OTONOMI
KHUSUS PAPUA : EVALUASI DANA PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DI KABUPATEN MERAUKE
PENGANTAR
Otonomi
Khusus Papua yang bergulir pada era reformasi adalah salah satu solusi dalam
mengatasi segelumit permasalahan yang selama itu terjadi di tanah Papua.
Katakan saja, mulai dari masalah status politik Papua yang berujung pada
pelanggaran HAM secara besar-besaran. Masalah kesejahteraan ekonomi,
pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan bahkan tergerusnya nilai-nilai
budaya orang Papua. Kebijakan Otonomi Khusus yang seharusnya
mengobati penyakit pada masyarakat Papua, ternyata dosisnya terlampau rendah,
sehingga implikasinya bukan menyembuhkan penyakit tersebut, justeru menimbulkan
penyakit baru. Karena belum menyentu akar permasalahan yang terjadi di
masyarakat Papua, walaupun ada transfer fiskal dana yang cukup besar.
Konsentrasi
penggunaan dana OTSUS yaitu infrastrutur, ekenomi kerakrakyatan, pendidikan dan
kesehatan. Pendanaan dari empat program besar tersebut diperuntukan kepada
semua masayarakat Papua maupun Non Papua, sehingga tidak ada skala prioritas
tentang dana tersebut diperuntukan untuk siapa? Misalnya diskusi antara
mahasiswa Papua Yogyakarta dengan Tim Evaluais OTSUS Papua dari PolGov UGM
Yogyakarta pada tahun 2012. Terungkap bahwa dana OTSUS adalah “uang darah” sehingga peruntukannya jelas
ditujukan kepada orang Papua. Bisa saja OTSUS lahir sangat politis sehingga
peruntukannya juga bersifat politis, yaitu dengan diperuntukannya kepada semua
masyarakat, baik Papua maupun Non Papua. Supaya kebijakan tersebut tidak
dikatakan diskriminasi antara orang Papua dan Non Papua. Jika demikian sudah
barang tentu orang Papua tidak mendapatkan manfaat dari dana OTSUS khususnya di
bidang pendidikan dan kesehatan, (hasil cerita-cerita Tim evaluasi dengan
masyarakat).
Dari
realita yang ada, bahwa masyarakat Papua yang ada di kabupaten Merauke mengetahui
ada sumber dana OTSUS, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan yang
bersifat gratis. Tetapi pada tataran realisasinya, masyarakat tidak merasakan
manfaat dari dana tersebut yang selayaknya mereka peroleh. Menurut pengamatan
kami, ada beberapa hal, pertama,
pengelolahannya dana bersifat tertutup atau tidak ada transparansi tentang
pengelolahan dana oleh pengelolah anggaran. Kedua,
pengelola anggaran atau pemberi manfaat di kabupaten Merauke khususnya di kedua
dinas, yaitu pendidikan dan kesehatan adalah bukan orang Papua, sehingga
penerima manfaatnya tidak tepat sasaran. Ketiga,
tidak ada sosialisasi kepada masyarakat tentang program pendidikan dan
kesehatan gratis yang bersumber dari dana OTSUS.
Dari
argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa kalaupun ada dana OTSUS yang
dikucurkan kepada masyarakat Papua khususnya suku Marind sebagai penerima
manfaat. Tetapi masyarakat tidak mengetahui sumber dana tersebut, sehingga
argumentasi yang masyarakat adalah, “tidak menikmati dana OTSUS”. Sebetulnya pernyataan
masyarakat tesebut bukan tidak beralasan, karena masyarakat sendiri hanya
sebagai obyek dari program-program yang bersumber dari dana OTSUS, seperti
pendidikan dan kesehatan gratis.
POTRET
PENDIDIKAN
Empat
pilar kebijakan undang-undang Otonomi Khusus, yaitu selain infrastruktur dan
pengembangan ekonomi kerakyatan, pendidikan dan kesehatan menjadi program
prioritas yang juga diamanatkan dalam undang-undang OTSUS. Berikut ini gambaran
evaluasi pendidikan dan kesehatan gratis yang dibiayai dari dana OTSUS tahun
2012 di kabupaten Merauke.
Pada prinsipnya pemberian beasiswa sangat memberikan manfaat kepada para
mahasiswa itu sendiri. Pemberian beasiswa adalah sebagai wujud
tanggungjawab pemerintah daerah dalam memajukan pendidikan di selatan tanah Papua
khususnya kepada putra-putri Marind. Artinya komitmen pemerintah
daerah tersebut bisa
bersifat rangsangan (stimulant) juga
bisa secara keseluruhan yang dibiayai dari awal perkuliahan sampai selesai. Tetapi dalam perjalan pembiayaan beasiswa
juga mengalami permasalahan, misalnya jumlahnya semakin berkurang,
keterlambatan pengiriman, dan minimnya evaluasi studi yang dilakukan oleh
pemerintah daerah sebagai pemberi maanfaat.
Misalnya
jika dari awal dibiayai oleh pemerintah, maka harus sampai selesai juga menjadi
tanggungjawab pemerintah daerah. kerapkali pemerintah daerah lalai dalam
memperhatikan permasalahan-permasalahan
tersebut. Sehingga dalam perjalanan orang tua mengambil alih pembiayaan,
bagi mahasiswa yang orang tuanya mempunyai kemampuan ekonomi yang baik maka
tidak mengalami persoalan. Tetapi bagi mahasiswa yang orang tuanya mempunyai
kemampuan ekonominya di bawah standar rata-rata, maka sudah barang tentu akan
menyulitkan orang tua tersebut dan akan mengambat studi.
Kegiatan
menambang putra putri Papua di fokuskan pada sekolah-sekolah, yang dibiayai
dari dana OTSUS. Kegiatan tersebut sangat bermanfaat bagi pengembangan
kapasitas intelektual putra-putri Papua. Dari beberapa catatan yang dimiliki oleh
Tim, bahwa sekolah-sekolah hanya menyiapkan dan membimbing para siswa saja,
tetapi ketika dalam kegiatan lanjutan, kerapkali guru bidang studi tidak
dilibatkan atau diikutkan dalam kegiatan lanjutan di propinsi atau diluar
daerah lainnya, artinya semuanya ditangani oleh Dinas Pendidikan, mulai dari
keberangkatan sampai pendamping siswa. Juga tidak jarang sekolah-sekolah harus
menyiapkan biaya sendiri untuk memberangkatkan para siswa dalam mengikuti
perlombahan, tanpa ada bantuan yang diberikan oleh Dinas pendidikan atau
keterangan yang jelas. Kewenangan diberikan kepada sekolah-sekolah untuk
menyiapkan siswa tetapi tidak diikuti dengan transfer financial atau pembiayaan
kepada sekolah-sekolah tersebut, sehingga tidak ada transparansi dalam
pengelolahan keuangan dalam menambang putra-putri Papua.
Sisi
lain juga ada kekawatiran dari dinas terhadap sekolah-sekolah, karena tidak
semua sekolah melibatkan putra-putri Papua dalam kegiatan-kegiatan lanjutan.
Karena alokasi pembiayaannya bersumber dari dana OTSUS, maka harus difokuskan
kepada putra-putri Papua itu sendiri.
Pendidikan
berpola asrama dalam membina putra-putri Papua untuk saat sekarang sangat
efektif, karena pengalaman telah membuktikan bahwa pendidikan berpola asrama
yang dikelolah oleh Misi Katolik pada masa lalu telah banyak menciptakan
pemimpin-pemimpin Papua, khususnya di selatan Papua. Sistem pola asrama
menciptakan dua bentuk pendidikan, yaitu mengembangan kapasitas intelektual dan
membangun karakter serta moralitas yang baik. Di sisi lain juga terbangunnya
sikap disiplin diri dan rasa kebersamaan dalam sebuah komunitas akan terbangun
dengan sendirinya.
Asrama-asrama
yang dikelola oleh Misi Katolik khususnya para pastor, bruder dan suster dengan
Visinya “melanjutkan Karya Nyata Tuhan dalam hidup manusia”, pada umumnya
menampung dan membina putra-putri Papua dari daerah-daerah pedalaman serta
putra-putri Papua yang tingkat ekonomi orang tuanya lemah. Di satu sisi mereka
mempunyai potensi atau kemauan yang tinggi untuk mengenyam pendidilan di
berbagai tingkat pendidikan, katakanlah dari SD-SMU, dengan berbagai disiplin
ilmu pengetahuan. Ketekadtan hati dari para pastor, bruder dan suster untuk
melaksanakan karya Tuhan kepada putra-putri Papua harusnya mendapatkan
perhatian khusus oleh pemerintah daerah Karena para penentu kebijakan di
kabupaten Merauke pada umumnya adalah orang Katolik dan khususnya bupati adalah
orang Papua yang dulunya juga pernah
dibina melalui pendidikan berpola asrama. Masalah pendanaan menjadi kata kunci,
misalnya dana yang diberikan dari pihak pemerintah dalam bentuk “dana operasional asrama” tidak bisa digunakan
untuk kebutuhan para siswa di sekolah. Hal lain juga yang tidak kalah menarik
adalah sikap acuh dan malas tahu pemerintah dengan keterlambatan droping dana.
POTRET
KESEHATAN

Menurut
catatan kami, bahwa fenomena ini terjadi karena pengelolahan dana yang
sentralistik, artinya minimnya transfer dana operasional yang memadai ke
puskesmas-puskesmas yang dilakukan oleh dinas. Disisi lain walaupun ada kucuran
pembiayaan kegiatan dan operasional di tingkat puskesmas, tetapi tidak semua dilakukannya. Hal itu
terlihat dari data kusioner yang terkumpul, banyak kegiatan yang tidak
dilaksanakan oleh puskesmas maupun dinas itu sendiri, sehingga dalam pemberian
informasi, kecenderungan petugas puskesmas tertutup terhadap evaluasi ini.
(Damianus,
Rosina, Fransiscus, STISIPOL Yaleka Maro Merauke)