebelumnya itu orang Meybrat hidup secara terpencar
dalam kelompok-kelompok kekerabatan kecil dan sering berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lainnya mengikuti pola perladangan mereka yang
berpindah-pindah.
Pada tahun 1935 dibuka pusat pemerintahan
Belanda yang pertama di Aytinyo dan di sekitar pusat pemerintahan tersebut
dibentuk beberapa kampung. Pembentukkan kampung-kampung di sekitar danau-danau
lain baru terjadi pada tahun 1950, dan tiga tahun kemudian (1953)
kampung-kampung terbesar di antara kampung-kampung yang telah dibentuk itu
mendapat guru dan sekolah.
Kegiatan pekabaran agama nasrani juga
dilakukan di daerah ini bersamaan waktu dengan kegiatan pasifikasi yang dilakukan
oleh pihak pemerintah. Pendeta pertama yang ditempatkan oleh Utrechtsche
Zendingsvereniging (uzv) di Inanwatan pada tahun 1924 untuk melakukan pekabaran
injil di daerah Inanwatan dan daerah Ayamaru yang letaknya di bagian pedalaman
Kepala Burung adalah pendeta Wetstein. Kegiatan pendeta Wetstein itu kemudian
dilanjutkan oleh pendeta Kieft dan pendeta Slump. Oleh karena kesulitan dana,
maka sesudah Perang Dunia II (1945), kegiatan Zending UZV di daerah Ayamaru
diserahkan kepada Gereja Baptis. Pendeta pertama Gereja Baptis yang bekerja di
daerah Ayamaru adalah pendeta Marcus. Pada waktu pergantian badan pekabaran
injil dari UZV kepada Gereja Baptis, orang Meybrat di daerah Ayamaru yang telah
menjadi anggota gereja berjumlah 6.000 orang (Kamma 1953:112; Mamoribo
1965:21). Pada waktu sekarang semua orang Meybrat memeluk agama Kristen.
Pembentukkan kampung-kampung yang
dilengkapi dengan guru dan sekolah pada masa awal pasifikasi menimbulkan
beberapa kesulitan baik bagi pihak pemerintah Belanda sendiri maupun bagi orang
Meybrat. Bagi orang Meybrat letak kampong yang jauh dari lahan kebun dan daerah
perburuan menyebabkan terganggunya ritme aktivitas kehidupan yang menjadi
kebiasaannya pada periode awal hidup menetap di kampung-kampung yang diatur
oleh pemerintah Belanda. Banyak penduduk kampung yang belum biasa dengan ritme
kehidupan baru terpaksa kembali tinggal di ladang-ladangnya dan hanya pada hari
minggu saja mereka berada di kampung untuk mengikuti upacara kebaktian di
gereja. Akibat pola kehidupan mondar-mandir antara ladang dan kampung dengan frekwensi
enam hari di ladang dan satu hari di kampung dalam seminggu menyebabkan banyak
keluhan pada para guru yang selalu menghadapi kelas-kelas kosong pada hari-hari
sekolah, sebab murid-murid terboyong ke tempat tinggal orang tuanya di ladang.
Pada waktu pemerintah Belanda secara
intensif melaksanakan pemerintahannya di daerah Meybrat, telah diangkat
wakil-wakil pemerintah yang terdiri dari orang-orang Meybrat sendiri untuk tiap
kampung, mereka itu disebut kepala kampung. Para kepala kampung itu menerima
dari pemerintah atribut-atribut berupa topi dan baju dinas.
Tugas utama seorang kepala kampung
ialah sebagai wakil pemerintah yang berkedudukan di kampung untuk meneruskan
perintah-perintah dari pusat kepada rakyat dan menjaga ketertiban sosial di
dalam masyarakat. Untuk tugas tersebut pemerintah mengangkat orang-orang yang
relatif menguasai bahasa Melayu sehingga dapat berperan sebagai perantara bagi
orang kampung dengan pemerintah.
Di dalam struktur pemerintahan kampung,
seorang kepala kampung dibantu oleh seorang pembantu. Para pembantu itu disebut
dengan bermacam-macam gelar seperti raja, mayor, orang kaya atau kapiten.
Gelar-gelar tersebut dipinjam dari penduduk daerah pantai Kepala Burung yang
sudah lama menggunakannya.
Elmberg (1968) dan Kamma (1970)
mengkonstatir bahwa pemimpin tradisional orang Meybrat yang sebenarnya adalah
para dukun dan tokoh-tokoh tua atau senior dalam klen. Bentuk kepemimpinan yang
bersifat religius dan primus inter pares Ini kemudian diambil alih oleh suatu
kelompok yang disebut
bobot.
Menurut Kamma, kelompok pemimpin
politik yang disebut Bobot itu muncul kurang lebih 450 tahun yang lalu (Kamma
1970:135). Oleh karena kehadiran institusi bobot sudah berlangsung beberapa
abad lamanya di antara orang Meybrat dan merupakan bentuk kepemimpinan politik
terakhir yang dikenal sebelum masuknya sistem politik modern (lewat pemerintah
Belanda) di daerah tersebut, maka bentuk inilah yang saya anggap paling penting
untuk dibahas dalam kajian ini.
Kesatuan-kesatuan sosial orang Meybrat
yang terpenting adalah klen, cabang klen dan sistem tukar-menukar. Pengertian
klen di sini adalah suatu kesatuan sosial yang menggunakan nama yang sama dan
menurut keyakinannya bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang sama serta
seringkali mempunyai keyakinan terhadap rohroh yang sama dari orang-orang yang
telah meninggal dunia (Elmberg 1955:27). Tiap klen menganggap binatang-binatang
tertentu keramat sehingga pantang dimakan.
Juga biasanya mereka mengasosiasikan
pohon atau hutan tertentu dengan klennya.
Sebagai contoh, klen Wafom dari Kampung
Kutyuwer beranggapan bahwa mereka berasal dari pohon pandanus (Elmberg
1955:99). Sesungguhnya orang Meybrat tidak mengenal nama klen untuk menyebut
kesatuan sosialnya. Nama yang dipakai untuk menyebut kesatuan sosial adalah
nama tempat tinggal kesatuan sosial tertentu. Buktinya ialah apabila seseorang
pindah dan menetap di tempat lain maka secara otomatis ia menggunakan nama
tempat baru sebagai nama klennya dan bukan nama tempat lama dari mana ia
berasal (Elmberg 1955:27).
Keturunan orang Meybrat ditrasir
menurut garis keturunan ayah atau patrilineal. Walaupun demikian peranan
kerabat pihak ibu, terutama saudara-saudara laki-laki ibu terhadap keponakannya
sangat kuat. Seringkali diharapkan agar anak kawin dengan seorang gadis dari
klen ibunya. Juga ikatan ekonomi dengan pihak ibu sangat kuat.
Selain kesatuan sosial yang didasarkan
atas klen dan/atau teritorial terdapat juga kesatuan sosial lain yang
didasarkan pada sistem pertukaran orang Meybrat. Sistem pertukaran yang paling
penting dalam pembentukkan kesatuan sosial yang lebih luas daripada sistem
ekonomi yang bersifat self-support yang terbatas hanya pada kesatuan sosial
berbentuk keluarga batih saja adalah sistem tukar-menukar kain timur yang berupacara,
sering disingkat menjadi kompleks kain timur.
Sepanjang pengetahuan para ahli tentang
orang Meybrat, tidak ada istilah local yang khusus untuk kain timur. Orang
Meybrat hanya mengenal istilah bo yang berarti benda atau barang untuk menyebut
kain timur (Elmberg 1955:32). Sungguhpun tidak dikenal istilah khusus, namun
orang Meybrat dapat mengembangkan suatu system pengklasifikasian yang sangat
luas terhadap jenis-jenis kain timur. Kamma melaporkan bahwa orang Meybrat
mengklasifikasikan jenis-jenis kain timur ke dalam 12 klas dan 550 sub-klas,
masing-masing dengan nama dan artinya sendiri (Kamma 1970:137)
Menurut Elmberg, pada waktu lampau kain
timur atau Bo berperan sebagai alat bayar atau tukar, jadi mempunyai fungsi
uang. Bagi orang Meybrat sendiri, di samping fungsi sebagai uang, kain timur
mengandung kekuatan sakti. Kekuatan sakti itu dapat berpindah ke dalam diri
pemilik, juga ke dalam diri semua kerabat, ternak dan ladang-ladang pemilik
(Elmberg 1955:32). Dengan perkataan lain kekuatan sakti kain timur dapat
mendatangkan kesehatan dan kesejahteraan sosial bagi pemiliknya.
Itulah sebabnya kain timur menduduki
tempat yang paling penting dalam kehidupan dan kebudayaan orang Meybrat. Sifat
arti penting dan saktinya kain timur dalam kebudayaan orang Meybrat terlihat
pada bermacam-macam mite yang menceriterakan tentang asal usulnya.
Ada mite dari klen tertentu, misalnya,
yang menceriterakan bahwa kain timur diberikan oleh tagu, yaitu mahluk halus
atau roh yang mendiami tempat-tempat tertentu, kepada nenek moyang pada waktu
lampau. Mite pada klen yang lain lagi menceriterakan bahwa kain timur dibawa
oleh burung taun-taun (hornbill) yang merupakan penjelmaan dari nenek moyang
klen (Elmberg 1955:32,40). Di samping itu adapula mite yang menceriterakan
bahwa kain timur berasal dari dalam tanah, dipancing dari sungai atau ditemukan
dalam batang kayu (Kamma 1970:137).
Bo yang dikenal sebelum masuknya kain
ikat yang disebut kain timur ke dalam kebudayaan orang Meybrat dibuat dari
kulit pohon genemon (gnemon tree).
Juga dari jenis bahan yang sama dibuat
kantong, noken, yang berfungsi sebagai tempat menyimpan barang dan juga sebagai
tempat untuk mengangkut barang. Dari batang pohon genemon dibuat bermacam-macam
alat berburu. Daun muda dan buah pohon genemon dapat dimakan. Kecuali itu orang
Meybrat percaya bahwa pohon genemon merupakan rumah tempat tinggal roh-roh
orang yang telah meninggal dunia. Itulah sebabnya rumah upacara pesta tukar
menukar kain timur selalu dibangun di pinggir sebuah pohon genemon sebab ada
hubungannya dengan aktivitas kompleks kain timur (Elmberg 1968:10)
Bo yang dibuat dari kulit kayu genemon
itu dianggap suci dan oleh karena itu mempunyai peranan sebagai 'pemimpin bagi
manusia dalam siklus hidupnya, mulai dari lahir sampai mati' (Elmberg
1968:182). Peranan penting bo yang dibuat dari kulit kayu genemon itu diambil
alih oleh kain ikat yang disebut kain timur, suatu produk yang berasal dari
luar. Hal itu disebabkan oleh ukurannya yang lebih besar dan daya tahannya yang
lebih lama (Kamma 1970).
Pendapat lain tentang pentingnya kain
timur dalam kebudayaan orang Meybrat pada khususnya dan penduduk pedalaman
Kepala Burung pada umumnya, berasal dari Miedema (1986). Menurut Miedema kompleks
kain timur berkaitan sangat erat dengan sistem perkawinan antara
golongan-golongan tribal penduduk pedalaman Kepala Burung. Sebelum masa
pasifikasi, sistem perkawinan antara penduduk yang terbentuk dalam
kelompok-kelompok kekerabatan kecil dan terbatas diatur secara ketat melalui
prinsip pertukaran saudara perempuan: seorang laki-laki yang tidak mempunyai
saudara perempuan tidak dapat kawin (Ayamaru/Meybrat: Galis 1956:26; Elmberg
1968:84; Kamma 1970:135; Kebar: Miedema 1984:139-140).
Meskipun demikian kadang-kadang babi
dan budak juga diterima sebagai pengganti seseorang saudara perempuan yang
kawin di tempat lain (Kamma 1970:136), di daerah Kebar hal ini dapat terjadi
tetapi merupakan pengecualian (Miedema 1986:29).
Melalui perkawinan (tukar-menukar
saudara perempuan atau mengganti perempuan dengan babi, tetapi bukan melalui
perkawinan dengan seorang budak wanita sebab budak dianggap tidak mempunyai
kerabat) dapat dikembangkan hubungan-hubungan pertukaran baru antar kelompok kelompok
kekerabatan yang terlibat (Miedema 1986:29).
Pada masa sering terjadi peperangan
antar kelompok atau antar tribal, babi yang mempunyai nilai penting dalam
sistem perkawinan sulit untuk dibawa melalui jarak-jarak yang jauh. Hal ini
berbeda dengan alat-alat penukar yang berasal dari daerah pantai seperti gelang
kulit kerang atau gelang perak, manik-manik, kampak, piring batu, kain tenun
dan lain-lain. Mungkin sekali bahwa pada mulanya kain timur merupakan benda
langka di antara benda-benda yang berasal dari pantai ini karena hanya berasal
dari bagian pantai selatan tempat raja-raja Onin, Kokas dan Arguni berkuasa.
Oleh karena kelangkaannya itulah yang menyebabkan kain timur dinilai sangat
tinggi di pedalaman Kepala Burung dan mempunyai arti penting dalam peningkatan
status sosial.
Melalui impor yang terus menerus
berabad-abad lamanya hingga Perang Dunia II menyebabkan jumlahnya meningkat dan
melalui pemakaiannya yang lama bersama-sama dengan benda-benda pantai lain
menyebabkan sistem harta maskawin melembaga dalam sistem perkawinan di antara
penduduk pedalaman Kepala Burung sebagai pengganti sistem perkawinan
tukar-menukar saudara perempuan. Dalam kenyataan kain timur menjadi benda harta
maskawin yang lebih penting di ahtara benda-benda lainnya. Hal ini dapat
dilukiskan oleh pernyataan yang dibuat salah seorang informan Miedema di Kebar
sebagai berikut: 'Pada masa lalu seorang laki-laki yang tidak mempunyai saudara
perempuan tidak dapat kawin, pada waktu sekarang seorang laki-laki yang tidak
mempunyai kain timur tidak dapat kawin' (Miedema 1986:29).
Pada mulanya kain timur hanya dipakai
sebagai alat pembayar maskawin, tetapi kemudian diterima juga sebagai alat
pembayar pada umumnya seperti misalnya digunakan untuk membeli obat suanggi,
dipakai untuk mengongkosi pelaksanaan upacara inisiasi, untuk menyewa seseorang
guna membunuh atau menculik orang lain.
Dengan perkataan lain kain timur
memperoleh suatu nilai ekonomi dan melalui nilai khusus ini bersama-sama dengan
meningkatnya pengawasan para bobot terhadap kain timur inilah yang menyebabkan
kedudukan kain timur menjadi sangat penting dalam kebudayaan orang Meybrat
(Miedema 1986:30).
Orang Meybrat menggunakan beberapa cara
untuk mengkategorisasikan kain timur. Cara pertama adalah menggolongkan menurut
penggunaannya dalam transaksi. Dalam hal ini terdapat dua macam kain timur,
ialah kain timur yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak yang lain tanpa
mengharapkan menerima kembali kain timur dari pihak penerima. Kategori kain
timur ini biasanya dinamakan 'kasih mati', artinya hilang dari pihak pemilik
sejak digunakan sebagai alat tukar atau alat bayar.
Ke dalam kategori ini termasuk jenis kain
timur yang digunakan untuk membayar maskawin, untuk menukar hasil-hasil kebun,
untuk menukar ikan, untuk membayar tanah dan untuk membayar dukun.
Jenis kain timur lain menurut kategori
transaksi adalah kain timur yang digunakan untuk ditukarkan dengan kain timur
lain. Kategori ini berkaitan sangat erat dengan ekonomi prestise. Tujuannya
ialah bukan untuk kesejahteraan sosial melainkan untuk peningkatan prestise
pribadi (Pouwer 1957:304).
Cara kedua menggolongkan kain timur
adalah membedakannya menurut kategori profan dan sakral. Kain timur yang digolongkan
ke dalam kategori sakral disebut wan atau kain pusaka.
Wan hanya dipakai sebagai alat pembayar
tengkorak seorang kerabat yang telah meninggal dunia. Biasanya tiap wan mempunyai
ceritera tentang asal usulnya.
Tentang pembedaan antara sakral dan
profan itu ada beberapa pendapat. Pendapat pertama berasal dari Pouwer (1957).
Jenis kain timur yang sakral ini, menurut keterangan seorang informan kepada
Pouwer, berasal dari daerah timur Kepala Burung, yaitu dari hulu Sungai
Kamundan. Penduduk Sungai Kamundan mendapat kain timur dari pedagang asal Seram
yang melakukan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan Patipi dan Rumbati dari
Semenanjung Onin yang berkuasa di daerah pantai barat Teluk Berau (MacCluer
Gulf). Penduduk Sungai Kamundan itu kemudian membawa kain timur ke daerah
Meybrat untuk ditukarkan dengan makanan (Pouwer 1957:304). Jenis-jenis kain
timur yang masuk ke daerah Meybrat melalui arah Sungai Kamundan inilah yang
dianggap sacral.
Pendapat kedua berasal dari Elmberg
yang berpendapat bahwa sifat sakral yang diberikan kepada jenis-jenis kain
timur tertentu itu ada kaitannya dengan system pemujaan roh nenek moyang yang
diperkenalkan oleh para bobot imigran yang berasal dari pantai selatan.
Pendapat Elmberg yang lain lagi adalah bahwa melalui proses sirkulasi yang lama
jenis kain timur tertentu dapat berubah sifat dari sifat profane menjadi sifat
sakral (Miedema 1986:28).
Pendapat lain yang berbeda dengan
pendapat-pendapat Pouwer dan Elmberg di atas berasal dari Miedema (1986).
Menurut Miedema, persoalan mendasar tentang sifat sakral dari kain timur bukan
terletak pada masalah tempat asal usulnya atau riwayat hidupnya, melainkan
terletak pada setting atau keadaan di mana kain timur mengakhiri fungsinya:
sistem pemujaan roh nenek moyang pada orang Meybrat (Miedema 1986:30). Atas
dasar pemikiran tersebut, Miedema (1986:30) berpendapat bahwa menurut tradisi
dalam sistem pemujaan roh nenek moyang pada orang Meybrat hubungan antara orang
hidup dengan dunia roh nenek moyang dinyatakan hanya melalui hal-hal yang
ditinggalkan oleh para moyang dan yang tidak pernah hilang ialah tanah (tempat
tinggal, berburu dan berkebun) dan air (perairan danau, tempat menangkap ikan).
Dengan demikian penting untuk ditegaskan di sini bahwa tanah dan air diwariskan
bagi keturunan penduduk pertama yang mendiami tempat tertentu. Jadi tanah dan
air merupakan pusaka. Atau dengan perkataan lain ide atau gagasan pusaka sudah
memainkan peranan penting dalam sistem pemujaan roh nenek moyang pada orang
Meybrat sebelum masuknya kain timur. Itulah sebabnya, menurut Miedema, kain
timur yang dibedakan dalam kategori sakral atau pusaka dapat dilihat sebagai
varian baru dari sistem yang sudah ada. Melalui kain pusaka inilah para nenek
moyang tetap mewujudkan kuasa dan kehendaknya atas orang yang masih hidup, dan
oleh karena itulah kain pusaka dianggap keramat (Miedema 1986:30-31).
enis kain timur yang lain adalah kain
timur yang digolongkan ke dalam kategori profan disebut bo. Menurut penduduk
Meybrat, jenis ini berasal dari daerah asing yang tidak dikenal. Jenis kain
timur profan digunakan terutama untuk membayar maskawin dan sebagai alat tukar
atau alat bayar pada umumnya (Pouwer '57:305).
Selanjutnya Elmberg mengatakan bahwa
jenis kain timur yang profan disebut oleh orang Meybrat dengan nama ru-ra, yang
berarti burung manusia, sebab harus terbang dan membuat keuntungan;
kadang-kadang disebut juga sebagai kain berjalan
(Elmberg
1968; Schoorl 1979:178; Miedema 1986:28).
Cara lain lagi yang digunakan oleh
orang Meybrat untuk menggolongkan kain timur adalah menurut ukuran besar kecil.
Ada tiga jenis kain timur berdasarkan kategori ini. Pertama adalah apa yang
mereka namakan oan, ialah kain timur yang beru- kuran 2 x 2 m. Menurut orang
Meybrat jenis inilah yang merupakan kepala kunci atau yang paling berharga dari
jenis lainnya. Dua jenis lain adalah jenis yang berukuran lebih kecil,
masing-masing berukuran 1 x 1 m dan 60 x 40 cm (Elmberg 1955:32, 33).
Para ahli antropologi tentang orang
Meybrat menyatakan bahwa kain timur merupakan fokus kebudayaan orang Meybrat
(Elmberg 1955,1968; Pouwer 1957; Kamma 1970).
Pernyataan demikian adalah benar sebab
kompleks kain timur memainkan peranan penting di dalam berbagai aspek kebudayaan
orang Meybrat, misalnya dalam aktivitas perekonomian, di dalam institusi
perkawinan, di dalam upacara-upacara religius dan di dalam kehidupan politik.
Oleh karena pentingnya kompleks kain timur maka sebaiknya secara singkat
diuraikan sebagai penutup sub-bab ini sejarah asal usulnya. Setelah itu
diuraikan secara panjang lebar pada sub-bab berikut peranan kain timur dalam
hubungannya dengan munculnya suatu kaum elite baru di dalam system politik
serta kaitannya dengan aspek-aspek lain dalam kebudayaan orang Meybrat.
Pada mulanya orang Meybrat hanya
mengenal bo (barang atau benda) yang berbentuk kain terbuat dari kulit kayu
genemon (gnemon tree).
Kedudukan bo yang dibuat dari kulit
kayu itu kemudian diambil alih oleh jenis bo lain yang merupakan kain ikat dan
yang berasal dari luar Kepala Burung. Jenis bo yang baru itu disebut kain timur.
Tidak diketahui dengan pasti kapan kain timur masuk ke daerah Meybrat di Kepala
Burung. Daud Solosa, salah seorang informan dari Kamma, menjelaskan bahwa
penggunaan kain timur di daerah Meybrat dapat ditrasir kembali sejauh delapan
generasi, jadi, menurut Kamma, kurang lebih 450 tahun yang lalu. Dengan demikian
penggunaan kain timur di Kepala Burung pada umumnya dan di daerah Meybrat pada
khususnya diperkirakan mulai terjadi sekitar tahun 1520 AD (Kamma 1970:135,136).
Masuknya kain timur ke daerah Kepala
Burung dan pantai barat Irian Jaya dapat kita telusuri lewat catatan-catatan
sejarah dari Pires dan Haga seperti berikut: 'Pada awal abad ke-16 Pati Cucuf
(Pati Usuf), Raja Grisee (Gersik) di pantai utara Pulau Jawa, melakukan
perdagangan dengan Kepulauan Maluku dan Banda dengan menggunakan kapal-kapalnya
sendiri. Rute perjalanan kapal-kapal Pati Usuf ke Kepulauan Maluku dan Banda
itu melewati Pulau-pulau Bali, Lombok, Sumba dan Bima. Dari pulau-pulau ini
para pedagang Gersik membeli kain-kain yang berkualitet kurang baik - bila
dibandingkan dengan kain patola yang berasal dari Guyarat, India, yang
diperdagangkan di Jawa untuk kemudian dijual di Banda dan kadang-kadang di
Kepulauan Kei, Aru dan Seram' (Pires 1944,1:206,216; Schrieke 1925:114).
Selanjutnya Banda memperdagangkan kain
yang berkwalitet kurang baik itu untuk memperoleh budak, sagu dan kulit massoi
dari Ambon, Ternate, Kei, Aru dan Seram. Dari Seram kain-kain tersebut dijual
kepada penduduk pantai Kepala Burung, Irian Jaya (Haga 1884,1:19). Melalui
penduduk pantai inilah kain tersebut masuk ke daerah pedalaman Kepala Burung.
Menurut Elmberg penduduk pantai membawa kain ke daerah Meybrat untuk
menukarkannya dengan budak. Di samping itu kain yang berasal dari luar itu di
bawa ke daerah Meybrat oleh para pemburu burang cenderawasih (Elmberg
1955:32,33). Kain yang berasal dari luar inilah yang kemudian terkenal di
daerah Meybrat dengan nama kain timur.
No comments:
Post a Comment