POTRET PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS BIDANG
PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DI KABUPATEN MERAUKE
PENGANTAR
Di
“ Bumi HA ANIM” . sisi paling selatan Provinsi Papua tengah berbenah.
Lamah tertinggal dari kabupaten-kabupaten di sisi lain Merauke perlahan-lahan
membangun diri. Kabupaten ini mendapat karunia luar biasa dalam sumber daya
alam, hutan dan perikanan, pertanian, peternakan yang telah mengerakan ekonomi
masyarakat, hal ini dibuktikan dengan catatan BPS yang menjelaskan Merauke merupakan kabupaten terluas di Provinsi Papua yang memiliki potensi
wilayah sangat strategis untuk pengembangan komoditi pangan dan ternak. Dengan luas sekitar 46.790,63 Km2
atau 14,98% dari total luas wilayah Provinsi Papua. agroekosistem yang
cenderung beriklim basah, serta topografi dengan ketinggian hanya 10 mdpl dan
kemiringan rata-rata 3-8% menjadikan wilayah Merauke mempunyai hamparan lahan
dan savana terluas di Papua yang potensial untuk pengembangan tanaman pangan
dan peternakan. Selama ini Merauke dikenal lumbung padi terbesar di Papua.
Misalkan pada tahun 2003-2011 tercatat produksi padi di Merauke rata-rata
84.098 ton per tahun atau kurang lebih 70% per tahun dari total produksi padi
di Provinsi Papua (BPS Papua, 2011). Dengan rata-rata pertumbuhan luas panen
14,83% per tahun dan produksinya sebesar 13,86% per tahun, pemerintah daerah
bertekad untuk menjadikan Merauke sebagai lumbung padi nasional di masa
mendatang. Adapun daerah yang menjadi kawasan sentra produksi padi di Merauke
selama ini adalah Distrik Kurik, Malind, Semangga dan Tanah Miring.

Berdasarkan komposisi
dana otonomi khusus dalam kurun waktu 2008 sampai 2012 dijelaskan bahwa alokasi
pendidikan untuk bidang pendidikan dasar (DIKDAS) lebih besar alokasinya
dibandingkan dengan alokasi untuk bidang pendidikan menengah (DIKMEN).
Sementara itu disampaikan juga bahwa di tahun 2010 sampai 2012 alokasi dana
otonomi khusus sektor pendidikan tidak hanya fokus pada DIKDAS dan DIKMEN, melainkan sudah mencakup pendidikan dasar,
menengah, ats dan tinggi yang menyatu dalam satu bidang yang disebut bidang
pedidikan. Alokasi anggaran untuk bidang pendidikan terus mengalami
peningkatan, misal tahun 2011 sebesar 30 persen dari total alokasi dana otonomi
khusus Merauke.
Alokasi
dana otsus sektor kesehatan, untuk bidang kesehatan persentasenya senantiasa
lebih besar dari pada rumah sakit. Untuk bidang kesehatan, dalam dua tahun
terakhir alokasinya menurun. Walaupun, secara keseluruhan jumlah dana otsus di
kabupaten merauke mengalami peningkatan. Artinya, ada perubahan komposisi untuk
bidang kesehatan di tahun 2011 dan 2012. Alokasi untuk rumah sakit, jumlahnya
tetap dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2012 yakni sebesar 3 milyar, namun
prosentasenya meningkat dari 26,6 persen di tahun 2009 menjadi 37,5 persen di
tahun 2012. Hal ini desebabkan karena jumlah alokasi dana otsus Merauke terus
bertambah.
Anggaran
otsus sektor kesehatan, mencapai 20 persen di
tahun 2009 dan 21 persen di tahun 2010. Namun dalam dua tahun terakhir persentasenya
menurun menjadi 14 persen di tahun 2011 dan 13 persen di tahun 2012. Artinya,
anggaran sektor kesehatan makin kecil walapun jumlah dana otsus kabupaten
merauke terus meningkat.
Potret pengelolaan keuangan publik yang bersumber
dari dana otonomi khusus selama 2002 sampai 2012 atau selama dua belas tahun
secara umum melalui informasi-informasi kajian ilmiah menggunakan model PFM (Public Finance Management) dengan indikator
perencanaan, pengelolaan kas, pengadaan, serta
akuntansi dan pelaporan di sebutkan pengelolaan keuangan publik di Merauke
secara umum sudah dilaksanakan dengan baik, hal ini didasari nilai skor secara
keseluruhan indikator sebesar 52 persen dengan skor yang paling tinggi adalah
perencanaan, pengelolaan kas, pengadaan, serta akuntansi dan pelaporan. (Pusat
KEUDA Uncen, 2014).
POTRET PENDIDIKAN
Pendidikan
sebagai salah satu aspek penting dalam pembangunan, pendidikan di
Kabupaten Merauke membutuhkan perhatian
yang lebih. Di tahun 2012 ini
ada sebanyak 60 Taman Kanak-kanak
(TK), 205 Sekolah Dasar (SD), 59 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan 20 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA) serta 13 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Merauke. Sehingga
secara keseluruhan ada sebanyak 327 fasilitas pendidikan di Kabupaten Merauke. Di tahun 2012 jumlah perguruan
tinggi di Kabupaten Merauke ada sebanyak 9 perguruan tinggi yang terdiri dari 8
universitas swasta dan 1 universitas negeri. Jumlah mahasiswa di tahun 2012
mengalami penurunan dimana ada sebanyak
5.405 mahasiswa yang terdiri dari
2.916 laki-laki dan 2.489 perempuan.

Daya
Serap Sekolah Cenderung Rendah. Sepanjang tahun 2007-2011, APS untuk umur 7-12
tahun sebesar 94,46 per tahun. Sedangkan pada umur 13-15 tahun sebesar 90,40
per tahun. Dan untuk umur 16-18 rata-rata 63,86 per tahun. Terlihat bahwa
semakin tinggi kelompok umur pendidikan semakin rendah APS. Hal ini
mengindikasikan bahwa penduduk yang berusia sekolah di Kabupaten Merauke
memiliki kesempatan yang rendah untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang
lebih tinggi.
Penduduk
usia sekolah lebih banyak terlihat pada jenjang pendidikan SD, akan tetapi
dengan kecenderungan yang menurun. Kondisi ini dapat diamati dari perkembangan APK SD yang
menurun dari tahun 2007 sebesar 115,86 menjadi 97,15 di tahun 2011, yang
mengindikasikan hanya sebagian dari anak usia SD (7-12 tahun) yang sedang
bersekolah pada jenjang pendidikan SD tersebut. Fenomena yang sama juga
terlihat pada APK pendidikan SMP dan SMA yang cenderung menurun.
Akses masyarakat terhadap fasilitas pendidikan
selama ini dapat dikatakan tidak merata. Indikatornya terlihat pada perkembangan rasio APM (Angka Partisipasi Murni) untuk
semua jenjang pendidikan yang masih di bawah angka 100. Untuk APM SD misalnya,
selama tahun 2007-2011 rata-rata sebesar 94,75 per tahun, kemudian SMP sebesar
60,72 dan SMA sebesar 46.91 per tahun untuk periode yang sama.
Berbicara tentang pendidikan,
masih menjadi masalah besar dan diibaratkan sebagai bencana. “Karena banyak
sekolah, terutama di kampung-kampung lokal, kegiatan belajar mengajar tak jalan
sama sekali, hal ini dikarenakan adanya
program kompetensi yang merupakan aturan dari tingkat pusat, hampir semua guru
berbondong-bondong meninggalkan tempat tugas untuk melanjutkan kuliah di kota
(Tabloid Jubi, 2014,”
POTRET KESEHATAN
Kita tidak bisa pungkiri bahwa
standar pelayanan kesehatan di Papua lebih rendah bila dibandingkan dengan
wilayah lain di Indonesia, hal ini tercermin dengan masih tingginya angka
kematian bayi (56 per 1000 KLH). Kematian Balita kurang lebih mencapai 64,21
per 1000 KLH, angka kematian Ibu Karena Melahirkan 396 Per 100.000 Kelahiran,
angka kematian Bayi dan Balita mencerminkan bahwa lingkungan dan Perilaku
kita masih buruk, sedangkan Kematian Ibu
karena Melahirkan mencerminkan Tingkat pelayanan kesehatan. Kondisi kesehatan
masyarakat diperburuk lagi dengan adanya disparitas yang masih cukup lebar
antar wilayah, tingkat sosial, ekonomi, budaya
dan gender. Selain itu masalah
kesehatan masyarakat berkaitan dengan berbagai penyakit infeksi akibat
lingkungan fisik dan perilaku yang tidak sehat. Kondisi ini tercermin dengan
tingginya penyakit malaria, Ispa dan Diare. Disamping itu infeksi virus HIV
dari waktu kewaktu justru semakin meningkat. Masyarakat diperhadapkan pula
dengan meningkatnya penyakit-penyakit tidak menular seperti stroke, hypertensi,
diabetes militus, jantung koroner yang
tak lain disebabkan karena gaya hidup yang salah. Kegiatan pembangunan
kesehatan yang dilaksanakan pada dasarnya berupaya untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat di daerah melalui berbagai program dan kegiatan pelayanan
kesehatan yang harus menjangkau masyarakat di 20 distrik setiap saat jika
dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi,
menurunya angka prevalensi gizi buruk dan meningkatnya mutu harapan hidup
masyarakat Merauke. Merauke sehat seharusnya dimulai dari kampung sehingga
tercipta distrik sehat kemudian kabupaten sehat dan akhirnya Papua sehat. Untuk mengetahui status kesehatan masyarakat
dan sejauhmana keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan, maka perlu dilihat
kinerja keluaran sektor kesehatan.
Rasio
dokter dan rasio puskesmas terhadap jumlah penduduk masih belum ideal, akan
tetapi rasio bidan terhadap penduduk sudah sangat ideal. Rata-rata rasio penduduk per dokter mencapai 2.808 (idealnya 2.500
per dokter), untuk puskesmas rasionya sekitar 71.562 penduduk per puskesmas
(idealnya 20.000 per puskesmas), dan rasio bidan mencapai 521 penduduk per
bidan (idealnya 1.000 per bidan). Kekurangan tenaga dokter dan puskesmas
menyebabkan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten selama
ini menjadi tidak merata penyebarannya.
Merauke
berhasil menekan AKI karena kesadaran ibu untuk melahirkan ditolong tenaga
medis selama ini cukup tinggi dan terus meningkat. Setiap tahunnya AKI dapat
diturunkan rata-rata -27,67%, dimana pada tahun 2011 pemerintah kabupaten mampu
menekan AKI hingga menjadi 118 per 100.000 kelahiran. Faktor kesadaran ibu
melahirkan ditolong tenaga kesehatan merupakan salah satu pemicu keberhasilan
pemerintah untuk menekan AKI, dimana 73,87% per tahun dari total ibu yang melahirkan
ditolong oleh tenaga kesehatan.
Persoalan
kesehatan di Merauke ini semakin menancap manakala pemerintah daerah dan para
wakil rakyat di Merauke seakan tidak terkesan dan tidak dengan serius
memikirkan strategi penanganan permasalahan kesehatan di daerah ini. Tengok
saja untuk mempertahankan pencapaian penurunan AkI lima tahun mendatang
membutuhkan strategi yang baik, dimana pemerintah perlu membuat kebijakan
pemberian insentif kesehatan untuk tenaga medis yang harus berjuang keras demi
melayani masyarakat asli Papua khususnya masyarakat Marind yang ada di
kampung-kampung.
SIMPULAN
Kajian
efektivitas pengelolaan dana Otonomi Khusus di Kabupaten Merauke ini dirancang
untuk memberikan gambaran yang lebih fokus pada bidang prioritas dan terkait
langsung dengan upaya peningkatan pendidikan dan kesehatan pada kelompok OAP
harus medapatkan perhatian utama karena kelompok ini diamanatkan Otonomi Khusus
Papua. Namun harus juga diperhatikan bahwa OAP yang diprioritaskan (ditarget)
dalam menerima manfaat adalah masyarakat (suku) asli Marind yang penyebaranya
lebih dominand bertempat tinggal di kampung-kampung di wilayah terpencil susah
akses serta OAP yang berada di daerah mudah akses di pinggiran perkotaan yang
membutuhkan biaya yang besar untuk menjangkau mereka dengan pelayanan
pendidikan dan kesehatan.
Partisipasi
OAP dalam pengelolaan dana otonomi khusus berdasarkan studi menjelaskan masih
sangat terbatas dimulai dari proses perencanan hingga tahapan evaluasi, hal ini
dilihat dari seberapa besar keterlibatan yang diberikan Dinas Pendidikan dan
Kesehatan kepada OAP maupun tenaga kependidikan dan kesehatan belum dilibatkan
secara penuh dalam pengelolaan dana otonomi khusus karena program/kegiatan yang
bersumber dari dana otonomi khusus secara langsung disusun oleh pejabat di
tingkat SKPD yang bersangkutan.

Persepsi
masyarakat umum bukan PNS kurang mengetahui tentang dana otonomi khusus yang
diperuntukan bagi OAP. Hal ini terjadi dikarenakan manajemen sistem perencanaan
lebih mengarah ke topdown.
Pemerintah daerah kurang melibatkan OAP untuk merencanakan apa yang mereka butuhkan, sehingga dana otonomi khusus yang sangat berharga dan menjadi suatu harapan banyak OAP namun dana tersebut
oleh masyarakat dirasakan tidak menyentuh sampai kepada masyarakat pada
tingkatan yang terbawah. Dana Otsus dalam dokumen
penganggaran terkadang tidak masuk ke unit-unit yang memberikan pelayanan yang menyentuh langsung kepada
masyarakat asli Papua.
(Arius Kambu, Ekonomi Uncen)
No comments:
Post a Comment